Tayang di Kendari Pos 10 Januari 2013 Adanya dugaan rekening gendut para pejabat mengisyaratkan terjadinya realitas pemanfaatan kewenangan yang membabi buta. Artinya, pendapatan diluar gaji sangat mudah didapatkan oleh mereka yang menjadi pejabat yang mempunyai posisi tawar yang kuat. Dengan kata lain, pengawasan yang lemah juga menjadi faktor penyebab terjadinya ihwal tersebut. Untuk itu, para penegak hukum dan pihak-pihak terkait harus mampu menjalankan fungsinya agar tercipta pemerintahan bersih dan benci terhadap korupsi, sehingga berjuang mati-matian melawan korupsi dan kroni-kroninya. Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Membicarakan tentang politisi negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Selalu ada berita-berita baru yang membuat masyarakat “dipaksa” untuk ikut-ikutan memperbincangkannya. Apalagi, jika membicarakan tentang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selalu ada isu yang menuai pro dan kontra. Sebut saja, isu kongkalikong yang dilakukan oleh DPR dengan eksekutif, dalam membuat anggaran. Kemudian, sempat heboh mengenai dugaan pemerasan yang dilakukan oleh anggota DPR terhadap kementrian BUMN, yang dimunculkan oleh Dahlan Iskan. Kali ini, sebanyak 18 anggota DPR diduga memiliki rekening gendut, dengan transaksi yang mencurigakan. Ya, gendut ternyata tidak hanya menjadi persoalan para polisi yang beberapa waktu lalu dikritik masyarakat dan media, karena badan mereka yang terlalu gemuk. Rekening anggota DPR juga banyak yang ‘seksi’. Memang dugaan rekening gendut di kalangan pejabat bukan persoalan baru. Beberapa waktu yang lalu, media melansir dugaan banyak perwira polisi yang memiliki rekening gendut. Sekarang, giliran anggota Badan Anggaran DPR. Bahkan, laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memiliki 18 Laporan Hasil Analisis (LHA) terkait transaksi mencurigakan anggota DPR. Tentu, berita ini menambah antipati publik terhadap dewan perwakilan mereka, yang beberapa waktu lalu DPR juga dikabarkan terlibat konkalikong anggaran dan bahkan pemerasan terhadap Kementrian BUMN. Ini sungguh ironis melihat fungsi yang seharusnya dijalankan oleh DPR sebagai pengawas sekaligus mengimbangi (check and balance) pemerintah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dugaan ini membuat integritas DPR semakin jatuh saja. Adanya dugaan rekening gendut ini memang sangat menciderai rasa keadilan rakyat. Di tengah banyaknya masyarakat yang sangat kekurangan, bahkan untuk makan saja masih sulit, justru harus mendengar kabar wakil mereka yang duduk di parlemen yang mempunyai rekening gemuk. Ini tentu sangat menyakitkan. Oleh karena itu, demi kenyamanan publik, maka para penegak hukum harus berani mengusut dugaan itu, dan membongkar semuanya yang terlibat. Namun, mengapa ini harus dipersoalkan? Ibarat simpanan uang di bank, maka itu menunjukkan angka yang ‘jumbo’. Namun, jika dibandingkan dengan pendapatan pemilik rekening, ‘kejumboan’ itu menunjukkan ketidakwajaran. Dengan kata lain, pendapatan yang seharusnya diterima (baca: gaji), berbeda dengan yang ditransaksikan. Tentu inilah yang menjadi tugas ‘baru’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku pihak yang berwenang, untuk mengungkapnya. Menanggapi pemberitaan itu, Ketua DPR, Marzuki Ali menyatakan mendukung agar KPK segera meneliti dan menelaah dugaan tersebut. Namun, ia juga meminta kepada PPATK dan KPK untuk membongkar rekening gendut di eksekutif dan yudikatif, tak hanya di legeslatif saja. Sebab, ia merasa keberatan jika hanya DPR yang diusut. Tentu ini menjadi tantangan KPK yang harus disegera diselesaikan. Secara teoretik kehidupan bernegara dan sistem pemerintah di Indonesia sudah cukup punya rambu-rambu untuk mengontrol dan meminimalisir kemungkinan terjadinya penyelewengan kekuasaan. Dalam konteks ini, misalnya saja ketika akan menduduki sebuah jabatan, maka seseorang harus melaporkan harta kekayaannya. Kemudian, ia secara reguler harus meng-up date perkembangan kekayaannya. Tak hanya itu, PPATK sebagai lembaga yang pengawas keuangan juga proaktif menelusuri wajar atau tidak wajar transaksi yang dilakukan oleh para pejabat negara. Sehingga, jika ada transaksi yang tidak wajar, maka PPATK akan melaporkan ke pihak yang berwenang (baca: Polri, KPK, Kejaksaan), untuk dilakukan penelitian dan penyidikan. Tentu dalam konteks ini, asas praduga tak bersalah juga harus dikedepankan. Sebab, jangan sampai hal itu membuat orang yang benar dalam konteks ini menjadi dipersalahkan. Adanya dugaan rekening gendut para pejabat mengisyaratkan terjadinya realitas pemanfaatan kewenangan yang membabi buta. Artinya, pendapatan diluar gaji sangat mudah didapatkan oleh mereka yang menjadi pejabat yang mempunyai posisi tawar yang kuat. Dengan kata lain, pengawasan yang lemah juga menjadi faktor penyebab terjadinya ihwal tersebut. Untuk itu, para penegak hukum dan pihak-pihak terkait harus mampu menjalankan fungsinya agar tercipta pemerintahan bersih dan benci terhadap korupsi, sehingga berjuang mati-matian melawan korupsi dan kroni-kroninya. Dalam ruang kehidupan sosial, memang sering dijumpai gaya hidup yang tak imbang dengan gambaran pendapatan seseorang. Sebut saja, pegawai golongan 3A, Gayus Tambunan, dibandingkan dengan gaya hidupnya yang mewah. Itu artinya, sering tidak nyambung antara logika gaji dengan realitas gaya hidup yang njomplang. Posisi dalam kekuasaan yang memberi kewenangan dan lemahnya pengawasan hukum menjadi celah untuk kondisi demikian. Dalam konteks ini, masyarakat akan semakin benci dengan DPR, karena merasa dihianati, terlepas dari benar tidaknya dugaan tersebut. Dalam catatan KPK, wakil rakyat baik di DPR maupun DPRD mendominasi pihak yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Dari 46 tersangka korupsi yang ditetapkan KPK, terdapat 16 anggota DPR dan DPRD. Anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tahun ini antara lain Angelina Sondakh (Partai Demokrat), Zulkarnaen Djabar (Partai Golkar), dan Emir Moeis (PDI Perjuangan). Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, para politisi masih banyak menjadikan aset negara sebagai mesin ATM dan Parpol-parpol masih menggantungkan hidupnya pada negara. Sekali lagi, ini adalah bahagia pejabat dan derita bagi rakyat. Tugas KPK Selanjutnya PPATK dalam hal ini sudah menunjukkan kinerja yang baik, dengan berani melaporkan LHA kepada KPK. Inilah yang harus selalu dilakukan oleh PPATK. Sebab, kewajiban pelaporan harta pejabat negara dan sistem pengawasan yang lain secara normatif adalah kunci utama untuk meminimalkan celah tersebut. Kalau sudah begitu, saatnya KPK beraksi untuk menelaah, dan mengusut tuntas dugaan rekening gemuk tersebut. Saat ini, KPK sudah sedikit mendapat tempat di hati publik, dengan keberhasilannya dalam mengungkap kasus-kasus besar, seperti kasus mega proyek Hambalang, beberapa waktu lalu, dengan menetapkan Andi Mallarangeng sebagai tersangka. Tentu ini menjadi sebuah pembuktian bagi KPK dalam menegakkan hukum terhadap para koruptor dan teman-temannya. Sikap masyarakat juga diharapkan menjadi mekanisme sosial yang bisa menekan dan mengontrol para pejabat, dengan mendukung KPK agar berkerja maksimal. Tak hanya itu, determinasi media dalam mendorong ditegakkannya hukum, menjadi penguat penekanan. Rekening gendut, bagaimanapun sangat melukai rasa keadian publik, melihat keadaan rakyat rang masih jauh dari kesejahteraan. Fungsi kewenangan yang telah dijual dan hak-hak publik yang dicederai, menjadi alasan rakyat mengutuk mereka yang terlibat. KPK harus segera beraksi dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerja kolektif untuk menyelesaikan semua itu. Wallahu a’lam bi al-shawab. *Ketua HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat Dakwah IAIN Walisongo Semarang, Perdana Menteri di Monash Semarang.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |