Oleh: Suyanti* Sudah menjadi rahasia umum bahwa kampus saat ini mempunyai manajemen yang materialistik. Kenyataan kampus yang sudah menjadikan tata kelola kampus menjadi “sistem pasar”. Akibatnya, hanya orang-orang yang mempunyai kantong tebal saja yang bisa memasuki perguruan tinggi. Sudah kita ketahui bahwa, sistem perekrutan mahasiswa baru saat ini menjadi sangat rumit. Bukan karena menyeleksi calon mahasiswa yang cerdas secara akademis, tetapi lebih kepada calon mahasiswa yang mempunyai uang banyak. Sehingga, biaya kuliah kian mencekik leher mahasiswa dan orang tua. Selain itu, perkuliahan juga didesain menjadi pragmatis, sehingga membuat banyak sekali lulusan perguran tinggi yang plonga-plongo setelah lulus dari PT. Bahkan, hanya membuat masalah ketenagakerjaan saja, karena kampus dinilai telah gagal dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas. Lulusan-lulusan PT kebanyakan begaya hidup hedonistis dan jauh dari nilai kejujuran dan kesederhanaan. Selain itu, pendidikan kejujuran dalam kampus saat ini bisa dikatakan sangat rendah. Pasca diterapkannya otonomi kampus, kampus tak lagi mengurusi soal kejujuaran mahasiswa. Kejujuran diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing mahasiswa, yang mengakibatkan kampus tak bisa intervensi. Padahal, kampus masih sangat dibutuhkan peranannya oelh mahasiswa dalam menempatkan kejujuran dalam dirinya. Sebuah riset LSM di Jakarta “Peduli Kampus” mencatat dari 18 jam pembelajaran efektif setiap hari, hanya 25 % kegiatan mahasiswa yang mengarah pada hal yang positif. Sedangkan, 75 % kegiatan mahasiswa banyak yang terbuang sia-sia. Saat ini kegiatan yang intens dan marak adalah kegiatan yang terkait dengan musik dan olahraga, dan jauh dari nilai kejujuran dan intelektual. Ketika melihat keadaan saat ini, seharusnya pendidikan kejujuranb tmpaknya perlu dilakukan kembali. Misalnya dengan menambahkan mata kuliah kejujuran dalam sistem perkuliahan. Dengan begitu, kejujuran akan menjadi hal yang utama yang mengiringi setiap langkah mahasiswa. Sehingga, diharapkan mahasiswa akan menjadi contoh kepada adik-adik penerus bangsa, bahkan bisa “menampar” para pejabat yang telah melakukan korupsi. Tak hanya itu, fakta untuk kampus saat ini adalah kepemimpinan yang kian koruptif. Fakta ini dilaporkan BPK RI masa pemeriksaan 2011 lalu, bahwa 57 PTN di Indonesia hanya 35% saja yang mendayagunakan anggaran Negara yang bersih dari Korupsi. Ironisnya, biaya perkuliahan ditetapkan sesuai selera pemimpin kampus. Tentunya, hal ini sangat memprihatinkan bagi kita yang mana kampus yang seharusnya menjadi contok lingkungan yang bersih dari praktik KKN, justru menjadi contoh yang tidak baik. Sebenarnya masih banyak lagi fakta-fakta yang mencerminkan bahwa kampus saat ini terjerat “budaya korupsi”. Dalam kontek ini, seharusnya pernyataan Marzuki terkait perguruan tinggi menjadi penyemai korupsi menjadi bahan untuk melakukan introspeksi. Bahwa, faktanya saat ini kampus sudah terjebak dalam “sistem pasar”. Peran pemerintah, dalam hal ini adalah Kemendikbud sangat diperlukan untuk mengawasi sistem yang telah dibuat oleh kampus-kampus. Terlebih untuk kampus favorit, yang memang harus menampakkan favorititasnya dalam rangka membentuk budaya intelektual. Diperlukan kesadaran dari segenap stakeholder kampus untuk berbenah dirim agar kampus menjadi media yang melahirkan orang-orang yang cerdas dan jujur. Sehingga, harapan rakyat dalam membiayai pendidikan di Indonesia bisa menghasilkan produk yang positif untuk mendorong kemajuan bangsa kita. Wallahu a’lam. *Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sekretaris Gerakan Mahasiswa Rembang (GEMAR) Kota Semarang.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
May 2013
Categories |