Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Perang yang terjadi antara TNI Batalyon Armed 15/76 Tarik Martapura dengan Polres OKU di Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Bautaraja, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu memang sangat memalukan negara ini, khususnya mereka sendiri. Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia adalah aparat negara yang mengemban amanat menjaga keamanan wilayah dan warga negara. Tentu saja, kekerasan yang terjadi antara dua kelompok tersebut sangat memalukan dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Sebagai penjaga kemanan nasional, seharusnya TNI dan Polri memberikan contoh yang baik bagaimana seharusnya hidup berdampingan dalam kehidupuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meski ditempatkan di ranah yang berbeda; Polri mengurusi kemanan masyarakat (Sipil), sedangkan TNI mengamankan negara dari serangan luar, sudah sepatutnya keduanya bisa bersinergi untuk mewujudkan stabilitas keamanan nasional. Namun, dengan peristiwa penyerangan yang terjadi beberapa waktu lalu itu, telah menunjukkan bahwa negara ini dalam posisi bahaya.
Sangat Memalukan Bagaimana tidak? Jika aparat sebagai penjaga kemanan saja tidak bisa rukun dan justru berperang sendiri, lantas bagaimana dengan masyarakat yang seharusnya dijaga oleh aparat tersebut. Tentu jawabannya sangat lucu dan bahkan mengerikan. Dengan adanya kejadian tersebut, publik bisa saja membenarkan kekerasan-kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Sangat disesalkan memang, kekerasan yang dilakukan oleh sesama aparat negara tersebut. Masyarakat semakin tidak percaya dengan TNI dan Polri pasca pertempuran itu. Dengan perih dan gundah peristiwa penyerangan dan pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu, Bautaraja, Sumatera Selatan oleh puluhan anggota TNI tersebut disaksikan oleh masyarakat luas. Yang namanya kekerasan, memang dimanapun dan dilakukan oleh siapapun sangat tidak bisa dibenarkan, karena merupakan salah satu bentuk tindakan yang melanggar HAM. Apaplagi, jika kekerasan itu dilakukan oleh pihak yang seharusnya mengamankan kekerasan-kekeransan dalam masyarakat, maka sangat tidak bisa dibenarkan sekali. Bagaimana bisa aparat keamanan negara justru menjadi pelaku yang mengoyak rasa aman masyarakat? Lebih menyedihkan dan sangat ironis lagi adalah kekerasan itu dilakukan secara terang-terangan, dipamerkan, dan disaksikan oleh publik melalui berbagai saluran media. Dalam benak masyarakat, tentu yang muncul hanyalah kesan buruk, dan itu masyarakat akan semakin membenci keduanya. Akar Masalah Tak Subtansial Publik yang mengikuti berita-berita penyerangan itu semakin prihatin, ketika diketahui akar masalah penyebab konflik itu. Dugaan penyebab kejadian itu bahkan sama sekali tidak mencerminkan aparat negara. Diduga tindakan anarkis tersebut merupakan buntut dari kasus penembakan personel TNI oleh anggota Polri pada 27 Januari lalu. Seorang anggota TNI Batalyon Armed Pratu Heru Oktavianus ketika itu tewas ditembak anggota Polres OKU. Peristiwa itu diawali dengan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Heru. Saat itu, anggota Polres OKU yang sedang bertugas terlibat pertengkaran dengan Heru. Saat terlibat percekcokan itu, Heru mencoba melarikan diri. Akhirnya, Heru pun ditembak. Sejak itu, hubungan antara TNI dan Polri setempat tegang dan memanas. Jika benar peristiwa itu merupakan akibat dari konflik dan kekerasan yang terjadi, sungguh memalkan dan mereka masih kekanak-kanakan. Personel TNI dan Polri adalah orang-orang khusus dan terlatih, memperoleh gemblengan mental dan moral. Dalam perekrutannya saja, sdah bisa ditebak bahwa orang-orang yang masuk anggota institsi TNI ata Polri adalah orang yang tidak cacat fisik mapn mental. Sedikit luka ata cacat saja akan menggagalkan seseorang dalam keinginannya menjadi anggota Polri atapn TNI. Tak hanya sampai di situ, mereka dibekali keterampilan taktis dan strategis, sehingga menjadikan mereka sebagai personel yang matang dalam bertindak. Sangat menyedihkan kalau insiden semacam itu meletus dalam sebuah aksi kekerasan massal. Dalam konteks ini, bekal yang telah diberikan itu justru digunakan untuk berperang yang sama sekali tidak bisa dibenarkan dengan akal. Jika terhadap aparat yang memiliki tempat khusus dalam struktur dan hierarki kenegaraan—serta posisi yang istimewa dalam hubungan sosiol-politik kemasyarakatan saja bisa terjadi tindak kekerasan seperti itu, lantas bagaimana bisa publik memperoleh jaminan 100 persen untuk rasa aman mereka? Tanggng jawab TNI dan Polri secara institusional adalah harus memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat atas peristiwa itu. Jangan sampai justru mereka saling membenarkan diri bahwa pihak salah satnya memang benar. Kejadian menyedihkan adalah tanggung jawab korps. Dalam konteks ini, publik mngkin hanya bisa berharap terhadap ketegasan dan kejujuran pimpinan kedua institusi itu. mereka hars menunjukkan bagaimana pemimpin yang sejatinya ketika terjadi konflik seperti itu; dalam pertanggungjawaban mereka. Karena biasanya pemimpin saat ini akan melakkan pembenaran dengan retorika yang memikat, padahal kasus yang terjadi sudah jelas dan gamblang dengan disaksikan masyarakat luas. Pernyataan yang terkesan mengalihkan objek dan subjek persoalan, atau pernyataan tak jelas mengenai sanksi dan investigasi kasus, sama sekali tidak diharapkan oleh masyarakat. Tidak perlu berputar-putar mencari dalih karena peristiwa itu sudah terjadi. Hanya pertanggungjawaban tegas dan jujur yang akan menjamin peristiwa itu tidak terulang lagi. Kedua institusi itu harus menunjukkan sikap yang dewasa dalam memutuskan sanksi yang tegas dan adil. Sebab dengan itulah masyarakat akan mendapat pembuktian dan kembali mempercayai keduanya. Tunjukkan jika TNI dan Polri adalah institusi yang bisa dijadikan contoh bagi masyarakat umum. Wallah a’lam bi al-shawab. *Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Dakwah IAIN Walisongo Semarang, Peneliti di Monash Institute. Dimuat di Rimanews.com, 21 Maret 2013 Read More: http://www.rimanews.com/read/20130321/96130/perang-mempermalukan-diri
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |