"Kondisi dunia pendidikan Indonesia akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Kekerasan dan tindakan-tindakan amoral yang dilakukan pelajar kian masif saja. Itu menandakan gagalnya pendidikan dalam upaya melahirkan generasi yang berpengetahuan luas dan berakhlak mulia. Bahkan, tawuran yang terjadi beberapa waktu yang lalu menambah buram wajah dunia pendidikan Indonesia kini. Di tengah carut-marutnya pendidikan saat ini, tak jarang ada kegundahan seorang guru sebagai pihak yang bertanggung jawab dan bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik menjadi manusia yang berakhlak mulia". Oleh Mokhamad Abdul Aziz* Kondisi dunia pendidikan Indonesia akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Kekerasan dan tindakan-tindakan amoral yang dilakukan pelajar kian masif saja. Itu menandakan gagalnya pendidikan dalam upaya melahirkan generasi yang berpengetahuan luas dan berakhlak mulia. Bahkan, tawuran yang terjadi beberapa waktu yang lalu menambah buram wajah dunia pendidikan Indonesia kini. Di tengah carut-marutnya pendidikan saat ini, tak jarang ada kegundahan seorang guru sebagai pihak yang bertanggung jawab dan bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik menjadi manusia yang berakhlak mulia. Dengan kata lain, guru merasa gagal ketika melihat anak didiknya melakukan hal-hal yang jauh melenceng dari yang diajarkannya. Dalam konteks ini, tawuran yang terjadi belakangan ini menjadi tamparan keras bagi para pendidik, baik guru maupun dosen. Sebab, mereka adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas perilaku dan tingkah polah para peserta didiknya, selain orang tua.
Jika kita telisik lebih dalam, mengapa para siswa sekarang sering bertindak amoral, maka ada beberapa kemungkinan yang membuat semua pihak, terutama pemerintah harus bekerja ekstrakeras. Di sekolah, pendidik (selanjutnya dibaca; guru) adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas perilaku anak. Guru dituntut melakukan tugas profesinya tersebut dengan sungguh-sungguh. UU Perlindungan Anak Namun belakangan ini, eksistensi pendidik seringkali dihadapkan dengan realitas yang tidak mendukung pelaksanaan tugas profesinya. Sebut saja, adanya pengaduan orang tua dan masyarakat terhadap kekerasan yang dilakukan pendidik tatkala melaksanakan tugasnya di sekolah. UU Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya negara untuk melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang dari orang dewasa, yang dalam konteks ini adalah guru. Namun, keberadaan UU tersebut seringkali disalahartikan. Artinya, UU Perlindungan Anak dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini tentu saja berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Selain UU Perlindungan Anak, untuk melindungi anak-anak Indonesia, negara juga mempunyai sebuah lembaga, yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun, sekali lagi eksistensi KPAI juga dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kesalahan anak. Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya pemberian punishment (hukuman) dan reward (penghargaan). Keduanya itu merupakan salah satu alat pendidikan untuk meningkatkan prestasi dan menegakkan kedisiplinan di lingkungan sekolah. Namun, dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Sebab, seorang guru yang bertugas memberikan kedua hal tersebut mungkin ketakutan jika akan menjatuhkan punishment kepada siswa yang melanggar. Padahal, eksistensi reward dan punishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan antara keduanya. Artinya, jika melanggar, maka konsekuensinya adalah mendapat hukuman. Begitu pula sebaliknya, jika berprestasi, maka penghargaan menjadi alat untuk meningkatkan prestasi itu. Seorang guru memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Namun, dengan adanya UU tersebut, otoritas guru dalam rangka menegakkan kedisiplinan akan hilang. Sebab, yang seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji materi ulang (judicial review) terhadap UU Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan seorang guru murni kesalahannya, akan tetapi bisa saja akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya. Posisi yang Dilematis Dalam konteks ini, guru seringkali berada pada posisi yang dilematis, yaitu antara tuntutan profesi dan perlakuan UU yang berujung pada kemanjaan masyarakat. Maksudnya, di satu sisi guru diberikan kewajiban agar mampu menghantarkan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan yang salah satunya adalah menjadikan generasi yang berkarakter (akhlak) baik. Di sisi lain, ketika mereka berupaya untuk menegakkan kedisiplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Misalnya, ada seorang murid yang melakukan tindakan yang tidak terpuji, kemudian seorang guru mengingatkannya. Akan tetapi, karena si anak tidak mengindahkannya, bahkan menantang seorang guru, maka guru harus tegas. Namun, pada akhirnya ketegasan seorang guru akan dibalas dengan hukuman, karena melanggar UU Perlindungan Anak. Sehingga, tak jarang guru harus berurusan dengan kepolisian atau KPAID. Sungguh memprihatinkan nasib guru saat ini. Tentu saja dalam hal ini, guru menjadi sosok yang serba salah. Akibatnya, eksistensi guru berada pada posisi yang sangat pasif. Jika mereka mencoba aktif dan peduli dengan murid yang melanggar, maka penjara sudah menunggunya. Memang secara yuridis, Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No. 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau risiko lainnya. Meski telah ada UU yang melindungi guru/dosen, dalam implementasinya seringkali menemui jalan buntu. Guru hanya dituntut agar dapat mengantarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak sejalan dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan kepada guru. Sungguh ironis. Oleh sebab itu, guru harus pandai-pandai menyikapi hal itu. Jika ada murid yang melanggar dan sulit untuk dinasihati, maka guru perlu memanggil orang tua secara langsung. Namun, jika cara itu tidak juga menunjukkan perbaikan, maka guru bisa memberikan hukuman atau menyerahkannya kepada orang tua (dikeluarkan). Memang perlu upaya yang lebih dalam rangka menyelesaikan masalah ini. Pemerintah harus melindungi guru, agar mereka bisa menunaikan tugasnya dengan baik. Selain itu, masyarakat perlu juga sadar dengan posisi guru yang sangat dilematis. Dengan begitu, tujuan pendidikan nasional akan tercapai dengan baik dan tidak ada yang dirugikan. (*) *Penulis adalah Penerima Beasiswa Unggulan Monash Institute untuk IAIN Walisongo, Aktivis HMI Semarang (Dimuat di Radar Lampung, 24 Oktober 2012)
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
December 2013
Categories |