Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Mahasiswa sering disebut sebagai agent of social change, yaitu agen perubahan sosial.Dalamperjalanan bangsa Indonesia, peran mahasiswa memang tidak bisa dianggap remeh. Mulai dari awal kemerdekaan Republik Indonesia sampai reformasi 1998 lalu, mahasiswa berusaha membantu bangsa ini untuk merdeka yang benar-benar merdeka. Usaha mahasiswa itu ditunjukkan melalui sebuah gerakan. Sebut saja, yang paling bersejarah yaitu pada 1998 ketika gerakan mahasiswa berhasil menumbangkan rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Melalui demonstrasi besar-besaran mereka berhasil, meski harus banyak nyawa melayang. Jika saja mahasiswa waktu itu tidak berhasil menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan, maka kita tidak tahu apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia sekarang ini.
Namun, gerakan mahasiswa setelah reformasi tampaknya sudah kehilangan ideologi. Sebagaimana dikatakan Ghozali Munir dalam diskusi kemahasiswaan bertema “Otokritik Gerakan Mahasiswa: Membumikan Gerakan Mahasiswa berwawasan Dakwah”. Diskusi ini digelar Ge-masaba di kantor DPP PKB, Jakarta, Selasa (10/7) dihadiri sekitar 100 mahasiswa dari berbagai kampus.(Wawasan, Rabu Legi, 11 Juli 2012). Dulu, mahasiswa sangat kritis terhadap pemerintahan, jika ada kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Demonstrasi menjadi senjata ampuh mahasiswa untuk membuat pemerintah berpikir lagi dalam menetapkan sebuah kebijakan. Saat ini, yang terjadi hampir sebaliknya. Mahasiswa tidak lagi setajam “reformasi”. Bahkan, gerakan mahasiswa mengalami stagnasi yang membuat rakyat tidak bisa berkutik menerima kebijakan pemerintah yang merugikan mereka. Seringkali kita mendengar saat ini mahasiswa kian hedonis, pragmatis, serta apatis. Stagnasi Gerakan Mahasiswa Pada masa reformasi 1998, gerakan mahasiswa mencapai titik puncaknya. Seluruh elemen mahasiswa bersatu-padu merapatkan barisan untuk menumbangkan rezim Soeharto.Mereka menyadari bahwa rezim Soeharto merupakan musuh bersama. Namun, setelah reformasi itu, gerakan mahasiswa seperti kehilangan arahdan stagnasi pun tidak bias dihindari. Gerakan mahasiswamengalami stagnasidisebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kesalahan memahami keberadaancommon enemy (musuh bersama). Jika pada masa sebelum reformasi yang dianggap musuh mahasiswa adalah rezim Soeharto, maka pascaturunnya Soehartomereka menganggap sudah tidak punya musuh bersama lagi, sehingga pemahaman ini menjadi bias. Sebab, mereka menganggap musuh bersama harus berbentuk rezim politik.Padahal, masih banyak rakyat yang tidak layak kehidupannya. Bahkan, mereka merasa belum “merdeka”. Ironisnya, banyak yang mengatakan bahwa hidup di masa sekarang ini lebih enak hidup di masa pemerintahan Soeharto dulu. Dalam konteks ini, meski sudah ada kebebasan yang dicita-citakan, tapi tampaknya kebebasan itu hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu, sehingga terjadi ketidakseimbangan antar penduduk. Seperti kata Rhoma Irama lewat sebuah lagunya bahwa yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Ini membuktikan bahwa runtuhnya rezim Soeharto belum juga mampu merubah secara signifikan keadaan rakyat Indonesia secara umum. Kedua, Setiap elemen mahasiswa memiliki visi yang berbeda, bahkan bersebrangan antara yang satu dengan yang lain.Sehingga,akan mengarah ke dalam persoalan friksi-friksi yang bersifat teknis. Fakta inilah yang kemudian menjadi penyebab gerakan mahasiswa kehilangan orientasi. Sebab, ada kecenderungan dari kelompok mahasiswa itu untuk mempertahankan visi atau tujuan yang telah dicita-citakan kelompokknya.Akibatnya, mereka lupa dengan cita-cita utama bangsa Indonesia. Ketiga, terjebaknya gerakan mahasiswa pada konstalasi politik nasional.Tidak bisa disembunyikan lagi, saat ini mahasiswa dijadikan sebagai kendaraan oleh para politisi untuk mendukung kepentingan politiknya. Misalnya, mahasiswa dijadikan alat untuk menggalang opini publik. Dalam konteks ini, mahasiswa pragmatis dipengaruhi para politisi untuk membuat publik condong kepadannya. Mahasiswa pragmatis inilah yang selanjtnya meruntuhkan citra mahasiswa Idealis. Seharusnya, sikap kritis yang dimiliki mahasiswa dijadikan senjata untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Mahasiswa sebagai agent of social change sudah seharusnya mengkritisi pemerintah. Namun, bukan berarti harus meleburkan diri ke dalam dinamika politik nasional. Sebab, jika itu terjadi, kemungkinan besar gerakan mahasiswa akan dipolitisasi, bahkan akan dijadikan sebagai komoditas politik. Sehingga itu akan memperparah keadaan dan menghambat laju perbaikan bangsa ini. Menemukan Arah Perjuangan Setelah kurang-lebih 14 tahun gerakan mahasiswa mengalami stagnasi, desain baru mahasiswa harus mulai dipikirkan. Fakta ini yang seharusnya menjadi awal untuk mendekatkan diri kepada rakyat, bukan terjebak dalam konstalasi politik nasional. Semua gerakan mahasiswa harus mulai diorientasikan untuk masyrakat, lebih-lebih pada kaum mushtadl’afiin (tertindas). Dalam menghadapi masalah bangsa yang semakin rumit dan semrawut ini, mahasiswa harus meningkatkan kapasitas intelektualnya, supaya bisa menganalisis setiap masalah dengan benar dan tentunya menawarkan solusi yang baik juga. Sebab, bagaimapun juga kualitas intelektual adalah suatu keharusan yang wajib dimiliki mahasiswa sebagai civitas academica. Dengan memiliki kecerdasan yang mumpuni, baik kecerdasan intelektual, spiritual, maupun kecerdasan emosional, maka perubahan dan perbaikan akan bisa dilakukan dengan baik dan benar. Harus disadari juga bahwa ”common enemy” saat ini bukan lagi dalam bentuk rezim, tetapi lebih ke persoalan-persoalan rakyat, seperti korupsi, kelaparan, gizi buruk, mafia kasus, tebang pilih penegakkan hukum, dan pesoalan lain yang mengancam negeri ini. Maka dari itu, permasalahan bangsa yang selama ini membelenggu negeri kita harus dipahami sebagai “musuh bersama”. Artinya, segala hal yang memberi akibat buruk bagi masyrakat adalah musuh bersama yang harus ditumpas habis. Mahasiswa juga tidak perlu terjabak pada pesoalan friksi-friksi dan konstalasi politik nasional. Namun, yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa bisa bersatu dan membangun kekuatan bersama-sama rakyat, untuk membangun bangsa dannegara menjadi lebih maju dan beradab. Semua itu harus dipahami dengan baik oleh semua lapisan mahasiswa, kemudian melakukan gerakan perubahan yang istiqamah (konsisten). Sehingga, segala bentuk kemiskinan, ketidakadilan, dan keserakahan akan hilang dari bumi Indonesia. Dan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT akan tercapai. Wallahu a’lam bi al-shawab. _________________________ *) Aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) IAIN Walisongo Semarang Dimuat di Rimanews, 5 Agustus 2012
5 Comments
Muji
12/24/2012 01:35:49 pm
luar biasaaaa.......
Reply
Indah
12/24/2012 01:36:39 pm
Mahasisa sudah mati, Mas.
Reply
Yang penting kelihatan pinter, ya.
12/24/2012 01:37:32 pm
Reply
Sunthi
12/24/2012 01:38:31 pm
Hidup Mahasiswaa.
Reply
mumi
1/6/2013 11:33:36 am
Mahasiswa tk perlu bergerak
Reply
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
May 2013
Categories |