Maaf, aku belum terlalu suka membaca sastra. Tentu jadi tak bisa menulis sastra. Tapi suatu saat, aku ingin belajar sastra. Bahkan kalau Tuhan perkenankan, aku bisa punya karya (baca: buku) sastra. Karena itulah, aku tambahkan 'page' sastra ini sebagai do'a.
(Mokhamad Abdul Aziz)
(Mokhamad Abdul Aziz)
Mutiara-Mutiara
|
Membaca Puisi Kitab Suci
Oleh: Mohammad Nasih
(Pengasuh dan Pendiri Monash Institute, Pengajar di Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ). Lebih dari dua dekade yang lalu, ide kreatif H.B. Jassin untuk membuat terjemahan al-Quran dalam bentuk puisi (al-Quran Berwajah Puisi) menuai kontroversi yang luar biasa besar. Jangankan membuat terjemahan yang berbentuk puisi, mengatakan bahwa gaya bahasa dalam sebagian ayat-ayat al-Quran dalam bahasa aslinya (Arab) adalah puisi dalam artian seni sastra, dalam pandangan mayoritas umat Islam dan juga ulama merupakan kekeliruan. Padahal, sesungguhnya kalau al-Quran dibaca secara benar (dengan menggunakan teknik-teknik tajwid yang benar), maka irama puitis al-Quran akan dapat dirasakan secara jelas oleh pembaca dan pendengarnya, termasuk yang tidak mengetahui artinya sekalipun. Bahkan dari gaya bahasanya saja sudah nampak ketinggian bahasa al-Quan yang menjadi ciri khas puisi. Kesalahan pandangan bahwa al-Quran bukanlah puisi tersebut terjadi karena kesalahan dalam memahami dua kata kunci, yakni majn{n dan syir (dan kata-kata turunan-turunannya) yang terdapat dalam beberapa ayat al-Quran. Kesalahan pengertian ini di antaranya terjadi dalam al-Quran terjemahan Departemen Agara RI yang menerjemahkan majn{n ke dalam bahasa Indonesia dengan gila. Kemudian, para mufassir (penafsir al-Quran) terutama yang menggunakan metode ijmali (global) tidak memberikan pengertian yang cukup tentang makna syir dan majnun. Karena itu, untuk memahami permasalahan ini, kita perlu melihat secara lebih komprehensif tentang kata-kata majn{n dan syir dalam al-Quran dan konteks sosio-historis yang menjadi latar belakang turunnya ayat-ayat al-Quran terutama yang berkaitan dengan masalah ini, sehingga ketika al-Quran dianggap sebagai puisi atau syair, dalam artian mempunyai kandungan nilai seni sastra, tidak lagi menimbulkan polemik yang tidak jelas ujung pangkalnya. Lebih jauh, kandungan pesan al-Quran bisa digali dengan sangat enak karena dikemas dalam bahasa-bahasa sastra yang sangat indah. Mujizat Nabi-nabi dan rasul-rasul diutus dalam konteks masyarakat yang membangga-banggakan sesuatu tertentu yang ada pada mereka. Misalnya, Nabi Isa datang kepada masyarakat yang mempunyai kemampuan yang tinggi dalam masalah ketabiban. Profesi sebagai seorang tabib adalah profesi yang sangat prestisius dalam masyarakat kala itu. Maka, Nabi Isa, konon diberikan mujizat berupa kemampuan untuk menyembuhkan orang buta bawaan, lepra, dan bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Demikian pula Nabi Musa. Ia diutus kepada masyarakat yang memuja-muja sihir. Maka oleh Tuhan, Nabi Musa diberi mujizat yang melebihi kemampuan tukang-tukang sihir pada masa Firaun. Tukang-tukang sihir Firaun mampu mengubah tali-tali yang ada di hadapan mereka menjadi ular. Nabi Musa lebih dari itu, mampu mengubah tongkatnya menjadi ular yang lebih besar dan memakan ular-ular hasil sihiran tukang-tukang sihir Firaun. Nabi Muhammad datang dalam konteks masyarakat yang memuja para penyair dan produk syair mereka. Karena itu, Nabi Muhammad diberikan mujizat berupa kitab suci, al-Quran, yang mempunyai kandungan dan nilai sastra yang sangat tinggi yang bisa menandingi ketinggian kemampuan para pujangga Arab Pagan dalam mencipta karya-karya sastra. Uraian Ibnu al-Mandhur dalam Kamus Lisbn al-Arab memberikan penjelasan tentang konteks yang berkaitan dengan kata-kata syir. Toshihiko Izutsu, seorang pakar linguistik, dalam kajian semantiknya juga menjelaskan kondisi sosio-historis masyarakat waktu itu. Di dalam masyarakat Arab Pagan, penyair mempunyai kedudukan yang sangat tinggi karena dianggap sebagai kekayaan dan sekaligus kekuatan suku. Penyair juga dianggap mempunyai kemampuan-kemampuan lebih yang oleh karena itu dijadikan sebagai pemimpin suku pada masa damai dan masa perang. Ucapan-ucapannya dipercayai mempunyai kekuatan melebihi serdadu dengan senjata dan tombak karena mempunyai kekuatan magis yang dapat mengalahkan musuh. Bahkan lebih dari itu, ketika seorang penyair dari suku tertentu diserang dengan menggunakan syair oleh penyair dari suku yang lain, maka ia harus membalasnya. Sebab, kalau itu tidak dilakukan, tidak hanya dia yang dianggap kalah, akan tetapi sukunya pun ikut merasa dan dianggap kalah dan terhinakan. Mereka berkepercayaan bahwa para penyair dan juga tukang tenung adalah tipe orang-orang yang setiap saat dapat dimasuki kekuatan supranatural yang tak terlihat yang memberikan inspirasi kepada mereka. Kekuatan supranatural ini biasa disebut dengan jin. Jadi, syair yang dibuat oleh para penyair pada waktu itu dipandang sebagai hasil komunikasi antara sang penyair dengan kekuatan supranatural itu, yang oleh masyarakat Arab diyakini bahwa kekuatan supranatural itu melayang-layang di udara. Demikian juga kata-kata yang keluar dari tukang tenung yang dipercaya sebagai orang yang bisa meramal, adalah juga kata-kata yang berasal dari jin yang memberikan informasi kepadanya. Dalam pandangan mereka juga, jin tidak merasuk kepada sembarang orang, tetapi memilih orang-orang tertentu yang disukainya. Apabila orang yang disukai itu ditemukan, jin tersebut merasuk ke dalam diri orang tersebut dan menjadikan orang tersebut sebagai penyambung lidahnya. Orang seperti inilah yang dimaksud dengan penyair dalam pengertian semantik yang paling awal, yakni orang yang mempunyai pengetahuan supranatural. Kata syair sendiri menurut Ibn al-Mandhur berasal dari kata syaara atau syaura, artinya adalah memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui oleh orang kebanyakan. Dalam pandangan masyarakat Arab Pagan, setiap penyair mempunyai jin sendiri-sendiri dan dianggap sebagai teman akrab. Sebab itu, ketika seorang penyair tidak mampu mengucapkan syair balasan ketika mendapat serangan dari penyair lain, maka ia akan mengatakan bahwa yang menyebabkannya tidak mampu bukanlah kebodohannya, akan tetapi karena teman akrabnya tidak mengucapkan kata-kata kepadanya. Dalam konteks masyarakat seperti inilah Nabi Muhammad diutus. Karena itu, orang-orang yang tidak mempercayai kerasulan dan kenabiannya, menganggap Nabi Muhammad tak ubahnya penyair-penyair Arab Pagan lainnya. Ketika Nabi Muhammad mewartakan kebenaran kepada mereka yang kebenaran itu berbeda dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya yang diberikan oleh para pujangga Arab Pagan, maka mereka mencela dan mengejek Nabi Muhammad bahkan menentangnya dengan tentangan yang keras. Mereka yang ingkar kepada Nabi Muhammad berkata: Dia adalah penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaannya (al-Thaha: 30), Wahai orang yang diturunkan Alquran kepadanya, sesungguhnya kamu adalah orang yang majn{n. (al-Hijr: 6), dan Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair majn{n ini? (al-Shbffbt: 36). Al-Quran berusaha meyakinkan bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang penyair yang dirasuki jin,. Berkat rahmat Tuhanmu, engkau (Muhammad) sekali-kali bukanlah orang yang majn{n (dirasuki jin), (Nun: 3). Apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad tersebut sesungguhnya bukan berasal dari kekuatan supranatural atau jin, melainkan berasal dari Allah, Tuhan segala alam. Dan al-Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan seorang tukang tenung. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. (al-Haqqah: 41-42). Dari uraian di atas, persoalannya menjadi jelas bahwa sesungguhnya yang ingin ditegaskan oleh al-Quran adalah bahwa Nabi Muhammad dan al-Quran tidaklah sama dengan pujangga-pujangga Arab dan produk-produk syair mereka. Dan dengan demikian, apabila al-Quran disebut sebagai puisi adalah sesuatu yang sama sekali tidak salah, karena kenyataannya memang demikian. Wallahu alam bi al-shawab. |