Kendari Pos,10 November 2012 Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Baru saja, pemerintah kita menganugerahkan gelar pahlawan nasional untuk tokoh proklamator Soekarno-Hatta. Tentunya gelas pahlawan nasional ini tidak begitu saja disematkan, melainkan melalu proses verifikasi terlebih dahulu bagaimana kiprah seorang pahlawan itu sendiri sesuai dengan konteks zaman dan situasinya. Ya, di bulan November ini, ada agenda rutin yang mengingatkan kita pada peristiwa besar pada zaman dulu, yaitu melalui upacara bendera, tepatnya pada 10 November. Di setiap penjuru Indonesia, pemerintah dan masyarakat selalu menjadikan peringatan Hari Pahlawan sebagai pelecut semangat, yaitu dengan cara menyelenggarakan upacara dan mengheningkan cipta sejenak untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur dalam berperang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks ini, semangat kebangsaan dan spirit kepahlawanan harus mulai tumbuh. Definisi Pahlawan Berbicara tentang pahlawan, banyak sekali defenisi untuk menggambarkan apa dan siapa sosok pahlawan itu sesungguhnya. Banyak orang mengatakan bahwasanya pahlawan adalah orang yang berjuang untuk kepentingan orang lain. "Pahlawan" adalah sebuah kata benda. Secara etimologi kata "pahlawan" berasal dari bahasa Sanskerta "pahala", yang bermakna hasil atau buah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Tidak salah memang, namun sejatinya banyak hal lagi yang bisa kita lihat dari sosok seorang pahlawan. Pahlawan merupakan seseorang yang berpahala yang perbuatannya berhasil bagi kepentingan orang banyak. Perbuatannya memiliki pengaruh terhadap tingkah laku orang lain, karena dinilai mulia dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat bangsa atau umat manusia.Dalam bahasa Inggris pahlawan disebut "hero" yang diberi arti satu sosok legendaris dalam mitologi yang dikaruniai kekuatan yang luar biasa, keberanian dan kemampuan, serta diakui sebagai keturunan dewa. Pahlawan adalah sosok yang selalu membela kebenaran dan membela yang lemah. Ralph Waldo Emerson seorang guru besar dan pemimpin kelompok gagasan sastra dan filsafat, mengatakan bahwa: “A hero is no braver than an ordinary man. But he is braver five minute longer.” Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maksudnya adalah seorang pahlawan tidak berbeda dengan orang biasa. Namun, yang membedakannya dengan orang biasa adalah terletak pada keberanian seoarang pahlawan yang lebih tinggi daripada orang lainnya. Lahir Sesuai Konteks Seperti yang telah disinggung di atas, pahlawan lahir dalam konteks zaman maupunh situasi yang menunjukkan peran bagaimana pahlawan itu. Sebut saja, misalnya ketika perang sebelum kemerdekaan, muncul beberapa sosok pemberani yang memimpin peperangan, seperti Jenderal Soedirman, Ahmad Yani, Bung Tomo, dan Marsekal Adisucipto, dan lainnya. Selanjutnya dalam konteks zaman yang hampir sama, tetapi berbeda dalam konteks ruang, muncul sosok yang memperjuangkan kepentingan perempuan, bukan dengan berperang, yaitu Raden Adjeng Kartini. Yang kemudian dikenal sebagai pahlawan revolusi bagi kaum perempuan, karena memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki, dan lebih dikenal sebagai pejuang emansipasi. Setelah itu, ada lagi yang berbeda cara bagaiamana disematkan gelar pahlawan. Misalnya, W.R. Soepratman mendapat gelar pahlawan nasional karena lagu yang berjudul “Indonesia Raya” yang diperkenalkannya dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 menjadi lagu kebangsaan. Dari dua sosok tersebut, kita melihat bahwa kepahlawanan tak harus harus ditunjukkan melalui pengorbanan darah dan nyawa. Kemunculan pahlawan bisa karena perjuangan melalu ide, gagasan, cipta, sikap, karya yang sangat besar, dan lain sebagainya. Dalam konteks perkembangan bangsa ini, tentu banyak sekali sejarah yang memperlihatkan bagaimana seorang berjuang demi kepentingan orang banyak. Terus bagaimana jika kita mengidentifikasi dan mencari sosok pahlawan yang relevan dengan konteks zaman dan dinamika bangsa pada era tahun 2000 an ini? Mungkin banyak sekali yang berharap akan lahirnya pahlawan-pahlawan baru mengingat masalah yang begitu kompleks pada negeri ini. Namun, yang ingin diusulkan penulis adalah bagaimana pahlawan yang berjuang di ranah intelektual-pluralis? Slogan negara ini Bhineka Tunggal Ika, yang artinya meski berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Mengapa sampai muncul slogan seperti itu? Kondisi penduduk Indonesia yang beragam, mulai dari ras, agama, suku, budaya, atau adat, dan lain sebagainya, menjadikan slogan itu menjadi sangat penting.Namun, apakah slogan di atas sudah tidak dipakai lagi, atau tidak adanya pemimpin yang mampu menyatukan rakyatnya? Bangsa Ramah Menjadi Marah Berbagai kasus kekerasan yang terjadi dewasa ini membuat kita miris. Mengapa bangsa yang dikenal ramah, rukun, dan bertoleransi tinggi bisa berubah menjadi bangsa yang mudah sekali marah? Apakah nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh para pahlawan kita sudah mulai meluntur. Segunung pertanyaan muncul tiap kita menyaksikan kekerasan di negeri ini. Semua argumen di atas adalah bagaimana pentingnya kita memiliki sosok pahlawan pluralis. Dalam arti, sosok yang mampu mengayomi atau setidaknya membuat seluruh rakyat merasa menjadi satu ikatan. Dalam konteks bangsa yang rentan akan terjadinya tindak kekerasan, kita mengharapkan kehadiran sosok pahlawan yang mampu memperjuangkan nilai-nilai hidup bersama dalam keanekaragaman perbedaan. Salah satu yang menyebabkan terjadinya kekerasan demi kekerasan sesama rakyat Indonesia adalah banyaknya individu atau kelompok yang fanatik. Padahal, kebenaran hanya milik Tuhan yang maha Esa. Dan manusia hanya memiliki kebenaran yang relatif. Jikalau menyikapi keberagaman sebagai kelemahan, maka yang terjadi hanyalah masalah. Oleh karena itu, kita perlu berkontemplasi terlebih dahulu, baru bisa menyimpulkan bahwa keberagaman sesungguhnya adalah karunia sangat indah dari Tuhan. Pola pikir semacam ini bisa melihat perbedaan sebagai sebuah kekayaan. Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya dalam berbagai keberagaman. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. Pernah bersabda bahwa perbedaan pada umatku adalah rahmat. Jadi perbedaan sudah merupakan fitrah manusia sebagai mahkluk sosial. Namun, bepikir yang seperti itu tidak semua orang bisa memahaminya. Tentu butuh sosok yang kuat untuk membangun mind set bahwa keberagaman adalah rahmat dan membangun keyakinan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang luar biasa. Untuk saat ini, rasanya sulit menemukan sosok itu. Masih ingatkah dengan sosok yang sangat elegan, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Cak Nur (Nurcholis Madjid). Hampir semua orang mengenal kedua sosok itu. Mereka berdualah yang dipandang mempunyai pribadi yang sangat pluralis, baik dalam berhubungan dengan agama, suku, maupun dengan siapapun. Lewat karya-karyanya, meraka berani memberikan pernyataan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang indah. Dalam kontkes ini, harapan akan munculnya sosok yang intelektual-pluralis, yaitu sosok yang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas yang mampu dan berani bahwa perbedaan adalah sesuatu yang indah. Tentu dalam hal ini, keberanian dan kesiapan akan munculnya kelompok yang menentangnya sangat diperlukan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Gus Dur dan Cak Nur, ketika menyampaikan ideologi pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang selalu mendapat tantangan dari orang-orang yang menganggap dirinya paling benar. Yang terpenting adalah tekad kuat dari seorang tokoh itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab. *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Peraih Beasiswa Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang
0 Comments
"Memang dalam Munas kemarin belum muncul nama yang akan diperjuangkan KAHMI untuk maju dalam Pilpres nanti, karena KAHMI akan fokus ke pengembangan konsep politik. Namun, pada akhirnya nanti harapan masyarakat indonesia (HMI) mendambakan Capres yang akan maju dalam Pilpres 2014 nanti adalah dari KAHMI". Dimuat di Radar Bangka pada Senin, 10 Desember 2012 I 11:55 WIB
Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) berkomitmen melahirkan tokoh nasional untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Keinginan ini menjadi wacana dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX yang telah dilaksanakan di Labersa Grand Hotel and Convention, Kampar, Riau, Jumat (30/11)-Sabtu (1/12) kemarin. HMI yang merupakan cikal bakal wadah ini berhasil melahirkan tokoh-tokoh nasional yang hadir pada acara malam tadi, termasuk beberapa bakal calon presiden yang akhir-akhir ini populer melalui beberapa survei. Sebut saja deretan kader berpotensi KAHMI mulai dari Ketua MK Mahfud MD, mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, Ketua KPU Pusat Husni Kamil Manik, penasihat KPK Abdullah Hehamahua, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan sederet nama tokoh nasional lainnya. (Riau Pos, 1 Desember 2012). Hal ini membuat KAHMI percaya diri bahwa pada Pilpres mendatang, korps alumni ini menjadi bagian penting dari percaturan politik nasional. Dan ini sangat sesuai dengan semangat tema yang diusung “Mewujudkan Kepemimpinan yang Berkarakter Menuju Indonesia Berkeadilan Sosial”, KAHMI menginginkan pemimpin nasional yang memiliki karakter yang kuat dan mampu memimpin Indonesia yang berkeadilan sosial. Memang dalam Munas kemarin belum muncul nama yang akan diperjuangkan KAHMI untuk maju dalam Pilpres nanti, karena KAHMI akan fokus ke pengembangan konsep politik. Namun, pada akhirnya nanti harapan masyarakat indonesia (HMI) mendambakan Capres yang akan maju dalam Pilpres 2014 nanti adalah dari KAHMI. Mahfud-JK Hal ini memang tidak berlebihan jika melihat survei terakhir yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI). Ya, berdasarkan opinion leader, Mahfud MD unggul dari calon lainnya dan diposisi dua Jusuf Kalla yang juga KAHMI. Bahkan, LSI mencatat dari total lima indikator yang disurvei, Mahfud unggul di empat kategori. Satu kategori lagi diambil oleh Jusuf Kalla. Kelima indikator yang disurvei; pertama, dari segi tidak melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) atau suap, Mahfud MD meraih 80 poin di atas Dahlan Iskan yang meraih 76 poin. Kedua, dari segi tidak melakukan tindak kriminal atau pelanggaran HAM, Mahfud MD meraih 83 poin unggul atas Dahlan Iskan dengan 79 poin. Ketiga, dari dua jenis kualitas yaitu jujur, amanah atau bisa dipercaya ia unggul 81 poin di atas Jusuf Kalla yang mendapatkan 77 poin. Keempat, dari segi mampu berdiri di atas semua kelompok atau golongan, Mahfud MD (78 poit) juga unggul atas Jusuf Kalla (77 poin). Dan hanya dari segi mampu memimpin negara dan pemerintahan, Jusuf Kalla memimpin dengan meraih 79 poin dan Mahfud MD setelahnya dengan 74 poin. Dari lima penilaian kualitas personal tersebut, totalnya Mahfud MD memimpin dengan meraih 79 poin, sedangkan Jusuf Kalla meraih 77 poin dan di susul Dahlan Iskan di posisi ketiga dengan 77 poin. (Republika, 28 November 2012). Memang, akhir-akhir ini wacana Mahfud MD untuk menjadi Capres pada Pemilu 2014 nanti semakin gencar saja. Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu disebut-sebut sebagai tokoh paling ideal memimpin bangsa ini pascakepemimpinan SBY. Opini ini memang tidak berlebihan, melihat track record-nya sebagai sosok yang memang bisa diandalkan. Apalagi di tengah krisis kepemimpinan yang melanda bangsa ini. Peluang Besar Hal ini membuat Mahfud mempunyai peluang besar untuk menjadi Capres pada Pemilu 2014. Namun, yang masih menjadi pertanyaan adalah Parpol manakah yang akan mengusung Mahfud? Dan akan berpasangan dengan siapakah ia nantinya? Inilah yang menjadi persoalan. Dari Parpol yang ada, peluang untuk jadi Capres tampaknya tertutup. Sebab, sebut saja Partai Golkar sudah jauh-jauh hari menetapkan Ical sebagai Capres. Kemudian, Partai Gerindra yang sudah membulatkan tekad untuk menjadikan Ketua Umumnya, Prabowo Subiyanto sebagai Capres. Ditambah lagi Hidayat Nur Wahid dari PKS dan PAN yang mengusung Hatta Rajasa sebagai Capres saat ini sedang mencari Cawapres. Itu artinya, peluang hanya terbuka pada posisi Cawapres saja. Padahal, dari tokoh-tokoh yang sudah positif dicalonkan oleh Partainya hanya Hidayat Nurwahid yang berada di posisi lima besar survei LSI. Padahal, menurut Siti Zuhro, pengamat politik LIPI, Calon-calon yang muncul tersebut akan membantu kebuntuan terjadinya regenerasi kepemimpinan di Indonesia. Sebab, survei yang dilakukan oleh LSI itu lebih mengedepankan kualitas tokoh, independensi, dan netralitas yang akan berdampak positif kepada kualitas Pemilu 2014. PKB Beri Peluang? Praktis, masih tersisa Partai Demokrat, PDIP, Partai Nasdem, PKB, PPP, dan PBB yang belum memutuskan siapa yang akan menjadi Capres pada Pilpres 2014 nanti. Mereka masih memilih-milih kandidat yang paling layak memimpin negeri ini. Berita terakhir yang menangkap peluang Mahfud MD sebagai Capres adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski, Ketua Umum PKB, Muhamin Iskandar telah berbicara dengan Rhoma Irama terkait dengan pencapresannya dan meyakini Rhoma adalah Capres PKB. (Wawasan, 3 Desember 2012). Namun, hal itu belum dibicarakan lebih lanjut di internal partai. Sebelumnya, PKB juga mengaku telah melakukan pembahasan terkait peluang partai berbasis Nahdatul Ulama (NU) itu untuk mengusung Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sebagai capres dalam Pemilu 2014 mendatang. (Okezone.com, 2 Desember 2012). Salah satu faktor utama yang menjadi pertimbangan PKB untuk mengusung Mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Gus Dur itu sebagai capres adalah karena selama ini Mahfud dikenal sebagai seorang figur yang bersih dan jauh dari isu kasus-kasus tertentu. Meskipun semenjak menjabat sebagai Ketua MK Mahfud telah melepaskan posisinya di PKB, tetapi kedekatan emosional dengan partai warga Nahdliyin itu, tidak bisa serta merta menghilang. Mahfud juga mengaku tidak terpisahkan dengan partai yang didirikan oleh Gus Dur tersebut. Sebab, jabatan publik yang dimiliki Mahfud adalah berkat PKB. Oleh karena itu, Parpol yang belum menetapkan Capres sekarang ini harus benar-benar menentukan Capres yang akan diusung bukan untuk kepentingan tertentu. Sebab, saat ini rakyat sudah tahu dan lebih cerdas dalam memilih figur yang akan memimpin mereka, tanpa memandang dari Parpol mana Calon itu diusung. Wallahu a’lam bi al-shawab.(**) *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang) Oleh: Mokhamad Abdul Aziz Dewasa ini Pemilu identik memang dengan politik uang. Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa money politic di Indonesia sekarang ini semakin membudaya. Setiap datang pemilihan umum (Pemilu) atau pemilukada, praktik yang termasuk dalam kategori pelanggaran pemilu dan pelakunya diancam sanksi ini kian jelas saja. Hampir menjadi rahasia umum, bahwa kebanyakan rakyat Indonesia telah “menyukai” praktik ini. Baik dari calon peserta pemilu, maupun masyarakat sudah mengenal money politic. Setelah pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan secara langsung, praktik politik uang menjadi semakin tak terhindarkan. Itu artinya, politik uang akan menjadi ancaman serius dalam Pemilu 2014 yang akan datang. Terlebih, pada Pemilu Gubernur (Pilgub) 2013 mendatang, praktik politik uang akan menjadi “senjata” ampuh bagi calon gubernur. Apalagi, persaingan antarpasangan di kubu partai saja terlihat semakin ketat saja. Sebut saja, persaingan di PDIP saat ini saja sudah menampilkan beberapa figur besar, di antaranya Rustiningsing, Don Murdono, Bibit Waluyo, dan tokoh-tokoh PDIP lain di lingkungan Jawa Tengah. Melihat persaingan di kubu satu partai saja sangat ketat, apalagi di Pilgub yang sesungguhnya nanti. Pasti akan sangat seru dan menegangkan untuk menunggunya. Rawan Politik Uang Dulu, money politic dilakukan pada dini hari sebelum pelaksanaan pemilu, yaitu ketika suasana masih fajar, sehingga sering dinamakan dengan istilah “serangan fajar”. Karena dulu masih ada rasa malu jika ketahuan lawan politik. Akan tetapi, sekarang praktik kotor ini sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, bahkan sudah membudaya. Hingga akhirnya, acara membagi-bagikan uang sebelum pemilu, dilakukan ketika matahari sudah menampakkan diri. Oleh Karena itu, Dr Mohammad Nasih, seorang pakar Ilmu Politik UI menyebutnya dengan istilah “serangan dhuha”. Karena praktik itu dijalankan pada waktu shalat dhuha, yaitu antara pukul 07.00 sampai sebelum waktu salat zuhur. Saat ini politik uang memang tidak bisa dikendalikan lagi. Biasanya, setiap calon atau kandidat agar bisa memenangkan pemilihan, maka mereka membentuk tim sukses yang terstuktur, mulai dari level pusat sampai level paling bawah. Tim sukses itu mempunyai tugas untuk mencari pemilih yang pragmatis, sehingga mereka bisa memberikan uang yang sudah disediakan para calon. Tidak hanya para calon saja yang berniat mempraktikkan money politic, tetapi masyarakat juga menganggap politik uang adalah hal yang sudah biasa terjadi. Bahkan, banyak dari masyarakat yang tidak mau menggunakan hak milihnya, karena belum mendapatkan uang dari calon. Seingga, mereka tidak mau datang ke TPS dan menunggu uang datang ke rumahnya. Kesempatan inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh tim sukses untuk bergerak mendatangi mereka. Dengan tawaran uang yang cukup menggiurkan, masyarakat tidak sadar jika mereka telah terlibat praktik yang melanggar aturan pemilu tersebut. Praktik money politic dilakukan dalam berbagai bentuk, bisa berupa uang, bahan makanan, pakaian, atau barang-barang yang lainnya. Uang dan bahan-bahan itu menjadi senjata ampuh untuk meruntuhkan mental budak masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak sadar jika mereka telah diperbudak oleh uang yang sifatnya hanya jangka pendek. Padahal, sesungguhnya masyarakat memiliki kemerdekaan untuk memilih pemimpin yang akan memimpin mereka sesuai hati nuraninya. Inilah yang seharusnya mulai disadari oleh rakyat Indonesia. Salah satu yang menyebabkan praktik politik uang semakin marak adalah terlibatnya pihak lain. Dalam kontoks ini, tak hanya kandidat yang maju dalam pemilu saja yang terlibat, tetapi ada para pengusaha yang membantu mendanai kandidat untuk memnangkan Pemilu. Para pengusaha mempunyai orientasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan itu bisa didapat jika kandidat yang dibantu itu menang. Para pengusaga akan mudah mendapatkan akses untuk meraih proyek-proyek pemerintah nantinya. Kedua belah pihak akan berkerja sama untuk mengambil uang negara untuk dibagi dua, yaitu lewat proyek-proyek. Selain membantu membiayai kandidat yang didukungnya saja. Mereka juga membantu memobilisasi para pemilih agar ikut mendukung calonnya. Dengan begitu peluang untuk memenangkan Pemilu sangat besar kemungkinannya. Tentu kerja sama ini tidak berhenti begitu saja, kerja sama ini akan berlanjut sampai kedua belah pihak mendapatkan keuntungan yang besar dari negara. Caranya, mereka akan memanfaatkan proyek-proyek yang sudah didesain sedemikian rupa, agar menguntungkan kedua pihak, dengan kata lain adalah “korupsi”. Semakin banyak proyek yang diajukan, maka semakin banyak juga korupsi yang dipraktikkan. Ini berlanjut terus-menerus sehingga membuat lingkaran setan. Perlu Fatwa Haram Politik uang Untuk itu, perlu dilakukan langkah konkrit untuk mengentikan praktik politik uang ini. Dalam kontek kekinian, perlu fatwa haram dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengenai praktik money politic ini. MUI yang selama ini selalu menjadi perhatian masyarakat dengan fatwa-fatwanya, pantas mengharamkan praktik politik kotor ini. Sebab, perbuatan ini bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga melibatkan masa depan bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, suatu bangsa jika menginginkan negaranya maju, maka diperlukan pemimpin yang bermental baik, sehingga bisa membuat kebijakan yang pas bagi bangsa kita. Sepeti telah dijelaskan di atas, mental para pemilih kita sebagian besar adalah mental budak, yaitu mental masyarakat inferior (terbelakang). Masyarakat diperbudak oleh calon yang menawarkan selembar uang saja, tentunya ini sangat memprihatinkan. Suara rakyat yang tadinya sangat berharga, akhirnya hanya dihargai dengan harga yang murah oleh para kandidat. Inilah yang mengubah istilah yang selama ini dieluh-eluhkan, yaitu “suara rakyat adalah suara Tuhan” (fox populi fox dei) menjadi “suara rakyat adalah suara setan” (fox populi fox terena). Oleh sebab itu, mendukung fatwa haram yang dikeluarkan oleh PBNU sangatlah tepat. Dengan demikian, kemungkinan politik uang akan sedikit terkurang. Hanya perlu keseriusan untuk mewujudkannya. Selain itu, dibutuhkan kerjasama dan sinergi antara pihak satu dengan lain, supaya menghasilkan suatu yang besar. Untuk melakukan semua itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, semua itu bisa terjadi jika diusahakan. Wallahu a’lam bi al-shawab. * Peraih Beasiswa Sekolah Politik Kebangsaan di Monash Institute Mantan Aktivis IPNU Kota Rembang (Dimuat di NU Online, 15 September 2012) "Dalam konteks perpolitikan Indonesia, umumnya calon yang menang akan larut dalam kemenangan dan cenderung menyepelekan yang kalah.Sebaliknya,calon yang kalah tidak mau menerima kekalahan dan enggan menyalami kepada sang pemenang. Tapi Jokowi-Foke berbeda. Keduanya akrab bagaikan sahabat lama yang sudah mengenal betul pribadi masing-masing. Keakraban Jokowi-Foke yang ditunjukkan secara terbuka kepada seluruh jajaran pemerintahan provinsi dan disaksikan warga Jakarta ini adalah poin penting bagi kesuksesan pembenahan Jakarta yang akan dilakukan Jokowi-Ahok". Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Pesta demokrasi rakyat jakarta telah diusai. Hasilnya pun telah diketahui. Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berhasil memenangkan duel politik pada Pilkada putaran kedua tersebut. Kemengangan Jokowi-Ahok ini sasngat fenomenal, mengingat mereka hanya didukung oleh dua Parpol, yakni PDIP dan Partai Gerinda. Padahal, rivalnya dalam putaran kedua, yaitu Foke-Nachrowi didukung oleh beberapa partai besar, seperti Partai Demokrat, Golkar, PKS, PKB, PPP, PAN, dan lainnya. Itulah sebab, banyak pengamat politik yang menganggap bahwa masyarakat Jakarta sekarang lebih cerdas dalam berdemokrasi. Tentu saja ini menjadi pelajaran berharga untuk daerah-daerah lainnya, agar dalam Pilkada nanti, pemilih lebih cerdas dan cermat dalam menggunakan suaranya. Artinya, jangan sampai hanya patuh dan manut pada partai saja, tanpa mengetahui kapasitas dari si calon. Dalam konteks Jawa Tengah, pemilihan gubernur (Pilgub) 2013 yang akan datang dipastikan akan sangat seru dan menarik. Sebab, penyaringan bakal calon (Balon) oleh masing-masing Parpol saat ini saja sudah begitu menghebohkan. Apalagi dalam pelaksaannya nanti. Namun, yang perlu diperhatikan adalah pemilih harus lebih dewasa dalam pesta demokrasi nanti. Memilih harus sesuai dengan hati nurani. Partai hanya sebagai fasilitator. Oleh karena itu, pada Pilkada DKI kemarin, Dr. Mohammad Nasih, seorang pakar ilmu politik UI berpendapat bahwa terdapat banyak “Pemilih Pembangkang” dalam Pilgub DKI. Sebab, antara partai yang mengusung berbanding terbalik dengan dukungan yang ada dalam masyarakat. Namun, bisa dikatakan itulah yang terbaik. Karena bagaimanapun, demokrasi saat ini harus lebih dinamis. Pemilih harus menunjukkan idealitasnya. Pelajaran Kedewasaan Demokrasi Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan gubernur terpilih Joko Widodo (Jokowi) memberi pelajaran berharga kepada seluruh warga Jakarta. Di akhir masa tugasnya, Fauzi Bowo yang akrab disapa Foke ini mengundang Jokowi dan wakil gubernur terpilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke Balai Kota. Foke mengenalkan penggantinya ini kepada seluruh pejabat dan staf pemerintah provinsi DKI dengan suasana yang hangat dan ramah. Sama sekali tidak terlihat sisa-sisa rivalitas yang tajam antara Jokowi-Foke seperti waktu kampanye menjelang pilkada putaran kedua. Jokowi-Foke menunjukkan sikap sebagai tokoh dan pemimpin yang patut menjadi contoh dalam kehidupan berdemokrasi. Dalam konteks perpolitikan Indonesia, umumnya calon yang menang akan larut dalam kemenangan dan cenderung menyepelekan yang kalah.Sebaliknya,calon yang kalah tidak mau menerima kekalahan dan enggan menyalami kepada sang pemenang. Tapi Jokowi-Foke berbeda.Keduanya akrab bagaikan sahabat lama yang sudah mengenal betul pribadi masing-masing. Keakraban Jokowi-Foke yang ditunjukkan secara terbuka kepada seluruh jajaran pemerintahan provinsi dan disaksikan warga Jakarta ini adalah poin penting bagi kesuksesan pembenahan Jakarta yang akan dilakukan Jokowi-Ahok. Karena bagaimanapun, Fauzi Bowo adalah birokrat tulen yang paham betul akan karakter masyarakat Jakarta. Dan bagaimanapun juga Jokowi sebagai gubernur terpilih adalah orang baru yang harus belajar dari orang yang sudah berpengalaman. Mantan Wali Kota Solo itu pun dengan tanpa canggung sudah menggandeng Foke sebagai mitra dalam membenahi Jakarta. Bagi Jokowi, dukungan dan restu Foke akan memperlancar dirinya memimpin Jakarta. Selain itu, akan menjadi semangat tersendiri bagi Jokowi-Ahok untuk memimpin Jakarta, karena restu dan dukungan dari gubenur sebelunya. Kultur baru yang dibangun Jokowi dan Foke ini bisa menjadi awal yang baik dalam kedewasaan berpolitik. Artinya, setajam apa pun persaingan dalam masa kontestasi pilkada, harus juga selesai ketika hasil resmi telah diumumkan. Saling memberi selamat, saling kunjung-mengunjungi, saling bersalaman dalam suasana penuh kebersamaan yang dipertontonkan Jokowi-Foke akan menebarkan energi positif warga Jakarta untuk bersama-sama memulai Jakarta baru. Jakarta yang harmonis, tertib, tertata, dan berwibawa sebagai wajah Indonesia bukanlah hal mustahil akan terwujud. Kebesaran hati menerima kekalahan dan kerendahan hati sang pemenang mengandung makna yang dalam bagi demokrasi. Kita berharap kebersamaan Jokowi-Foke tidak berhenti hanya sampai di situ. Keduanya harus intens berdialog untuk menuntaskan masalah-masalah Jakarta yang dikenal rumit dan kompleks. Kebersamaan sesama pemimpin akan menjadi contoh kepada anak buah dan warga yang mereka dipimpin. Sebab, perpecahan antarpemimpin nantinya juga akan ditiru anak buah dan menular kepada masyarakat yang mereka pimpin. Itu artinya, baik dan buruknya Jakarta ke depan terletak pada para pemimpinnya. Apa yang terjadi, jika budaya saling telikung, saling serang, serta saling sikut masih terus dipelihara di luar arena pertandingan politik. Jokowi-Foke sudah memberi teladan baik kepada kita bahwa pemimpin dan politikus itu hendaknya berhati negarawan. Negarawan tidak lagi memikirkan kepentingan pribadi. Ia hanya berpikir bagaimana yang terbaik untuk negaranya, dan apapun caranya akan dilakukan, meski harus mengorbankan kepentingan ia sendiri. Ketika kepentingan rakyat dan negara memanggil, tanggalkan kepentingan pribadi dan kelompok. Alangkah indahnya jika pada pilkada-pilkada berikutnya suasana kebersamaan yang ditunjukkan Jokowi-Foke ini bisa terbangun pula. Selain itu, sekali lagi daerah-daerah lain harus mencontoh Pilkada DKI, jika menginginkan demokrasi yang baik. Politik tidak harus selalu transaksional. Praktik politik uang tidak lagi menjadi cara untuk memenangkan Pemilu. Sebab, jika itu terjadi, maka sulit rasanya akan berkerja maksimal. Politik adalah pengabdian kepada rakyat tanpa pamrih. Kedengarannya klise,tapi Jokowi-Foke sudah memulai bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak sekadar basabasi. Itulah sosok pemimpin yang sesunggunhya. Sosok asketis yang ditunjukkan oleh Jokowi selama ini menambah indah sosok kepemimpinannya. Wallahu a’lam bi al-shawab. _________________________________ *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) IAIN Walisongo Semarang. (Dimuat di Solopos, 16 Oktober 2012) Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Menurut Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2011, Tentang Partai Politik, Partai Politik (Parpol) adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fungsi sejati partai politik adalah sebagai penyalur aspirasi masyarakat, pemberi pencerdasan, serta pengontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sigmund Neumann, memberikan definisi yang berbeda, yaitu Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham. Dari pengertian yang semacam inilah yang mengakibatkan Parpol bergeser fungsi dan tugasnya. Akibatnya, Partai politik hanya berorientasi kepada kekuasaan dan kedudukan, serta cenderung melupakan kepentingan rakyat. Partai politik yang semula berorientasi untuk mengurusi kepentingan rakyat, kemudian berubah hanya mengurusi kepentingan partai dan para pemegangnya. Inilah realitas Parpol yang ada saat ini. Orientasi kepada kekuasaan itu yang selanjutnya mengakibatkan Parpol “menghalalkan” segala cara untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Akibatnya, money politic menjadi cara yang paling ampuh untuk mempengaruhi masyarakat. Terlebih lagi, jika masyarakat itu adalah pemilih yang pragmatis, tentu kemungkinan berhasil dalam politik uang itu sangat besar. Beda lagi jika para pemilih itu mempunyai idealisme yang tinggi, tentunya mereka tidak akan pernah terpengaruh dengan politik uang. Sebagaimana yang ditulis Dr Mohammad Nasih (Seputar Indonesia, 20 April 2012), saat ini politik uang tidak hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi (“serangan fajar”), tetapi sudah dilakukan secara terang-terangan, Nasih menyebutnya “serangan dhuha”. Sebab, praktik itu dilakukan dalam waktu kira-kira antara pukul 07.00 sampai sebelum waktu salat zuhur yang merupakan waktu salat dhuha. Jika ini dibiarkan, maka kepentingan rakyat tidak lagi teradvokasi. Oleh karena itu, Partai politik seharusnya segera menyadari cara-cara itu sudah tidak relevan lagi dilakukan. Parpol harus benar-benar mengoptimalkan kembali fungsi dan peranannya sesuai dengan kepetingan rakyat dan Undang-undang yang berlaku. Sebab, jika cara-cara itu masih dilakukan, maka usaha untuk memperbaiki bangsa akan mustahil dilakukan. Selain itu, masyarakat sekarang ini sudah semakin cerdas, mereka bisa membedakan mana partai politik yang benar-benar membela kepentingan rakyat dan mana yang tidak. Jadi, Parpol harus mengembalikan fungsinya lagi. _______________________________________ *Mahasiswa KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) IAIN Walisongo Semarang, Perdana Menteri Monash Institute 2012. (Dimuat di Koran Online RIMA NEWS, 08 September 2012) Gaya hidup hedonistis sudah menjadi penyakit yang menyerang para pejabat negara saat ini. Kondisi seperti ini membuat rakyat menanti lahirnya pemimpin asketis. Secara etimologi, asketis bisa diartikan sebagai sikap sederhana, jujur, dan rela berkorban. Pemimpin asketis memang sangat sulit dijumpai pada masa sekarang ini. Gaya hidup yang bermewah-mewahan dan glamor sudah menjadi “tren” dikalangan pejabat. Gaya hidup hedonistis ini menjadi salah satu penyebab utama maraknya korupsi di Indonesia. Dengan hidup yang bermewah-mewahan, secara langsung mereka akan berusaha memenuhi itu tanpa memperdulikan bagaimana caranya. Para pejabat yang sudah diberi amanat oleh rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa malah menyalah gunakan jabatannya tersebut. Pejabat-pejabat yang hidup bermewah-mewahan ini seharusnya introspeksi dan membaca kembali sejarah bangsa Indonesia. Mengapa mereka bisa hidup di negara yang merdeka ini, sehingga mereka bisa menikmati kemerdekaan sebagai pejabat negara dengan segala fasislitas yang serba mewah. Semua itu terjadi karena ada founding fathers (para pendiri bangsa) yang sudah berjibaku, mati-matian mengorbankan jiwa dan raganya, demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Pengorbanan itu tidak semata-mata kita nikmati, tetapi harus kita sukuri dan melanjutkan apa yang menjadi cita-cita para pahlawan. Membedakan Pejabat dengan Pemimpin Sikap hidup hedonistis dikalangan petinggi negara ini disebabkan mereka menganggap dirinya adalah pejabat, bukan pemimpin. Pemimpin adalah cermin bagi rakyatnya, sedangkan pejabat adalah orang yang memiliki jabatan. Menganggap diri mempunyai jabatan bisa dianalogikan dengan ketika kita punya rumah atau kendaraan yang setiap saat bisa digunakan sesuai dengan keinginan kita. Dengan modus kepemilikan yang seperti ini, membuat mereka ingin memanfaatkan jabatannya sesuai dengan dorongan nafsunya. Sehingga, jabatan akan menjadi properti yang harus dimanfaatkan kapan saja dan dimana pun mereka berada, asalkan upaya pemanfaatan itu bisa dilakukan. Berbeda dengan paradigma pejabat, pemimpin adalah tauladan, cermin, dan mempunyai tanggung jawab atas amanat yang diembannya. Pada dasarnya setiap manusia dilahirkan sebagai pemimpin. Bisa saja pemimpin untuk dirinya sendiri, keluarga, atau pemimpin bagi siapapun yang berada di bawah tanggung jawabnya. Ketika, ia dipilih dan diangkat menjadi pejabat dengan tugas-tugas yang melekat pada jabatannya, maka ia akan menganggap jabatan itu sebagai tanggung jawab kemanusiaan yang harus dilaksanakan. Pada akhirnya, jabatan dianggap sebagai tanggung jawab yang harus ditunaikan, sama halnya dengan ia menunaikan tugas-tugas kemanusiaan yang sudah melekat sejak lahir. Jika ia menghianatintanggung jawab itu, maka ia sama halnya menghianati hidupnya sendiri. Sebab, hidup ini tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Dengan paradigma yang seperti itu bisa dipastikan pemimpin tidak akan bergaya hidup hidonistis sebagaimana yang dilakukan pejabat. Bagi pejabat, jabatan merupakan rejeki yang didapat dengan susah payah dan harus disyukuri jika sudah didapat, dengan cara memanfaatkan jabatan itu dengan sebaik-baiknya. Namun, bagi pemimpin, jabatan adalah suatu tambahan tanggung jawab kemanusiaan atau amanat yang harus ditunaikan dengan baik dan benar. Dengan begitu, karakter-karakter asketis berupa sikap rela berkorban, jujur, dan kesederhaan akan melekat dan tak terpisahkan dari seorang pemimpin. Sebaliknya, karakter asketis itu tak mungkin bisa diharapkan dari seorang pejabat, karena pejabat tidak merasa punya tanggung jawab. Bahkan, bagi pejabat semua sikap itu hanya akan melipatgandakan kerugian saja. Sebab, ia sudah merasa berkorban dan rugi dalam meraih jabatan itu, sehingga mereka berpikir mengapa harus ditambah pengorbanan dan kerugian lagi. Oleh karena itu, yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara menebus kerugian dan pengorbanan itu, bukan memikirkan tanggung jawabnya. Otomatis, pada akhirnya mereka akan memanfaatkan jabatan itu untuk meraih keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Harus Sadar Posisi Hidup dalam kesederhanaan harus mulai disadari oleh para pejabat negara. Sebab, mereka adalah cermin dan teladan bagi rakyat. Meskipun hidup dalam harta yang berlimpah, sebaiknya para pejabat tidak perlu memamerkan kekayaannya kepada publik. Seperti halnya Kasman Singodimedjo, meski kaya raya, hidupnya tetap sederhana. Kemana-mana menggunakan kendaraan umum atau dibonceng sepeda motor oleh anak-anak muda pada masa itu. Para pemegang amanat rakyat seharusnya meneladani perilaku dan sikap para pendahulu bangsa kita. Ini tidak hanya dilakukan oleh presiden atau wakil presiden saja, para wakil rakyat, para pejabat yang ada di lembaga yudikatif, dan semua yang terjun dalam pemerintahan harus meneladani sikap asketis para pendiri bangsa ini. Mereka adalah pemimpin, bukan pejabat. Kesederhanaan mereka akan membuat rakyat hormat dan merasa dekat. Sosok yang patut menjadi contoh pemimpin asketis adalah Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad. Ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat berani, sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan dan kebersahajaannya itu tampak ketika pertama kali menduduki kantor kepresidenan, ia menyumbangkan seluruh karpet istana Iran yang sangat tinggi nilainya kepada masjid di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan. Bahkan, tiga tahun yang lalu, ia menikahkan putranya, Alireza Ahmadinejad dengan sangat sederhana. Pernikahan tersebut hanya menelan biaya 3,5 juta Toman (setara dengan USD 3.500/ Rp 28 Juta). Penikahan ini terlihat sangat sederhana melihat ia adalah salah satu presiden terkenal di dunia. Jika dibandingkan dengan pernikahan putra Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono, maka ini menjadi sangat ironis, melihat Indonesia tidak lebih maju daripada Iran. Tabloid Cek dan Ricek melaporkan prosesi pernikahan putra SBY menghabiskan dana sebesar Rp40 Miliar. Pemimpin seperti Ahmaddinejad lah yang sekarang ini di harapkan oleh bangsa Indonesia. Pemimpin yang sederhana, jujur, dan berani berkorban demi bangsanya. Dengan demikian, lahirnya pemimpin asketis sangat didamba-dambakan oleh rakyat indonesia saat ini. Sebab, rakyat sudah muak dengan gaya hidup pejabat-pejabat yang hedonistis yang sama sekali tidak memikirkan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama secara kolektif untuk meminta mereka bersedia menerima tambahan tanggung jawab sebagai pemimpin. Dengan begitu, rakyat akan lebih dekat dan hormat. Untuk mewujudkan semua itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, semuanya pasti bisa jika diusahakan. Wallahu a’lam bi al shawab. Penulis Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang, Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Dimuat di Opini Sumut Pos, 16 Oktober 2012 |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |