_Dimuat di Koran Online Rimanews, Rabu, 09 Januari 2013 - 07:05 WIB _"Padahal, setiap warga negara, meskipun berada di pedalaman dan buta aksara sekalipun, harus diasumsikan mengetahui semua peraturan dan hukum positif yang berlaku di negeri ini. Apalagi, para pejabat pemerintahan dan pejabat negara yang semestinya setiap langkah mereka diatur rambu-rambu hukum. Dan yang duduk di situ seharusnya adalah orang-orang yang telah mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Atau mungkin yang berada di birokrasi itu memang orang-orang yang tidak tahu dan “buta” akan peraturan sesuai yang dimaksud SBY. Tentu ini sungguh membahayakan bangsa indonesia ke depannya". __ Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Para koruptor negeri ini sepertinya sudah menempati zona nyaman. Artinya, tikus-tikus berdasi itu tidak hanya dikutuk dan dibenci karena merampas uang negara, tetapi juga dibela dan dikasihani. Bahkan, tidak sembarang orang yang melakukan pembelaan kepada perampok uang rakyat itu. Ya, pembelaan itu justru datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), orang nomor satu di Indonesia. Bahwa rakyat agar mengasihani pejabat yang korup. SBY memberikan statement itu ketika pidato memperingati Hari Antikorupsi dan Hari HAM Sedunia di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/12). Presiden mengatakan ada dua jenis korupsi, yaitu korupsi yang diniati untuk memperkaya diri atau kelompok, dan korupsi yang terjadi karena ketidakpahaman pejabat bahwa yang dilakukannya adalah korupsi. Koruptor Tak Perlu dibela Mendengar pernyataan presiden, tentu hati ini sangat tersentak sekaligus bingung. Sebenarnya, apa yang inginkan SBY? Padahal, dulu SBY telah berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, dengan pernyataan itu, SBY bisa dikatakan akan memimpin korupsi itu sendiri. Presiden berpendapat ada pejabat yang boleh dianggap tidak mengetahui bahwa perbuatannya melawan hukum. Jika diteruskan, maka itu akan berimplikasi sangat luas. Hukum positif bisa dicabik-cabik dan bersalin dengan hukum rimba karena setiap orang bisa beralasan tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya adalah melanggar hukum. Padahal, setiap warga negara, meskipun berada di pedalaman dan buta aksara sekalipun, harus diasumsikan mengetahui semua peraturan dan hukum positif yang berlaku di negeri ini. Apalagi, para pejabat pemerintahan dan pejabat negara yang semestinya setiap langkah mereka diatur rambu-rambu hukum. Dan yang duduk di situ seharusnya adalah orang-orang yang telah mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Atau mungkin yang berada di birokrasi itu memang orang-orang yang tidak tahu dan “buta” akan peraturan sesuai yang dimaksud SBY. Tentu ini sungguh membahayakan bangsa indonesia ke depannya. Tidak ada alasan sekecil apa pun yang membenarkan bahwa ada pejabat boleh diasumsikan tidak mengetahui apa dilakukan adalah korupsi. Ibarat seorang pengendara motor, tentu dia diasumsikan tahu bahwa ada rambu-rambu lalu lintas dan apabila melanggarnya maka akan dihukum. Dengan kata lain, ia tidak akan dibebaskan dengan alasan tidak mengetahui rambu-rambu tersebut. Dari sini, juga bisa dipahami bahwa tau atau tidak seorang pejabat melanggar hukum, dalam konteks ini korupsi, maka ia tidak boleh dilepaskan dari jerat hukum. Begitu pun orang asing pun harus dianggap mengetahui bahwa menyogok pejabat Indonesia untuk mendapatkan proyek merupakan tindak pidana yang harus dihukum. Tidak boleh ada orang yang lolos dari jeratan hukum hanya dengan dalih tidak mengetahui perbuatannya melawan hukum. Itulah hukum yang yang selama ini diterapkan di Indonesia. Para pejabat negara mesti cermat memeriksa apakah keputusan yang dibuat tidak melenceng ke luar jalur hukum. Keputusan setiap pejabat bermuara di dua ujung, yakni kemaslahatan rakyat atau berujung di jeruji penjara. Sangat prihatin sekali, karena Presiden Yudhoyono yang menyerukan akan memimpin langsung perang melawan korupsi ternyata kemudian menjadi panglima yang mudah iba terhadap pejabat yang disangka korupsi. Logika Sesat Apa yang dikatakan oleh presiden itu membuat hati para koruptor berbunga-bunga. Bagaimana tidak? Mereka mendapat pembelaan langsung dari seorang kepala negara. Logika presiden terbalik-balik. Ini mirip anak SD yang ketahuan menyontek lalu dihukum oleh guru, tiba-tiba kepala sekolah bilang kasihani anak yang menyontek itu. Dia mungkin tidak tahu apa yang dilakukannya itu melanggar aturan sekolah atau pendidikan. Sungguh sesat pernytaan presiden kita. Yang seharusnya menjadi pernyataan SBY adalah bagaimana dengan akibat yang diderita akibat ulah koruptor itu? Maka, presiden harus mengatakan jangan korupsi, kasihanilah rakyat kecil yang susah berobat, susah mendapat pendidikan, jalanan rusak, pasar kumuh? Semestinya presiden mengatakan itu dan dengan otoritas yang dia miliki menggerakkan pedang korupsi yang sudah diasah rakyat dengan sangat tajamnya. Bodoh sekali pejabat itu jika tidak tahu apakah hal yang dilakukan itu korupsi atau tidak. Apa yang dilakukan SBY berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan Mantan Perdana Menteri (PM) China Li Peng. Ia justru meminta disediakan 100 peti mati buat pejabat negara yang melakukan korupsi. Satu dari peti mati itu buat dia sendiri jika melakukan korupsi. Elok sekali jika presiden mengatakan sediakan saya 1000 peti mati dan kain kafan buat para koruptor yang dihukum mati. Satu peti mati dan kain kafan itu buat presiden sendiri jika presiden melakukan korupsi. Inilah seharusnya presiden Indonesia yang menginginkan korupsi lenyap dari bumi nusantara. Jika presiden berkata untuk mengasihani koruptor, jangan-jangan ia bagian dari mereka yang harus dikasihani itu. Mungkin presiden ingat asas hukum kita mengenal asas praduga tak bersalah (presumtion of innoncene) namun ini sering kali disalahgunakan. Mestinya yang dipakai asas asumtion of innoncence, minimal mereka mundur jika dituduh melakukan korupsi. Hal ini juga terbalik dengan apa yang dilakukan mantan juniornya di Partai Demokrat, Andi Alfiab Mallarangeng yang mengundurkan diri dari Menpora setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang oleh KPK. Ia bak kesatria yang malu karena tidak bisa menjalankan tanggungjawabnya. Dan pantas saja kalau ia seharusnya dicontoh oleh pejabat-pejabat lain ketika tersangkut kasus korupsi. Publik berharap pernyataan Presiden itu tidak menjadi sinyal bahwa pemerintah kian toleran, kemudian kendur memberantas korupsi. Oleh karena itu, kita harus selalu menyerukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian tidak ikut-ikutan mengasihani koruptor. Mereka harus total dalam rangka “membunuh” koruptor agar menimbulkan efek jera. Betapa enaknya koruptor Indonesia. Setiap tahun mendapat remisi alias bonus potongan masa hukuman, dibela oleh DPR, dilindungi oleh pejabat yang sama-sama korup. Lalu sekarang dibela oleh presiden agar mereka dikasihani. Wallahu a’lam bi al-shawab. ______________________________________________________________ *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Perdana Menteri Monash Institute 2012.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |