Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Bulan Oktober bisa dibilang bulannya para pemuda. Sebab, dalam bulan itulah terdapat tanggal yang selalu diperingati oleh rakyat Indonesia sebagai hari Sumpah Pemuda. Tepatnya, setiap tanggal 28 Oktober. Membahas pemuda memang tidak ada habisnya. Selalu ada fenomena-fenomena yang menarik untuk dikaji dan ditelisik lebih dalam. Termasuk membahas kiprah para pemuda dalam dunia perpolitikan Indonesia merupakan hal yang relevan. Politisi muda diharapkan bisa memberikan sumbangsih yang besar untuk perbaikan bangsa. Namun, sampai saat ini belum juga menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan, banyak yang menjadi pengekor politisi tua yang bertindak korup. Karena itu, bisa dikatakan politisi muda dan tua sama saja. Artinya, sama-sama melakukan korupsi. Padahal, politisi muda biasanya memiliki gagasan-gagasan segar yang membuat mereka lebih progresif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara kita saat ini sedang sangat kacau kondisi politiknya. Jika ditelisik lebih dalam, banyak kasus yang tidak mendapatkan respon yang signifikan dari politisi muda. Bahkan, tidak kelihatan kalau di DPR itu ada politisi muda. Artinya, tidak ada gagasan brilian yang muncul dari kalangan politisi muda untuk mempengaruhi pandangan politik dalam perbaikan negara. Dalam konteks ini, tampaknya politisi muda maupun tua terjebak ke dalam dua blok, yaitu blok koalisi pemerintah dan oposisi. Bisa dikatakan, politisi muda dan tua mempunyai pandangan politik yang “seragam”, yaitu berdasarkan partai dimana mereka bertempat. Keseragaman itu selalu berjalan mulus, tanpa ada perlawanan dari politisi muda, meski mereka dalam hati tidak sesuai dengan keseragaman itu. Ketakutan akan “dimusuhi” kawan di partai, bisa jadi alasan mereka kehilangan idealitasnya. Oleh sebab itu, faktor usia dalam konteks ini tidak begitu mempunyai pengaruh yang berarti. Penyebab “Tewasnya” Politisi Muda Peran politisi muda yang diharapkan bisa menjadi ujung tombak perbaikan negara, hanya menjadi gurauan semata. Sebenarnya apa yang menyebabkan mereka tidak berdaya dalam konteks perbaikan bangsa? Pertama, politisi muda “dikuasai” oleh politisi tua. Mereka berada dalam bayang-bayang semu politisi tua. Keinginan untuk terus berkuasa, tampaknya menjadi faktor politisi tua untuk selalu mendesak politisi muda agar selalu menjadi pengekor. Menurut Dr. Mohammad Nasih, seorang pakar ilmu politik Universitas Indonesia (UI), bahwa politik Indonesia sangat kental dengan budaya “patron-klien”. Dengan kata lain, kaum tua ingin mempertahankan kekuasaan dengan cara merekrut anak-anak muda yang mau menopang kepentingan mereka, sehingga mereka bisa terus berkuasa. Keinginan kaum tua ini sangat compatible dengan politisi muda yang ingin cepat memperoleh kekuasaan secara instan, dengan memposisikan diri sebagai “kader jenggot”. Politisi-politisi yang memposisikan sebagai “kader jenggot” ini biasanya dalam Pemilu legislatif mendapatkan nomor urut awal, sebagai Caleg dari Parpol yang mengusungnya. Sebab, Caleg yang mendapatkan nomor awal biasanya lebih dekat hubungannya dengan senior-seniornya di Parpol. Sehingga, hampir bisa dipastikan kader yang terpilih nanti adalah kader-kader yang mau tidak mau harus “seragam” pandangan politiknya dengan senior-seniornya. Hal ini sangat berpengaruh sekali dalam pembuatan kebijakan publik. Sebab, rakyat Indonesia selama ini masih sangat tertarik dengan nomor urut Caleg awal, karena dinilai lebih mempunyai kemampuan yang lebih baik setelah partai politik menentukan nomor urut. Padahal, Caleg yang mempunyai nomor urut buncit umumnya mempunyai merupakan kader partai yang mempunyai idealis dan biasanya selalu berbeda dengan pandangan umum partai tersebut. Kader idealis ini memang agak susah bila diajak “patron-Klien” oleh politisi tua. Memang ada kader dengan nomor buncit yang menang dalam Pemilu, namun jumlahnya tidak signifikan. Karena jumlahnya tidak banyak, maka dalam menjalankan tugas politik, mereka biasanya kalah dalam menentukan produk kebijakan. Meski tidak ikut korup, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan politisi, mereka cenderung pasif. Kedua, kebanyakan politis muda terjebak dalam gaya hidup hedonistis. Gaya hidup yang cenderung bermewah-mewahan ini didukung oleh paradigma materialistik yang memang telah meracuni negeri ini. Mereka umumnya menganggap dirinya sebagai pejabat, sehingga jabatan yang dimilikinya harus digunakan sebaik-baiknya untuk memperkaya diri. Sebab, kesuksesan mereka tidak lagi diukur dengan produk kebijakan yang progresif, tetapi seberapa banyak materi yang didapat dari kekuasaan yang dimilikinya. Karena paradigma mereka menganggap bahwa dengan kekuasaan lah yang akan membuat kaya, maka bagaimanpun dan apaun cara itu akan mereka lakukan. Oleh sebab itu, biasanya politik uang menjadi solusi terbaik. Inilah yang menjadi akar pembuatan kebijakan tidak lagi berpihak pada rakyat. Sebab, uang-uang yang digunakan dalam praktik money politic kebanyakan berasal pengusaha-pengusaha, dengan cara menerapkan praktik perjudian. Artinya, pengusaha itu akan memodali para Caleg agar bisa memenangkan Pemilu. Dengan begitu, ketika Caleg itu berhasil duduk di kursi kekuasaan, maka kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan didesain agar menguntungkan pihak-pihak pengusaha yang telah memberikan modal pada Pemilu. Sehingga, ini akan menjadi lingkaran setan penghambat perbaikan. Keberadaan politisi muda dalam usaha memperbaiki keadaan bangsa sangat diperlukan. Sebab, generasi muda lah yang lebih paham akan kebutuhan bangsa di zaman yang jelas berbeda dengan zaman yang dipahami oleh politisi tua. Agar menghasilkan politisi muda yang mempunyai pemikiran dan pandangan yang progresif, maka harus dilakukan proses perkaderan yang akseleratif. Sehingga, akan terlahir kader-kader yang idealis, berpikir progresif, bahkan mempunyai jiwa entrepreneurship. Dengan demikian, politisi-politisi muda akan menjadi pejuang yang mandiri dan tidak bergantung pada pengusaha-pengusaha jahat yang menginginkan uangnya lebih banyak. Selain itu, politisi muda yang idealis tidak hanya akan membebek pada politisi tua. Di nuansa dan semangat sumpah pemuda ini, harapan masyarakat kepada politisi muda kembali muncul. Sebab, siapa lagi kalau tidak pemuda yang digadang-gadang menjadi pengawal kemajuan bangsa ini. Oleh sebab itu, para politisi muda sudah seharusnya sadar akan tanggung jawabnya dan sungguh-sungguh dalam menjalankan tanggung jawab itu. Sehingga, terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT akan segera tercapai. Wallahu a’lam bi al-shawab. (**) *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Kota Semarang Dimuat di Radar Bangka, 30 Oktober 2012
2 Comments
SELAMET
1/7/2013 06:35:10 am
Luar biasa kanda....
Reply
Ihsan
1/7/2013 06:36:32 am
Pemimpin muda harapan bangsa.
Reply
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |