Oleh: Mokhamad Abdul Aziz Tulisan Misbahul Ulum berjudul ”Menanti UU Cuti Melahirkan” memang menarik untuk ditunggu realisasinya oleh pemerintah. (Suara Merdeka, 06/02/2013). Alasannya sederhana, dalam sebuah penelitian, perempuan sebagai ”guru” yang pertama bagi anaknya, tentu harus lebih intensif dalam mengasuh dan mendidik buah hatinya, terutama pada masa emas (dua tahun awal setelah lahir). Terbinanya sumber daya manusia yang berkualitas sangat ditentukan pada usia itu, sehingga seorang ibu harus memberikan perhatian dan kasih sayang pada masa itu; tanpa menghilangkan peran laki-laki tentunya.
Selama ini, tugas-tugas perempuan; mengandung, melahirkan, dan menyusui memang dipandang remeh. Sebab, semua itu dianggap hanya sebagai kodrat perempuan yang harus dijalankan saja. Padahal jika kita mau berpikir jernih, perjuangan perempuan dalam hal itu sangat keras. Tugas Berat Mulai dari mengandung. Sepintas, hal ini memang tampak biasa-biasa saja. Namun, sebenarnya mengandung adalah tugas yang tidak bisa dianggap remeh. Perempuan yang mengandung harus berjuang dan berhati-hati dalam menjalani segala aktivitas, karena berat tubuh yang meningkat. Belum lagi ketika tidur, tidak bisa nyenyak, karena tidak bisa dengan sembarang posisi. Dan hal itu dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih sembilan bulan. Tak hanya itu, butuh pula kesabaran yang tinggi untuk menjaga kandungannya agar tetap sehat dan tidak keguguran. Selama masa kehamilan banyak sekali hal-hal unik yang dialami oleh seorang perempuan. Karena perubahan hormon yang terjadi dalam tubuh seorang wanita hamil, maka kondisi fisik menjadi mudah lelah, pusing, letih, lesu, bahkan bisa stres. Setelah hamil sembilan bulan, ia harus bersiap melahirkan seorang bayi. Perjuangan keras pun kembali dipaksakan. Melahirkan adalah salah satu tugas perempuan yang sagat mulia. Selain, seorang bayi yang akan lahir sebagai penerus perjuangan bangsa, proses ini mempertaruhkan nyawa. Jika kelahiran itu tidak berjalan dengan baik, maka bisa jadi nyawa seorang ibu yang melayang. Dan yang lebih penting lagi tugas ini tidak bisa diwakilkan kepada siapa pun. Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa orang yang meninggal ketika melahirkan, maka ia akan mati syahid. Sebab, seorang yang melahirkan ibarat orang yang berperang memperjuangkan agama Allah. Inilah salah satu bentuk pengahargaan yang diberikan oleh Islam terhadap perempuan. Setelah melahirkan, tugas mulia dengan pejuangan ekstra selanjutnya adalah menyusui. Sama halnya dengan mengandung dan melahirkan, menyusui juga membutuhkan perjuangan dan kesabaran tingkat tinggi. Sebab, menyusui harus sesuai dengan keinginan si buah hati. Tidak bisa menyusui dilakukan menurut keinginan dan kemauan perempuan itu sendiri. Mereka dituntut selalu siap untuk begadang di malam hari jika memang si anak ingin menyusu. Ketinggalan Benar sakali yang ditulis Misbahul Ulum bahwa negara kita termasuk tertinggal dalam menggagas RUU ini. Di negara-negara Barat, misalnya, peraturan tentang hal ini juga sudah diberlakukan sejak lama. Oleh sebab itu, SDM-nya relatif lebih baik. Salah satu negara yang bisa dijadikan contoh adalah Norwegia. Sebuah negara yang terletak di semenanjung Skandinavia bagian ujung barat yang berbatasan langsung dengan Swedia, Finlandia, dan Rusia. Negara ini dikenal sebagai negara kampiun hak asasi manusia (HAM). Di sana manusia sangat dihargai, baik jiwa maupun raganya. Sejak tahun 1978, Norwegia melarang diskriminasi berdasarkan gender dan telah meratifikasi semua perjanjian internasional tentang HAM dan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Yang paling menarik perhatian dunia adalah dalam setiap kebijakannya, rasa kemanusiaan selalu menjadi landasan. Tidak seperti Negara kita yang selalu ”meniadakan” hal itu. Bahkan, CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women), lembaga PBB yang menangani masalah perempuan, menyebut Norwegia sebagai ”surga bagi kesetaraan gender”. Salah satu bentuk penghargaan Norwegia terhadap hak asasi manusia adalah lebih mahalnya gaji tenaga kerja manusia daripada tenaga mesin. Tidak hanya itu, yang bisa kita teladani adalah hak perempuan di sana sangat dijunjung tinggi. Di Norwegia, perempuan yang mengandung atau melahirkan mendapatkan hak cuti kerja selama 10 bulan, baik bagi yang bekerja di sektor pemerintah maupun swasta. Dalam masa cuti tersebut, perempuan tetap memperoleh gaji bulanan, bahkan juga mendapatkan tunjangan bayi sebagai pemeliharaan bayi selama dua tahun. Tunjangan itu dibayar Pemerintah melalui NAV, sebuah organisasi buruh dan kesejahteraan di Norwegia sebagai bentuk penghargaan terhadap HAM. Tak hanya itu, seorang suami juga memperoleh hak cuti selama 8 minggu. Para suami diperbolehkan meninggalkan pekerjaannya, guna menemani istri selama masa persalinan dan perawatan bayi. Dengan demikian, mereka bisa berhenti bekerja sejenak, untuk fokus merawat si bayi, agar menjadi SDM yang bisa diandalkan. Inilah yang seharusnya dicontoh oleh negara kita tercinta Indonesia. Sistem yang baik akan menghasilkan manusia yang baik. Beberapa waktu lalu, beberapa anggota DPR telah melakukan studi banding ke Norwegia dan Denmark berkaitan dengan RUU keadilan dan Kesetaraan gender. Itu artinya, studi itu harus segera ditindaklanjuti. Sebab, studi tersebut telah menghabiskan anggaran 1,8 miliar rupaih. Jika sistem ala Norwegia ini berhasil diterapkan, maka besar kemungkinan Indonesia akan terbebas dari SDM yang bermental budak. Sebab, dengan sistem tersebut, anak lahir akan mendapatkan ASI yang cukup, sehingga pertumbuhannya sempurna, baik fisik maupun otaknya. (24) – Mokhamad Abdul Aziz, peserta School of Gender and Political Islam di Monash Institute, Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Dimuat di Suara Merdeka, 13 Februari 2013 Read more: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/02/13/215092/Belajar-dari-Norwegia
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul aziz Archives
March 2013
Categories |