Gaya hidup hedonistis sudah menjadi penyakit yang menyerang para pejabat negara saat ini. Kondisi seperti ini membuat rakyat menanti lahirnya pemimpin asketis. Secara etimologi, asketis bisa diartikan sebagai sikap sederhana, jujur, dan rela berkorban. Pemimpin asketis memang sangat sulit dijumpai pada masa sekarang ini. Gaya hidup yang bermewah-mewahan dan glamor sudah menjadi “tren” dikalangan pejabat. Gaya hidup hedonistis ini menjadi salah satu penyebab utama maraknya korupsi di Indonesia. Dengan hidup yang bermewah-mewahan, secara langsung mereka akan berusaha memenuhi itu tanpa memperdulikan bagaimana caranya. Para pejabat yang sudah diberi amanat oleh rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa malah menyalah gunakan jabatannya tersebut. Pejabat-pejabat yang hidup bermewah-mewahan ini seharusnya introspeksi dan membaca kembali sejarah bangsa Indonesia. Mengapa mereka bisa hidup di negara yang merdeka ini, sehingga mereka bisa menikmati kemerdekaan sebagai pejabat negara dengan segala fasislitas yang serba mewah. Semua itu terjadi karena ada founding fathers (para pendiri bangsa) yang sudah berjibaku, mati-matian mengorbankan jiwa dan raganya, demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Pengorbanan itu tidak semata-mata kita nikmati, tetapi harus kita sukuri dan melanjutkan apa yang menjadi cita-cita para pahlawan. Membedakan Pejabat dengan Pemimpin Sikap hidup hedonistis dikalangan petinggi negara ini disebabkan mereka menganggap dirinya adalah pejabat, bukan pemimpin. Pemimpin adalah cermin bagi rakyatnya, sedangkan pejabat adalah orang yang memiliki jabatan. Menganggap diri mempunyai jabatan bisa dianalogikan dengan ketika kita punya rumah atau kendaraan yang setiap saat bisa digunakan sesuai dengan keinginan kita. Dengan modus kepemilikan yang seperti ini, membuat mereka ingin memanfaatkan jabatannya sesuai dengan dorongan nafsunya. Sehingga, jabatan akan menjadi properti yang harus dimanfaatkan kapan saja dan dimana pun mereka berada, asalkan upaya pemanfaatan itu bisa dilakukan. Berbeda dengan paradigma pejabat, pemimpin adalah tauladan, cermin, dan mempunyai tanggung jawab atas amanat yang diembannya. Pada dasarnya setiap manusia dilahirkan sebagai pemimpin. Bisa saja pemimpin untuk dirinya sendiri, keluarga, atau pemimpin bagi siapapun yang berada di bawah tanggung jawabnya. Ketika, ia dipilih dan diangkat menjadi pejabat dengan tugas-tugas yang melekat pada jabatannya, maka ia akan menganggap jabatan itu sebagai tanggung jawab kemanusiaan yang harus dilaksanakan. Pada akhirnya, jabatan dianggap sebagai tanggung jawab yang harus ditunaikan, sama halnya dengan ia menunaikan tugas-tugas kemanusiaan yang sudah melekat sejak lahir. Jika ia menghianatintanggung jawab itu, maka ia sama halnya menghianati hidupnya sendiri. Sebab, hidup ini tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Dengan paradigma yang seperti itu bisa dipastikan pemimpin tidak akan bergaya hidup hidonistis sebagaimana yang dilakukan pejabat. Bagi pejabat, jabatan merupakan rejeki yang didapat dengan susah payah dan harus disyukuri jika sudah didapat, dengan cara memanfaatkan jabatan itu dengan sebaik-baiknya. Namun, bagi pemimpin, jabatan adalah suatu tambahan tanggung jawab kemanusiaan atau amanat yang harus ditunaikan dengan baik dan benar. Dengan begitu, karakter-karakter asketis berupa sikap rela berkorban, jujur, dan kesederhaan akan melekat dan tak terpisahkan dari seorang pemimpin. Sebaliknya, karakter asketis itu tak mungkin bisa diharapkan dari seorang pejabat, karena pejabat tidak merasa punya tanggung jawab. Bahkan, bagi pejabat semua sikap itu hanya akan melipatgandakan kerugian saja. Sebab, ia sudah merasa berkorban dan rugi dalam meraih jabatan itu, sehingga mereka berpikir mengapa harus ditambah pengorbanan dan kerugian lagi. Oleh karena itu, yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara menebus kerugian dan pengorbanan itu, bukan memikirkan tanggung jawabnya. Otomatis, pada akhirnya mereka akan memanfaatkan jabatan itu untuk meraih keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Harus Sadar Posisi Hidup dalam kesederhanaan harus mulai disadari oleh para pejabat negara. Sebab, mereka adalah cermin dan teladan bagi rakyat. Meskipun hidup dalam harta yang berlimpah, sebaiknya para pejabat tidak perlu memamerkan kekayaannya kepada publik. Seperti halnya Kasman Singodimedjo, meski kaya raya, hidupnya tetap sederhana. Kemana-mana menggunakan kendaraan umum atau dibonceng sepeda motor oleh anak-anak muda pada masa itu. Para pemegang amanat rakyat seharusnya meneladani perilaku dan sikap para pendahulu bangsa kita. Ini tidak hanya dilakukan oleh presiden atau wakil presiden saja, para wakil rakyat, para pejabat yang ada di lembaga yudikatif, dan semua yang terjun dalam pemerintahan harus meneladani sikap asketis para pendiri bangsa ini. Mereka adalah pemimpin, bukan pejabat. Kesederhanaan mereka akan membuat rakyat hormat dan merasa dekat. Sosok yang patut menjadi contoh pemimpin asketis adalah Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad. Ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat berani, sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan dan kebersahajaannya itu tampak ketika pertama kali menduduki kantor kepresidenan, ia menyumbangkan seluruh karpet istana Iran yang sangat tinggi nilainya kepada masjid di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan. Bahkan, tiga tahun yang lalu, ia menikahkan putranya, Alireza Ahmadinejad dengan sangat sederhana. Pernikahan tersebut hanya menelan biaya 3,5 juta Toman (setara dengan USD 3.500/ Rp 28 Juta). Penikahan ini terlihat sangat sederhana melihat ia adalah salah satu presiden terkenal di dunia. Jika dibandingkan dengan pernikahan putra Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono, maka ini menjadi sangat ironis, melihat Indonesia tidak lebih maju daripada Iran. Tabloid Cek dan Ricek melaporkan prosesi pernikahan putra SBY menghabiskan dana sebesar Rp40 Miliar. Pemimpin seperti Ahmaddinejad lah yang sekarang ini di harapkan oleh bangsa Indonesia. Pemimpin yang sederhana, jujur, dan berani berkorban demi bangsanya. Dengan demikian, lahirnya pemimpin asketis sangat didamba-dambakan oleh rakyat indonesia saat ini. Sebab, rakyat sudah muak dengan gaya hidup pejabat-pejabat yang hedonistis yang sama sekali tidak memikirkan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama secara kolektif untuk meminta mereka bersedia menerima tambahan tanggung jawab sebagai pemimpin. Dengan begitu, rakyat akan lebih dekat dan hormat. Untuk mewujudkan semua itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, semuanya pasti bisa jika diusahakan. Wallahu a’lam bi al shawab. Penulis Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang, Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Dimuat di Opini Sumut Pos, 16 Oktober 2012
0 Comments
Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Bulan Oktober bisa dibilang bulannya para pemuda. Sebab, dalam bulan itulah terdapat tanggal yang selalu diperingati oleh rakyat Indonesia sebagai hari Sumpah Pemuda. Tepatnya, setiap tanggal 28 Oktober. Membahas pemuda memang tidak ada habisnya. Selalu ada fenomena-fenomena yang menarik untuk dikaji dan ditelisik lebih dalam. Termasuk membahas kiprah para pemuda dalam dunia perpolitikan Indonesia merupakan hal yang relevan. Politisi muda diharapkan bisa memberikan sumbangsih yang besar untuk perbaikan bangsa. Namun, sampai saat ini belum juga menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan, banyak yang menjadi pengekor politisi tua yang bertindak korup. Karena itu, bisa dikatakan politisi muda dan tua sama saja. Artinya, sama-sama melakukan korupsi. Padahal, politisi muda biasanya memiliki gagasan-gagasan segar yang membuat mereka lebih progresif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara kita saat ini sedang sangat kacau kondisi politiknya. Jika ditelisik lebih dalam, banyak kasus yang tidak mendapatkan respon yang signifikan dari politisi muda. Bahkan, tidak kelihatan kalau di DPR itu ada politisi muda. Artinya, tidak ada gagasan brilian yang muncul dari kalangan politisi muda untuk mempengaruhi pandangan politik dalam perbaikan negara. Dalam konteks ini, tampaknya politisi muda maupun tua terjebak ke dalam dua blok, yaitu blok koalisi pemerintah dan oposisi. Bisa dikatakan, politisi muda dan tua mempunyai pandangan politik yang “seragam”, yaitu berdasarkan partai dimana mereka bertempat. Keseragaman itu selalu berjalan mulus, tanpa ada perlawanan dari politisi muda, meski mereka dalam hati tidak sesuai dengan keseragaman itu. Ketakutan akan “dimusuhi” kawan di partai, bisa jadi alasan mereka kehilangan idealitasnya. Oleh sebab itu, faktor usia dalam konteks ini tidak begitu mempunyai pengaruh yang berarti. Penyebab “Tewasnya” Politisi Muda Peran politisi muda yang diharapkan bisa menjadi ujung tombak perbaikan negara, hanya menjadi gurauan semata. Sebenarnya apa yang menyebabkan mereka tidak berdaya dalam konteks perbaikan bangsa? Pertama, politisi muda “dikuasai” oleh politisi tua. Mereka berada dalam bayang-bayang semu politisi tua. Keinginan untuk terus berkuasa, tampaknya menjadi faktor politisi tua untuk selalu mendesak politisi muda agar selalu menjadi pengekor. Menurut Dr. Mohammad Nasih, seorang pakar ilmu politik Universitas Indonesia (UI), bahwa politik Indonesia sangat kental dengan budaya “patron-klien”. Dengan kata lain, kaum tua ingin mempertahankan kekuasaan dengan cara merekrut anak-anak muda yang mau menopang kepentingan mereka, sehingga mereka bisa terus berkuasa. Keinginan kaum tua ini sangat compatible dengan politisi muda yang ingin cepat memperoleh kekuasaan secara instan, dengan memposisikan diri sebagai “kader jenggot”. Politisi-politisi yang memposisikan sebagai “kader jenggot” ini biasanya dalam Pemilu legislatif mendapatkan nomor urut awal, sebagai Caleg dari Parpol yang mengusungnya. Sebab, Caleg yang mendapatkan nomor awal biasanya lebih dekat hubungannya dengan senior-seniornya di Parpol. Sehingga, hampir bisa dipastikan kader yang terpilih nanti adalah kader-kader yang mau tidak mau harus “seragam” pandangan politiknya dengan senior-seniornya. Hal ini sangat berpengaruh sekali dalam pembuatan kebijakan publik. Sebab, rakyat Indonesia selama ini masih sangat tertarik dengan nomor urut Caleg awal, karena dinilai lebih mempunyai kemampuan yang lebih baik setelah partai politik menentukan nomor urut. Padahal, Caleg yang mempunyai nomor urut buncit umumnya mempunyai merupakan kader partai yang mempunyai idealis dan biasanya selalu berbeda dengan pandangan umum partai tersebut. Kader idealis ini memang agak susah bila diajak “patron-Klien” oleh politisi tua. Memang ada kader dengan nomor buncit yang menang dalam Pemilu, namun jumlahnya tidak signifikan. Karena jumlahnya tidak banyak, maka dalam menjalankan tugas politik, mereka biasanya kalah dalam menentukan produk kebijakan. Meski tidak ikut korup, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan politisi, mereka cenderung pasif. Kedua, kebanyakan politis muda terjebak dalam gaya hidup hedonistis. Gaya hidup yang cenderung bermewah-mewahan ini didukung oleh paradigma materialistik yang memang telah meracuni negeri ini. Mereka umumnya menganggap dirinya sebagai pejabat, sehingga jabatan yang dimilikinya harus digunakan sebaik-baiknya untuk memperkaya diri. Sebab, kesuksesan mereka tidak lagi diukur dengan produk kebijakan yang progresif, tetapi seberapa banyak materi yang didapat dari kekuasaan yang dimilikinya. Karena paradigma mereka menganggap bahwa dengan kekuasaan lah yang akan membuat kaya, maka bagaimanpun dan apaun cara itu akan mereka lakukan. Oleh sebab itu, biasanya politik uang menjadi solusi terbaik. Inilah yang menjadi akar pembuatan kebijakan tidak lagi berpihak pada rakyat. Sebab, uang-uang yang digunakan dalam praktik money politic kebanyakan berasal pengusaha-pengusaha, dengan cara menerapkan praktik perjudian. Artinya, pengusaha itu akan memodali para Caleg agar bisa memenangkan Pemilu. Dengan begitu, ketika Caleg itu berhasil duduk di kursi kekuasaan, maka kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan didesain agar menguntungkan pihak-pihak pengusaha yang telah memberikan modal pada Pemilu. Sehingga, ini akan menjadi lingkaran setan penghambat perbaikan. Keberadaan politisi muda dalam usaha memperbaiki keadaan bangsa sangat diperlukan. Sebab, generasi muda lah yang lebih paham akan kebutuhan bangsa di zaman yang jelas berbeda dengan zaman yang dipahami oleh politisi tua. Agar menghasilkan politisi muda yang mempunyai pemikiran dan pandangan yang progresif, maka harus dilakukan proses perkaderan yang akseleratif. Sehingga, akan terlahir kader-kader yang idealis, berpikir progresif, bahkan mempunyai jiwa entrepreneurship. Dengan demikian, politisi-politisi muda akan menjadi pejuang yang mandiri dan tidak bergantung pada pengusaha-pengusaha jahat yang menginginkan uangnya lebih banyak. Selain itu, politisi muda yang idealis tidak hanya akan membebek pada politisi tua. Di nuansa dan semangat sumpah pemuda ini, harapan masyarakat kepada politisi muda kembali muncul. Sebab, siapa lagi kalau tidak pemuda yang digadang-gadang menjadi pengawal kemajuan bangsa ini. Oleh sebab itu, para politisi muda sudah seharusnya sadar akan tanggung jawabnya dan sungguh-sungguh dalam menjalankan tanggung jawab itu. Sehingga, terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT akan segera tercapai. Wallahu a’lam bi al-shawab. (**) *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Kota Semarang Dimuat di Radar Bangka, 30 Oktober 2012 |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |