Jurnal Nasional | Senin, 28 Jan 2013
Oleh: Mokhamad Abdul Aziz KETUA Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarno Putri dalam orasi politik pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-40 PDIP, di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (10/1), mengajak para kader PDIP agar tidak bermegah-megahan. Pernyataan ini muncul karena melihat situasi perpolitikan Indonesia yang kian "hedonis". Perilaku para politisi saat ini banyak yang terjebak dalam sikap hidup hedonistis; ditambah gaya hidup anak muda zaman sekarang, sepertinya negara ini layak disebut negeri hedonis. Memang gaya hidup bermewah-mewahan dan terkesan glamor sudah menjadi fenomena yang menjangkiti para petinggi di negara ini. Padahal, gaya hidup inilah yang menjadi salah satu penyebab utama maraknya korupsi di Indonesia.
0 Comments
Dimuat di Radar Bangka l Senin, 21 Januari 2013 11:56 WIB Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) akhirnya resmi mengangkat politisi Partai Demokrat Drs. Roy Suryo Notodiprojo M.Sc, yang juga anggota Komisi I DPR RI, sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Jumat (11/1/2013). Tayang di Kendari Pos 10 Januari 2013 Adanya dugaan rekening gendut para pejabat mengisyaratkan terjadinya realitas pemanfaatan kewenangan yang membabi buta. Artinya, pendapatan diluar gaji sangat mudah didapatkan oleh mereka yang menjadi pejabat yang mempunyai posisi tawar yang kuat. Dengan kata lain, pengawasan yang lemah juga menjadi faktor penyebab terjadinya ihwal tersebut. Untuk itu, para penegak hukum dan pihak-pihak terkait harus mampu menjalankan fungsinya agar tercipta pemerintahan bersih dan benci terhadap korupsi, sehingga berjuang mati-matian melawan korupsi dan kroni-kroninya. _Dimuat di Koran Online Rimanews, Rabu, 09 Januari 2013 - 07:05 WIB _"Padahal, setiap warga negara, meskipun berada di pedalaman dan buta aksara sekalipun, harus diasumsikan mengetahui semua peraturan dan hukum positif yang berlaku di negeri ini. Apalagi, para pejabat pemerintahan dan pejabat negara yang semestinya setiap langkah mereka diatur rambu-rambu hukum. Dan yang duduk di situ seharusnya adalah orang-orang yang telah mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Atau mungkin yang berada di birokrasi itu memang orang-orang yang tidak tahu dan “buta” akan peraturan sesuai yang dimaksud SBY. Tentu ini sungguh membahayakan bangsa indonesia ke depannya". __"Banyak hal yang tidak diurus negara, karena dibiarkan diselesaikan sendiri oleh mekanisme pasar. Namun, negara liberal masih memiliki peran dalam menjaga kompetisi berjalan fair, tanpa pelanggaran. Negara tetap memiliki otoritas dan mampu menjalakan tindakan hukuman atas mereka yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan". Oleh: Mohammad Nasih*
Tarikan uang recehan kepada pengendara mobil yang belok atau balik arah adalah pandangan biasa yang terjadi di banyak ruas jalan kota-kota besar,terutama di ibu kota negara, Jakarta. SEPUTAR INDONESIA _"Ibarat permainan catur, semua manuver politik yang ekstrem sekalipun pada akhirnya hanya akan menghasilkan babak yang disebut “remis”, yakni babak yang tidak ada pihak yang kalah maupun menang. Dalam babak itu, rakyat tidak lagi menjadi fokus perhatian politisi. Yang penting, para elite politik tetap aman berada dalam kekuasaan". __MOHAMMAD NASIH* Dalam politik, terdapat berbagai kepentingan yang saling berinteraksi. Terlebih dalam negara demokrasi, lembaga politik kenegaraan formal menjadi semacam melting pot dari ber-bagai kekuatan politik yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, lembaga politik kenegaraan yang paling menggambarkan sebagai melting pot itu adalah DPR. Dimuat di Rimanews, Mon, 07 Januari 2013 - 11:07 WIB Apapun alasannya, korupsi tetaplah korupsi. Perbuatan yang sangat merugikan negara dan mencekik leher rakyat. Diakui atau tidak, penyebab utama mengapa korupsi di negeri ini semakin menggurita dan juga dilakukan secara berjamaah adalah gaya hidup yang materialistis dan hedonistis. Gaya hidup materialistis dan hedonistis sudah menjadi penyakit yang menjakiti para pejabat negeri ini. Hidup serba mewah dan megah menjadi hal wajib yang harus dipenuhi oleh mereka. Dimuat di Harian Pelita, 21 Mei 2012 Hiburan memang satu tawaran tepat untuk menanggapi kondisi yang ada saat ini. Keadaan yang semprawut, berbagai masalah yang tiada henti menimpa negeri ini memang perlu hiburan. Untuk melepas kepenatan, mengembalikan optimisme hidup di atas sebuah keputusasaan dan kehilangan rasa percaya pada tatanan pemerintahan. Namun, yang harus diperhatikan adalah apakah hiburan harus menyimpang dengan budaya Indonesia. Tentu tidak, jika itu tetap dilakukan, maka hal terburuk akan menambah kesemprawutan negeri ini. Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Rencana datangnya artis ngetop dunia, Stefani Joanne Angelina Germanotta atau Lady Gaga ke Indonesia mendapat tolakan keras dari berbagai kalangan. Hal ini wajar saja, mengingat penampilan Ladi Gaga dalam video clip yang selalu menampilkan hal-hal yang bersifat porno dan bahkan terkesan aneh menurut pandangan adat ketimuran. Penolakan yang dilakukan oleh berbagai ormas, di antaranya FPI (Front Pembela Islam), MUI (Majelis Ulama Indonesia), FUI (Forum Umat Islam) dan pihak-pihak lain, memang sangat beralasan. Sebelumnya, Ketua Umum FPI, Habib Rizieq, mengancam akan membuat rusuh Jakarta, jika konser itu tetap akan digelar. Permintaan mereka ditanggapi secara bijak oleh Polda Metro Jaya dengan berbagai pertimbangan, sehingga konser Lady Gaga tidak mendapatkan izin. Alasannya sederhana, pertama Lady Gaga sering berpenampilan “porno” saat konser digelar. Di sisi lain, Indonesia mempunyai UU tentang pornografi dan pornoaksi. Tidak hanya itu, para ormas islam juga menentang keras penampilan Lady Gaga, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Memang patut dipertanyakan, sebenarnya apa manfaatnya jika konser itu digelar. Apakah mereka yang mendukung konser itu akan tetap bersuka ria, berhura-hura, sementara masih banyak rakyat Indonesia yang menderita, yang butuh kepedulian mereka. Inilah yang sebenarnya harus dipikirkan oleh seluruh warga negara. Kedua, Lady Gaga sering disebut-sebut sebagai pemuja setan, hal ini tampak pada simbol-simbol aneh yang digunakan dalam setiap penampilannya, baik dalam pentas maupun video clip. Bahkan, Lady gaga pernah diberitakan mandi darah sebelum tampil dalam konsernya. Dengan demikian, dikhawatirkan remaja Indonesia –mayoritas penggemar Lady Gaga- akan terpengaruh oleh penampilan artis Amerika itu. Ketiga, masuknya Lady Gaga ke Indonesia dikhawatirkan akan meracuni budaya Indonesia, khususnya Islam. Saat ini, banyak sekali generasi bangsa yang berperilaku jauh dari nilai-nilai agama. Banyak yang khawatir, jika Lady gaga jadi konser, maka tidak menutup kemungkinan perilaku amoral itu akan bertambah parah, mengingat track record penampilan sang artis. Intinya mereka khawatir dengan moral generasi muda, dan laknat dari Tuhan. Memang banyak juga yang mendukung konser Lady Gaga tetap dilaksankan pada 3 juni mendatang sesuai rencana. Sebab, mereka telah membeli tiket yang sudah dijual sejak jauh-jauh hari. Selain itu, mereka yang mendukung konser itu berpendapat bahwa tidak ada alasan sedikitpun untuk tidak memberikan izin manggung konser. Dengan dalih negara Indonesia adalah negara demokrasi dan membebaskan setiap orang untuk berekspresi. Demokrasi Pancasila Hiburan memang satu tawaran tepat untuk menanggapi kondisi yang ada saat ini. Keadaan yang semprawut, berbagai masalah yang tiada henti menimpa negeri ini memang perlu hiburan. Untuk melepas kepenatan, mengembalikan optimisme hidup di atas sebuah keputusasaan dan kehilangan rasa percaya pada tatanan pemerintahan. Namun, yang harus diperhatikan adalah apakah hiburan harus menyimpang dengan budaya Indonesia. Tentu tidak, jika itu tetap dilakukan, maka hal terburuk akan menambah kesemprawutan negeri ini. Harus diingat kembali bahwa negara Indonesia berprinsip erat dengan demokrasi pancasila. Memang saat ini, banyak yang salah kaprah memaknai demokrasi yang dijalankan di Indonesia. Tentu demokrasi Indonesia berbeda dengan demokrasi Amerika Serikat. Dalam konteks ini, demokrasi pancasila lebih mempunyai nilai-nilai luhur jika dibanding dengan demokrasi yang diterapkan di negara lain. Sampai saat ini, Pancasila masih diakui sebagai dasar negara oleh penyelenggara negara ini. Konsep yang sangat genius itu dirumuskan oleh founding fathers untuk kemudian menjadi cita-cita dan tujuan bangsa. Bahkan, menjadi jati diri bangsa Indonesia. Dalam Pancasila terdapat sila-sila yang saling erat berkaitan antara sila satu dengan lainnya. Mulai dari ketuhanan yang maha Esa, kemanusiaan, persatuan, sampai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu artinya, semua tujuan hidup bangsa Indonesia kedepannya sudah tercakup dalam Pancasila. Inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh seluruh warga negara, baik dari pemerintah maupun rakyatnya. Dengan memgang erat Pancasila, maka demokrasi tidak asal bebas, tetapi mempunyai nilai-nilai yang sejak dulu menjadi ciri khas negara ini. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang mempunyai jati diri dan kredibilitas, maka sudah selayaknya untuk tidak begitu saja memerima kebudayaan luar, baik itu berupa hiburan maupun yang lainnya. Karena dengan begitu, Indonesia akan diakui di mata Intenasional sebagai negara yang berkarakter kuat. Tidak seperti saat-saat ini, yang selalu “mengiyakan” semua kebudayaan luar untuk masuk di Indonesia. Sebenarnya bangsa kita sudah terserang mental inlander, mental budak, mental inferior, atau apapun lah namanya. Yang pasti, sampai sekarang ini, masih banyak masyarakat yang wah apabila melihat “bule” datang, meski tidak mempunyai kemampuan sekalipun. Inilah yang sebenarnya membuat Indonesia menjadi bangsa yang “terbelakang”. Perlu dicatat, bahwa Indonesia mempunyai Pancasila yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, sudah waktunya rakyat Indonesia lepas dari gumunan terhadap pihak luar. Mentalitas warga negara yang baik dan terutama pemimpinnya, Indonesia akan bisa menempatkan duduk sama pendek, berdiri sama tinggi dengan negara lain dalam pergaulan Internasional. Dalam konteks ini, Indonesia harus menyaring budaya yang masuk. Jangan sampai budaya luar meracuni jati diri bangsa Ini. Sudah cukup banyak budaya luar mempengaruhi kehidupan bangsa kita. Maka dari pada itu, katakan “STOP” untuk budaya yag tidak sesuai dengan Identitas negara ini. Dengan demikian, dalam konteks Lady Gaga yang sudah jelas tidak sesuai dengan kultur budaya Indonesia. Maka sudah sepantasnya untuk mengatakan “Tidak, maaf kami tidak butuh hiburan yang bersebrangan dengan nilai-nilai yang sudah tertanam pada bangsa ini. Kami akan memberikan hiburan yang bisa membuat negara ini lebih bermoral di mata Internasional dan para pendiri bangsa kami sendiri”. Jadi keputusan tidak memberi izin konser Lady Gaga merupakan keputusan yang sudah sesuai dengan konstitusi negara ini. Wallahu a’lam bi al-shawab. Member of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Pegiat di SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang. Rimanews, 15 Agustus 2012 Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Agustus merupakan bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tepatnya pada 17 Agustus 1945 lah, Bapak Proklamator kemerdekaan NRI, Soekarno-Hatta berhasil memproklamasikan kemerdekaan republik Indonesia. Setiap datang bulan bersejarah ini, pasti ada kegiatan khas yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Serangkaian perayaan dan upacara dalam rangka memperingati hari ulang tahun kelahiran negara Indonesia pun dilakukan di seluruh penjuru tanah air. Bahkan, sebelum masuk bulan Agustus, banyak masyarakat yang telah memeriahkan HUT itu dengan mengadakan perlombaan-perlombaan. Ya, ketika bulan Agustus datang, masyarakat Indonesia selalu “dibuat” sibuk, dengan perayaan-perayaan khas kemerdekaan. Sebut saja, lomba panjat pinang yang selalu menjadi agenda tahunan di daerah-daerah di Indonesia. Selain itu, banyak perlombaan-perlombaan khas kemerdekaan lainnya. Antara lain, lomba makan krupuk, lomba memasukkan belut ke dalam wadah, dan lomba-lomba lainnya yang sifatnya menghibur. Yang paling menonjol dalam peringatan 17 Agustus adalah kemeriahan dan kegembiraan. Mereka bersorak sorai melepas kepenatan dan beban hidup yang selama ini dirasakannya. Namun, kemerdekaan sepertinya hanya bisa dirasakan pada bulan Agustus saja. Pasalnya, rakyat Indonesia masih merasakan beban hidup yang berat dan tekanan dari “penjajah-penjajah” semu. Mengingat Sejarah Tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlepas dari perjuangan dan pengorbanan para pendahulu bangsa. Mereka mengorbankan harta, pikiran, tenaga, bahkan nyawa. Sebab, mereka harus melepaskan diri dari cengkeraman penjajah, seperti Inggris, Portugis, Belanda, dan Jepang. Namun, itu tidak menjadi alasan untuk kemudian menyerah dan merelakan bangsa ini “dimakan” oleh para penjajah itu. Pengorbanan yang dilakukan oleh para pahlawan terdahulu bertujuan agar Indonesia bersih dari intervensi pihak lain, sehingga bebas mengatur negaranya sendiri sesuai dengan yang diinginkan. Mereka merasakan ketidaknyamanan dikendalikan oleh para penjajah. Dengan alasan itu, mencapai kemerdekaan adalah harga mati. Meskipun bisa dikatakan tidak mempunyai kekuatan yang cukup (secara peralatan perang, jika disbanding dengan penjajah) untuk melawan penjajah, tapi kekuatan tekad dan niat para pahlawan bisa mengalahkan kekurangan itu. Seperti kata pepatah, “semut kalau diinjak mati saja, berusaha melawan, apalagi manusia?”. Semua rekam jejak para pejuang-pejuang kemerdekaan itu tertulis dalam buku-buku, meskipun banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan pada masa itu. Di antara para pejuang itu adalah tokoh-tokoh Islam pada masa lalu. Mereka berperang dengan niat berjihad di jalan Allah. Sebab, salah satu tujuan penjajah adalah untuk menyebarkan agama mereka. Seperti yang telah dikaji di ilmu-ilmu sosiologi, Barat melakukan penjajahan di negara-negara di dunia mempunyai tiga tujuan, atau yang sering dikenal dengan sebuatan 3G. 3G merupakan singkatan dari gold (kekayaan), glory (kemenangan atau kejayaan), dan gospel (menyebarkan agama). Dengan dasar itu, orang-orang Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia berjuang dengan tanpa takut mati, karena mereka mempercayai jika mati di medan perang maka akan masuk surga tanpa hisab. Keberhasilan merebut kemerdekaan memang tidak lepas dari tekad kuat para pejuang. Mereka berpikir bahwa perang untuk mati, bukan untuk hidup. Dengan mati, mereka akan masuk surga, sehingga dalam medan perang mereka bisa total berjuang tanpa harus takut mati. Karena itulah, kemenangan didapatkan. Namun, semua itu jarang dipahami oleh masyarakat Indonesia saat ini. Rakyat Indonesia kebanyakan berpikir bahwa mereka rela berjuang karena menginginkan kehidupan yang bebas dan lebih baik. Alasan itu memang benar adanya. Namun, alasan yang pertama lah yang menjadikan spirit para pejuang tumbuh, hingga akhirnya tercapailah kemerdekaan. Masih Terjajah Secara legal-formal negara ini memang telah diakui PBB sebagai negara “merdeka”. Namun, subtansi dari kemerdekaan itu sendiri sampai sat ini belum bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu. Padahal, mereka yang belum merasakan kemerdekaan sangat berharap kepada pemerintah saat ini agar mengupayakan segala usaha, sehingga semuanya bisa merasakan merdeka yang sesungguhnya. Merdeka adalah terbebasnya seseorang atau negara untuk berbuat, tanpa harus mendapat gangguan dari pihak lain. Dalam konteks ini, bangsa Indonesia merdeka karena telah terbebas dari penjajahan bangsa lain. Sampai saat ini usia kemerdekaan Indonesia telah berumur 67 tahun. Sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, banyak hal yang bisa diperoleh dari berbagai masalah yang mewarnai bangsa ini. Namun, semua itu bisa dikatakan “sia-sia”, ketika sampai usia yang ke 67, rakyat masih ada yang belum merasakan merdeka. Banyak dari rakyat yang belum bisa mendapatkan pendidikan, karena alasan biaya atau wilayah yang terpencil. Masih banyak rakyat yang takut menjalankan ritual keagamaan, karena takut ancaman dari pihak lain. Ada daerah yang mempunyai SDA yang melimpah, tetapi justru kehidupannya memprihatinkan. Negara merdeka adalah negara yang mandiri. Sampai saat