Dimuat di Rimanews, Mon, 07 Januari 2013 - 11:07 WIB Apapun alasannya, korupsi tetaplah korupsi. Perbuatan yang sangat merugikan negara dan mencekik leher rakyat. Diakui atau tidak, penyebab utama mengapa korupsi di negeri ini semakin menggurita dan juga dilakukan secara berjamaah adalah gaya hidup yang materialistis dan hedonistis. Gaya hidup materialistis dan hedonistis sudah menjadi penyakit yang menjakiti para pejabat negeri ini. Hidup serba mewah dan megah menjadi hal wajib yang harus dipenuhi oleh mereka. Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Para koruptor negeri ini sepertinya sudah menempati zona nyaman. Artinya, tikus-tikus berdasi itu tidak hanya dikutuk dan dibenci karena telah merampas uang negara, tetapi juga dibela dan dikasihani. Yang lebih mengherankan, orang yang melakukan pembelaan kepada perampok uang rakyat itu bukan sembarang orang. Ya, pembelaan itu justru datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), orang nomor satu di Indonesia. SBY mengatakan kepada rakyat agar mengasihani pejabat yang korup. SBY memberikan statement itu ketika pidato memperingati Hari Antikorupsi dan Hari HAM Sedunia di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/12). Mulanya, Presiden mengatakan ada dua jenis korupsi, yaitu korupsi yang diniati untuk memperkaya diri atau kelompok, dan korupsi yang terjadi karena ketidakpahaman pejabat bahwa yang dilakukannya adalah korupsi. Pejabat yang tidak paham inilah yang harus dikasihani. Apapun alasannya, korupsi tetaplah korupsi. Perbuatan yang sangat merugikan negara dan mencekik leher rakyat. Diakui atau tidak, penyebab utama mengapa korupsi di negeri ini semakin menggurita dan juga dilakukan secara berjamaah adalah gaya hidup yang materialistis dan hedonistis. Gaya hidup materialistis dan hedonistis sudah menjadi penyakit yang menjakiti para pejabat negeri ini. Hidup serba mewah dan megah menjadi hal wajib yang harus dipenuhi oleh mereka. Bahkan, semua itu sudah menjadi tren di kalangan elit. Jika tidak mengikuti tren tersebut, maka akan dianggap ketinggalan jaman dan tidak maju. Itulah yang kemudian menjadi tolok ukur kehidupan mereka. Akibat yang ditimbulkan tentunya adalah mereka tidak lagi memperhatikan bagaimana cara untuk memenuhinya. Sehingga pada akhirnya, korupsi lah yang menjadi solusi praktis untuk mengatasi persoalan tersebut. Korupsi Adalah Pilihan Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana seandainya para koruptor itu hidup asketis? Tentu ini hanyalah pertanyaan retorik yang tak perlu di jawab. Secara etimologi, asketis bisa diartikan sebagai sikap sederhana, jujur, dan rela berkorban. Memang, saat ini sangat sulit kita menjumpai yang hidup sederhana dan jujur. Terlebih orang yang rela berkorban demi rakyat. Perbandingannya mungkin seribu satu. Apalagi di tengah krisis kepemimpinan dan korupsi yang sudah sangat parah ini. Tentu ibarat mencari jarum ditumpukan jerami. Para pejabat yang sebelumnya sudah diberi amanat oleh rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa, seharusnya mampu menjalankan tugas tersebut. Namun, yang terjadi justru mereka menyalahgunakan jabatannya tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Akibatnya mereka memilih menjadi koruptor, yang akibatnya sangat menyengsarakan rakyat kecil. Hak-hak rakyat direbut secara paksa oleh mereka yang orientasinmya material. Setelah memilih menjadi koruptor, tentu ada konsekuensi yang harus mereka terima. Selalu merasa kurang, tidak puas, keinginan yang berlebih dan sebagainya itulah yang terjadi. Semua itu adalah nilai-nilai yang diajarkan oleh materialisme dan hedonisme. Dalam menjalankan hidup yang mereka rasakan adalah ketidaktenangan hidup. Sebab, mereka akan dikejar-kejar oleh para penegak hukum, semisal KPK, Polri, ataupun Kejaksaan. Tentu bisa disimpulkan bahwa tidak ada koruptor yang hidup asketis. Artinya, jika koruptor hidup asketis, maka mereka tidak akan menjadi koruptor, ia akan berkorban bagi rakyat, jujur dalam menjalankan tugasnya, serta berkehidupan yang sederhana. Langkah Preventif Pejabat-pejabat yang sudah terlanjur hidup bermewah-mewahan ini seharusnya introspeksi dan membaca kembali sejarah bangsa Indonesia. Sebenarnya, mengapa mereka bisa hidup di negara yang merdeka ini, sehingga bisa menikmati kemerdekaan sebagai pejabat negara dengan segala fasislitas yang serba mewah? Semua itu terjadi karena ada founding fathers (para pendiri bangsa) yang berjuang mati-matian mengorbankan jiwa dan raga. Semua itu dilakukan hanya semata-mata untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Oleh sebab itu, pengorbanan itu tidak semata-mata kita nikmati, tetapi harus kita sukuri, dengan cara melanjutkan apa yang menjadi cita-cita para pahlawan. Sikap hidup hedonistis dikalangan petinggi negara ini disebabkan mereka menganggap dirinya adalah pejabat, bukan pemimpin. Pemimpin adalah tauladan, cermin, yang mempunyai tanggung jawab atas amanat yang diembannya, sedangkan pejabat adalah orang yang memiliki jabatan. Menganggap diri mempunyai jabatan bisa dianalogikan dengan ketika kita punya rumah atau kendaraan yang setiap saat bisa digunakan sesuai dengan keinginan kita. Dengan modus kepemilikan yang seperti ini, membuat mereka ingin memanfaatkan jabatannya sesuai dengan dorongan nafsunya. Sehingga, jabatan akan menjadi properti yang harus dimanfaatkan kapan saja dan dimana pun mereka berada, asalkan upaya pemanfaatan itu bisa dilakukan. Berbeda dengan pejabat, maka pemimpin akan menganggap jabatan itu sebagai tanggung jawab kemanusiaan yang harus dilaksanakan. Dengan paradigma yang seperti itu bisa dipastikan pemimpin tidak akan bergaya hidup hidonistis sebagaimana yang dilakukan pejabat. Dengan begitu, karakter-karakter asketis berupa sikap rela berkorban, jujur, dan kesederhaan akan melekat dan tak terpisahkan dari seorang pemimpin. Sebaliknya, karakter asketis itu tak mungkin bisa diharapkan dari seorang pejabat, karena pejabat tidak merasa punya tanggung jawab. Sadar Posisi Hidup dalam kesederhanaan harus mulai disadari oleh para pejabat negara. Sebab, mereka adalah cermin dan teladan bagi rakyat. Meskipun hidup dalam harta yang berlimpah, sebaiknya para pejabat tidak perlu memamerkan kekayaannya kepada publik. Seperti halnya Kasman Singodimedjo, meski kaya raya, hidupnya tetap sederhana. Kemana-mana menggunakan kendaraan umum atau dibonceng sepeda motor oleh anak-anak muda pada masa itu. Para pemegang amanat rakyat seharusnya meneladani perilaku dan sikap para pendahulu bangsa kita. Ini tidak hanya dilakukan oleh presiden atau wakil presiden saja, para wakil rakyat, para pejabat yang ada di lembaga yudikatif, dan semua yang terjun dalam pemerintahan harus meneladani sikap asketis para pendiri bangsa ini. Mereka adalah pemimpin, bukan pejabat. Kesederhanaan mereka akan membuat rakyat hormat dan merasa dekat. Jika itu dilakukan oleh setiap pejabat negara ini, maka tidak akan lahir satu koruptor pun. Jangankan korupsi, berniat untuk mengambil uang rakyat saja tidak akan terbersit di benaknya. Sebab, karakter asketis, atau dalam ilmu tasawuf, bisa disebut zuhud tidak berorientasi pada dunia, material, atau kemewahan hidup. Namun, yang terpenting adalah bagaimana ia bisa bermanfaat bagi orang lain, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam bi al-shawab. _____________________________________________________________________ *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Ketua Gerakan Pemuda Rembang (GPR), Jawa Tengah.
2 Comments
Kolis
3/9/2013 07:53:26 pm
Harus hidup sederhana.
Reply
aldie
3/9/2013 07:54:11 pm
Gayamu, cung.
Reply
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |