Oleh: Mokhamad Abdul Aziz Era globalisasi ini merupakan era yang sangat menhawatirkan bagi intelektualisme Islam. Pasalnya, jarang sekali ditemukan generasi-generasi penerus yang berkualitas secara keilmuanya, seperti masa-masa yang lalu. Hal ini terjadi karena kurangnya ruang berpikir para ilmuwan Muslim. Sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu hanya menjadi pembatas keleluasaan para siswa dalam berpikir. Bagaimana tidak, sekolah membatasi ilmu-ilmu yang dipelajari dengan menerapkan kurikulum yang disusun sedemikian rupa untuk memudahkan dalam proses belajar mengajar. Sehingga, kebanyakkan siswa hanya akan belajar dengan pelajaran yang ada dalam kurikulum tersebut. Akibatnya, para pada masa awal tradisi intelektual Islam, pendidikan identik dengan dakwah Islam. Para pelajar kurang bisa mengeksploitasi apa yang menjadi keingintahuannya. Kemunduran intelektualisme Islam ini harus cepat ditangani dan ditemukan solusinya. Sehingga, tidak hanya orang-orang barat yang menguasai ilmu-ilmu sains di dunia tetapi juga orang Islam harus mengambil alih kembali sesuatu yang telah diambil alih bangsa Eropa tersebut.
Pada masa awal Islam, perkembangan pendidikan berjalan beriringan dengan dengan agama Islam itu sendiri. Fazlur Rahman, seorang intelektual Muslim dari Pakistan, berpendapat bahwa , ada dua jenis pendidikan sejak dari awal masa Islam disamping pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan sekolah istana, yaitu pendidikan yang bertujuan untuk mencetak pemimpin-pemimpin pemerintah pada masa mendatang. Pendidikan ini dilakukan khusus untuk para pangeran di Istana. Jenis pendidikan ini mengajarkan tentang ilmu agama, namun lebih ditekankan kepada pidato, sastra, dan lain-lain. Kedua, pendidikan orang dewasa, yaitu pendidikan yang dilakukan untuk orang banyak yang tujuan utamanya adalah memahami tentang al-Qur’an dan agama, bukan ketrampilan membaca dan menulis. menurut Fazlur Rahman, dari jenis pendidikan inilah berkembang sekolah-sekolah tingkat tinggi yang di kenal sekarang ini. Awal mula ilmu pengetahuan Islam lebih cenderung berpusat pada individu-individu, bukan pada sekolah-sekolah seperti pada sekarang ini. Sehinngga, pada masa ini intelektual lahir karena belajar sendiri dari guru-guru yang mengajarinya. Hal ini juga masih terjadi pada masa abad pertengahan, meskipun mulai banyak muncul madrasah-madrasah. Oleh karena itu, berkaitan dengan peran guru yang sangat sentral ini, kemudian para mahasiswa mengembara mencari guru sendiri menjelajahi negara-negara Islam. Madrasah yang telah semakin banyak bermunculan, dipandang sebagai awal kemunduran dan kemacetan ilmu pengetahuan Islam serta stagnasi kesarjanaan islam. Karena kurangnya usaha untuk memperkaya ilmu yang didapat dari madrasah yang sudah diatur dengan kurikulumnya. Tetapi menurut rahman, yang menjadi penyebab dari penurunan kualitas ilmu pengetahuan islam adalah kekeringan yang berangsur-angsur dari keagamaan karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang kemudian juga mati. Ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan cara-cara tertentu, mengakibatkan kemungkinan tantangan dan oposisi menjadi terisolir. Ilmu-ilmu keagamaan dibuat sedemiksian rupa membuatnya tampak mutlak dan menempati semua bidang ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu-ilmu pengetahuan yang lain hanyalah tambahan yang sama sekali tidak diperhitungkan lagi. Pada masa pertengahan, banyak penyataan ulama yang lebih mengesampingkan filsafat, matematika, dan juga ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Contoh pernyataan yang mengidikasikan hal tersebut adalah pernyataan ahli hukum al-Syathibi, bahwa mencari ilmu apapun juga yang tidak berhubungan langsung dengan amal adalah terlarang. Sedangkan ilmu hukum dan theologi dogmatis bersaing untuk merebutkan kedudukan puncak dari ilmu pengetahuan islam, keduanya menggatikan filsafat yang tidak diperhitungkan lagi. Rahman, menegaskan bahwa apabila semua bentuk ilmu pengetahuan dihubungkan secara organis dan menjadikan ilmu itu sebagai alat theologi dogmatis, maka sumber-sumber kesuburan intelektual menjadi kering dan pemikiran orisinal akan mati. Menurut Rahman, penyempitan ilmu pengetahuan umum melalui hilangnya pemikiran umum dan sains-sains kealaman yang mengakibatkan kurikulum akan terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan murni. Yang termasuk mata pelajaran murni keagamaan adalah Hadits, Fiqh (Hukum), Kalam (Theologi), dan Tafsir al-Qur’an. Bahkan banyak madrasah hanya memfokuskan ke ilmu hadits, dan theologi dicurigai. Persaingan antara ilmu hukum dan theologidan banyak yang menganggap bahwa hadits lah yang tinggi di antara ilmu-ilmu lainnya, sebab hadits menjadi sumber bahan. Ironisnya, ada beberapa sekolah yang hanya mengajarkan hadits sebagai satu-satunya mata pelajaran. Apalagi pelajaran-pelajaran itu lebih banyak bersifat hafalan dari pada pemahaman yang sebenarnya Selain itu yang menjadi penyebab kemrosotan gradual standar-standar akademik ini adalah sedikinya buku-buku yang tercantum dalam kurikulum dan hanya ada waktu yang singkat untuk setiap pelajaran yang ada. Esensi dari pendidikan tinggi Islam adalah intelektualisme Islam. Maka untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan sesuatu yang bisa mendongkrak intelektualisme Islam yang sempat turun drastis. Menurut Rahman, perumusan pendidikan tinggi Islam, harus didasarkan pada metode yang benar terhadap al-Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber ilmu-ilmu yang ada didunia ini. Menurut Rahman, yang sebaiknya dilakukan pendekatan dengan cara menerima pelajaran-pelajaran sekuler modern yang berkembang. Dan hal ini sudah tidak asing lagi di Barat, dengan begitu kemudian mengeksporasi ke dunia. Konsep ini juga berfungsi untuk para ilmuan yang mempunyai kompetensi yang tinggi untuk memberikan nama pada masing-masing bidang yang dikuasai dengan nama-nama Islam dan mengubah isi atau kajian-kajian (jika perlu) yang terkandung yang disesuaikan menurut pandangan Islam. Paradigma pendidikan Islam yang baru harus tetap berasal dari pemahaman yang secara tepat dalam memahami isi dari al-Qur’an. Selain itu,dalm rangka perumusan pemikiran konsep pendidikan Islam yang akan dikembangkan haruslah membangun pondasi yang kuat berupa paradigma yang kokoh spiritual, cerdas, dan moral yang sesuai dengan al-Qur’an. Dan juga kurikulum lebih terbuka dalam pengembangan ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu sosial, karena dengan begitu akan menciptakan pemikir-pemikir yang berani mengeluarkan gagasan-gagasan bebas. Sehingga, akan terbentuklah sistem pendidikan yang baik dan menghasikan intelektual-intelektual yang canggih.Selain itu, semuanya haruslah dibangun di atas sebuah paradigma yang kokoh spritual, intelektual, dan moral dengan al-Qur’an sebagai acuan pertama dan utama. Karena, dengan paradigma sperti inilah akan membangun peradaban yang unggul secara intelektual, anggun secara moral yang berdasarkan al-Qur’an. Rahman juga sangat menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analitis dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas dan bermutu. Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya “membangun dunia berdasarkan al-Qur’an”. Oleh karena itu, Fazlur Rahman memandang keterlibatan sains-sains sosial dalam khasanah pendidikan Islam adalah sangat penting adanya. Wallahu a’lam bi al-shawab. _____________________________________________________________ *Mokhamad AbdulAziz, Mantan Aktivis IPNU Kota Rembang, Ketua HMI Komisariat Dakwah IAIN Walisongo Semarang
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
May 2013
Categories |