ini, Indonesia masih tergantung dengan negara lain; Amerika Serikat. Memang secara fisik tidak ada tentara mereka yang berkeliaran di Indonesia. Namun, secara politik, social, hukum, atau ekonomi telah dikuasai dan disetir oleh mereka. Masalah yang paling berat adalah rakyat Indonesia maupun pemerintah masih dijajah oleh mental budak. Bagaimana tidak, Indonesia yang sebenarnya mempunyai kekayaan alam yang luar biasa melimpah, justru tidak bisa membuat rakyatnya kaya. Itu artinya rakyat Indonesia masih diperbudak oleh bangsa lain yang memanfaatkan segala yang ada di Indonesia di sisi manapun. Oleh sebab itu, perlu penyadaran kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama sekali pemerintah, agar mempunyai perspektif yang optimistis akan kekayaan dan kemampuan bangsa ini. Dengan begitu, kekayaan alam bisa dimanfaatkan dengan baik, sehingga seluruh masyarakat Indonesia akan tercukupi kebutuhannya. Kemerdekaan yang masih utopis ini, seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi rakyat Indonesia, terutama pemerintah. Sebab, pemerintah lah yang mengatur segala regulasi yang ada di negara ini, sehingga mampu membuat Indonesia benar-benar merdeka; merdeka yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bi al-shawab. *Penerima Beasiswa Unggulan di Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang, Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies Semarang. Dimuat di Harian Sinar Harapan, 6 November 2012 I 01.00 "Namun yang memprihatinkan dan sangat menyedihkan adalah para pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga utama moral bangsa, justrus bertindak semaunya sendiri, tanpa berjalan pada rel spiritual. Para politisi malah mengotak-atik bagaimana mendapatkan kekayaan yang sebesar-besarnya dari negara untuk dinikmati dengan kelompokknya. Mereka hanya mementingkan nafsu saja. Nilai-nilai spiritual yang seharusnya dijunjung tinggi, sekarang ini tidak lagi ada". Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Dewasa ini langkah-langkah para pemimpin bangsa seperti jauh dari spiritualitas bangsa, bahkan tidak berhubungan dengan spiritualitas secara langsung. Padahal, bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang taat beragama, baik agama apapun itu. Namun, banyak hal yang diakukan para pemimpin bangsa yang menyimpang jauh dari nilai-nilai spiritual. Sebut saja, penegakan hukum yang selama ini mengusik rasa keadilan publik. Seperti adanya tebang pilih dalam menangani kasus-kasus korupsi. Bahkan yang lebih ironis lagi adalah hukum bagaikan pisau dapur, yaitu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum hanya dijadikan alat untuk menindas rakyat kecil saja. Dalam berpolitik, spiritual memang tak dianggap penting untuk dipegang erat. Dalam logika politik kekuasaan, spiritualitas justru dianggap sebagai penghambat, karena akan membatasi ruang gerak untuk bertindak sesuai kehendak sendiri. Logika pemerintahan yang seperti inilah, yang menyebabkan bangsa kita kian terpuruk. Berbagai kasus korupsi yang melibatkan para petinggi negara yang bergulir selama ini memperjelas bahwa yang mengendalikan ranah publik saat ini adalah politik kekuasaan yang memarginalkan nilai-nilai spiritual. Untung saja hati nurani atau spiritual publik tidak ikut-ikutan mati. Jika spiritual publik ikut mati, maka bisa dipastikan keadaan bangsa ini kian amburadul. Masyarakat melakukan perlawanan terhadap pemerintah, baik melalui tulisan-tulisan di media masa maupun melakukan demonstrasi. Itu artinya, masyarakatmasih bisa merasakan berbagai keganjilan dalam penganan-penanganan kasus yang menimpa bangsa ini. Selain itu, masyarakat menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan yang hanya berpihak pada golongan tertentu saja, melalu situs-situs jejaring sosial. Dengan facebook dan twitter misalnya, masyarakat melakukan perlawanan moral terhadap pemerintah. Mereka menyuarakan kebenaran yang merupakan dasar dari nilai-nilai spiritual. Tentunya realitas yang seperti ini yang seharusnya dipegang erat oleh rakyat kita. Namun yang memprihatinkan dan sangat menyedihkan adalah para pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga utama moral bangsa, justrus bertindak semaunya sendiri, tanpa berjalan pada rel spiritual. Para politisi malah mengotak-atik bagaimana mendapatkan kekayaan yang sebesar-besarnya dari negara untuk dinikmati dengan kelompokknya. Mereka hanya mementingkan nafsu saja. Nilai-nilai spiritual yang seharusnya dijunjung tinggi, sekarang ini tidak lagi ada. Padahal seharusnya tidak demikian. Sering sekali kita dengar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menempatkan nilai-nilai spiritual pada posisi terhormat. Jika kita telisik lagi dasar negara kita, maka sudah jelas bahwa spiritual adalah hal yang paling penting. Kita semua tahu, dalam Pancasila sila pertama dituliskan “Ketuhanan yang maha Esa”. Itu artinya spiritual adalah hal yang harus diutamakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terlebih untuk mengurusi negara, maka sudah selayaknya menempatkan spiritual dalam politik merupakan “harga mati”. Namun, apa sebenarnya yang menyebabkan dunia pepolitikan kita ini cenderung keruh dan sering dikatakan kotor? Tentu pertanyaan itu sudah diketahui jawabannya, bahwa selama ini yang menjadi penyebab adalah para pemegang kekuasaan tidak lagi menempatkan spiritual dalam menjalankan kekuasaannya. Kita bandingkan saja negara kita dengan negara-negara lain, seperti halnya Jepang. Negeri Sakura ini mempunyai kepemimpinan yang secara umum belandaskan pada etika dan spirit Bushido. Bushido terdiri dari kata, yaitu bushi yang berarti kesatria atau prajurit dan do yang arinya jalan. Bushido atau “jalan kesatria atau prajurit” merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral keksatriaan yang berlaku di kalangan samurai khususnya di zaman feodal Jepang (Abad 12-19). Makna bushido secara umum bisa di artikan sikap rela mati untuk negara atau kerajaan. Yamamoto Tsunetomo dalam Hagakure mengungkapkan bahwa para samurai setiap pagi harus selalu menanamkan diri mereka tentang bagaimana cara untuk mati. Setiap malam mereka menyegarkan kepala mereka tentang menghadapi kematian, sehingga menjadi tidak takut mati. Tugas dan amanat yang diberikan harus diperjuangkan dan dilakukan dengan baik, meski nyawa menjadi taruhannya. Mereka menjadi orang-orang yang mencintai tugas dan kewajibannya melebihi kecintaaan mereka pada diri mereka sendiri. Bahkan, jika mereka gagal menunaikan tugas, maka mereka rela melakukan bunuh diri atau lebih dikenal dengan seppuku (pengeluaran isi perut) atau harakiri (penyobekan perut). Namun, saat ini tradisi bunuh diri berubah menjadi sikap mengundurkan diri dari jabatan secara terhormat daripada menanggung malu karena tak mampu menunaikan tugas. Selalu mengingat mati dan berjuang mati-matian dalam menjalankan tugas inilah yang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin kita. Dengan begitu mereka tidak akan teledor dalam menjalankan amanat rakyat. Oleh karena itu, spiritualitas harus benar-benar ditanamkan dalam jiwa pemimpin dan semua rakyat Indonesia. Pada dasarnya spiritualitas adalah nilai yang ada dalam diri manusia yang meyakini bahwa terdapat kekuatan besar di atas kekuatannya sendiri sebagai manusia. Yang dimaksud kekuatan besar itu adalah Tuhan yang menguasai alam semesta. Dengan demikian, manusia tidak akan menjadikan kehendaknya sendiri sebagai dasar dalam menjalani hidup. Nabi Muhammad SAW. bersabda, ”Orang yang cerdas adalah orang yang pandai menghisab dirinya di dunia dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya suka berharap kepada Allah tanpa melakukan apa-apa.” (HR Tirmidzi). Bagi Indonesia yang selama ini masih harus berbenah, menempatkan spiritualitas dalam berpolitik merupakan hal yang sangat diperlukan. Diharapkan begitu, para pemimpin bangsa akan melakukan tugasnya dengan baik. Tidak lagi mengikuti hawa nafsu belaka. Jika itu dilakukan, maka bangsa Indonesia akan segera keluar dari keterpurukan dan akan menjadi bangsa dan negara yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya. Wallahu a’lam bi al-shawab. *Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Semarang. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |