Dimuat di Harian Sinar Harapan, 6 November 2012 I 01.00 "Namun yang memprihatinkan dan sangat menyedihkan adalah para pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga utama moral bangsa, justrus bertindak semaunya sendiri, tanpa berjalan pada rel spiritual. Para politisi malah mengotak-atik bagaimana mendapatkan kekayaan yang sebesar-besarnya dari negara untuk dinikmati dengan kelompokknya. Mereka hanya mementingkan nafsu saja. Nilai-nilai spiritual yang seharusnya dijunjung tinggi, sekarang ini tidak lagi ada". Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Dewasa ini langkah-langkah para pemimpin bangsa seperti jauh dari spiritualitas bangsa, bahkan tidak berhubungan dengan spiritualitas secara langsung. Padahal, bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang taat beragama, baik agama apapun itu. Namun, banyak hal yang diakukan para pemimpin bangsa yang menyimpang jauh dari nilai-nilai spiritual. Sebut saja, penegakan hukum yang selama ini mengusik rasa keadilan publik. Seperti adanya tebang pilih dalam menangani kasus-kasus korupsi. Bahkan yang lebih ironis lagi adalah hukum bagaikan pisau dapur, yaitu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum hanya dijadikan alat untuk menindas rakyat kecil saja. Dalam berpolitik, spiritual memang tak dianggap penting untuk dipegang erat. Dalam logika politik kekuasaan, spiritualitas justru dianggap sebagai penghambat, karena akan membatasi ruang gerak untuk bertindak sesuai kehendak sendiri. Logika pemerintahan yang seperti inilah, yang menyebabkan bangsa kita kian terpuruk. Berbagai kasus korupsi yang melibatkan para petinggi negara yang bergulir selama ini memperjelas bahwa yang mengendalikan ranah publik saat ini adalah politik kekuasaan yang memarginalkan nilai-nilai spiritual. Untung saja hati nurani atau spiritual publik tidak ikut-ikutan mati. Jika spiritual publik ikut mati, maka bisa dipastikan keadaan bangsa ini kian amburadul. Masyarakat melakukan perlawanan terhadap pemerintah, baik melalui tulisan-tulisan di media masa maupun melakukan demonstrasi. Itu artinya, masyarakatmasih bisa merasakan berbagai keganjilan dalam penganan-penanganan kasus yang menimpa bangsa ini. Selain itu, masyarakat menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan yang hanya berpihak pada golongan tertentu saja, melalu situs-situs jejaring sosial. Dengan facebook dan twitter misalnya, masyarakat melakukan perlawanan moral terhadap pemerintah. Mereka menyuarakan kebenaran yang merupakan dasar dari nilai-nilai spiritual. Tentunya realitas yang seperti ini yang seharusnya dipegang erat oleh rakyat kita. Namun yang memprihatinkan dan sangat menyedihkan adalah para pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga utama moral bangsa, justrus bertindak semaunya sendiri, tanpa berjalan pada rel spiritual. Para politisi malah mengotak-atik bagaimana mendapatkan kekayaan yang sebesar-besarnya dari negara untuk dinikmati dengan kelompokknya. Mereka hanya mementingkan nafsu saja. Nilai-nilai spiritual yang seharusnya dijunjung tinggi, sekarang ini tidak lagi ada. Padahal seharusnya tidak demikian. Sering sekali kita dengar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menempatkan nilai-nilai spiritual pada posisi terhormat. Jika kita telisik lagi dasar negara kita, maka sudah jelas bahwa spiritual adalah hal yang paling penting. Kita semua tahu, dalam Pancasila sila pertama dituliskan “Ketuhanan yang maha Esa”. Itu artinya spiritual adalah hal yang harus diutamakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terlebih untuk mengurusi negara, maka sudah selayaknya menempatkan spiritual dalam politik merupakan “harga mati”. Namun, apa sebenarnya yang menyebabkan dunia pepolitikan kita ini cenderung keruh dan sering dikatakan kotor? Tentu pertanyaan itu sudah diketahui jawabannya, bahwa selama ini yang menjadi penyebab adalah para pemegang kekuasaan tidak lagi menempatkan spiritual dalam menjalankan kekuasaannya. Kita bandingkan saja negara kita dengan negara-negara lain, seperti halnya Jepang. Negeri Sakura ini mempunyai kepemimpinan yang secara umum belandaskan pada etika dan spirit Bushido. Bushido terdiri dari kata, yaitu bushi yang berarti kesatria atau prajurit dan do yang arinya jalan. Bushido atau “jalan kesatria atau prajurit” merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral keksatriaan yang berlaku di kalangan samurai khususnya di zaman feodal Jepang (Abad 12-19). Makna bushido secara umum bisa di artikan sikap rela mati untuk negara atau kerajaan. Yamamoto Tsunetomo dalam Hagakure mengungkapkan bahwa para samurai setiap pagi harus selalu menanamkan diri mereka tentang bagaimana cara untuk mati. Setiap malam mereka menyegarkan kepala mereka tentang menghadapi kematian, sehingga menjadi tidak takut mati. Tugas dan amanat yang diberikan harus diperjuangkan dan dilakukan dengan baik, meski nyawa menjadi taruhannya. Mereka menjadi orang-orang yang mencintai tugas dan kewajibannya melebihi kecintaaan mereka pada diri mereka sendiri. Bahkan, jika mereka gagal menunaikan tugas, maka mereka rela melakukan bunuh diri atau lebih dikenal dengan seppuku (pengeluaran isi perut) atau harakiri (penyobekan perut). Namun, saat ini tradisi bunuh diri berubah menjadi sikap mengundurkan diri dari jabatan secara terhormat daripada menanggung malu karena tak mampu menunaikan tugas. Selalu mengingat mati dan berjuang mati-matian dalam menjalankan tugas inilah yang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin kita. Dengan begitu mereka tidak akan teledor dalam menjalankan amanat rakyat. Oleh karena itu, spiritualitas harus benar-benar ditanamkan dalam jiwa pemimpin dan semua rakyat Indonesia. Pada dasarnya spiritualitas adalah nilai yang ada dalam diri manusia yang meyakini bahwa terdapat kekuatan besar di atas kekuatannya sendiri sebagai manusia. Yang dimaksud kekuatan besar itu adalah Tuhan yang menguasai alam semesta. Dengan demikian, manusia tidak akan menjadikan kehendaknya sendiri sebagai dasar dalam menjalani hidup. Nabi Muhammad SAW. bersabda, ”Orang yang cerdas adalah orang yang pandai menghisab dirinya di dunia dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya suka berharap kepada Allah tanpa melakukan apa-apa.” (HR Tirmidzi). Bagi Indonesia yang selama ini masih harus berbenah, menempatkan spiritualitas dalam berpolitik merupakan hal yang sangat diperlukan. Diharapkan begitu, para pemimpin bangsa akan melakukan tugasnya dengan baik. Tidak lagi mengikuti hawa nafsu belaka. Jika itu dilakukan, maka bangsa Indonesia akan segera keluar dari keterpurukan dan akan menjadi bangsa dan negara yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya. Wallahu a’lam bi al-shawab. *Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Semarang.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |