I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Para ilmuwan, seperti Robert F. Hefner, C. C. Berg, dan Geertz. membuktikan dengan melakukan penelitian di jawa dan berpendapat bahwa Islam Jawa lebih sering dianggap sebagai Islam Sinkretik atau Islam Nominal, dalam arti Islam Jawa itu sendiri mempunyai konsekuensi bukan Islam dalam arti sebenarnya atau “kurang Islam” bahkan “tidak Islam”. Sementara itu, Mark R. Woodward memberikan antitesis terhadap pandangan yang relatif mapan ini dengan mengatakan bahwa Islam Jawa bagaimanapun berakar pada pada tradisi dan teks suci Islam itu sendiri. Dalam memahami keislaman orang Jawa ia memandang penting dipahami bagaimana pola hubungan simbolik antara teks suci dan situasi historis umat Islam. Islam di Jawa lebih merupakan tradisi yang diejawantahkan dari hubungan teks suci, sunnah Rasul, dan kondisi historis. Semua tradisi dalam Islam bagaimanapun juga merupakan interpretasi teks dalam lingkup sosio histori tertentu, dan inidipandangnya sebagai legitimasi bahwa budaya Jawa yang terbukti merupakan produk dari proses ini sah untuk disebut Islam.1 Berangkat dari pemikiran Mark R. Woodward tersebut, sebagai salah satu produk budaya, arsitektur di Jawa merupakan bagian dari interpretasi teks dalam kehidupan orang Jawa yang menyejarah. Dan ini merupakan bentuk kreativitas Islam Jawa dalam mengaktualisasikan teks untuk menerapkan menjadi sebuah budaya. Maka dari itu, penulis akan membahas mengenai hubungan islam dan jawa di bidang arsitektur, lebih fokusnya ke arsitektur masjid. B. RumusanMasalah 1. Bagaimana sejarah arsitektur dalam Islam? 2. Bagaimana pola masjid sebagai internalisasi arsitektur islam jawa? II. PEMBAHASAN A. Sejarah Arsitektur Masjid dalam Islam Dalam sejarah peradaban Islam, masjid dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam Islam, yakni dengan dibangunnya masjid Quba oleh rasulullah SAW sebagai masjid yang pertama.2 Awal mula bangunan masjid Quba sangatlah sederhana, dengan lapangan terbuka sebagai intinya, dan penempatan mimbar pada sisi dinding arah kiblat, serta di tengah-tengah lapangan terdapat sumber air dengan tujuan digunakan untuk bersuci. Masjid Quba ini merupakan karya spontan dari masyarakat muslim di Madinah pada waktu itu. Bangunan masjid Quba disebut oleh para ahli sebagai masjid Arab asli.3 Namun, Masjid Quba lebih mengedepankan makna dan fungsi minimal yang harus terpenuhi dalam sebuah bangunan masjid, yakni adanya tempat yang lapang untuk tempat berkumpul umat melaksanakan ibadah. Bentuk bangunan dengan corak lapangan ini kemudian dijadikan dasar dalam pembangunan masjid di berbagai wilayah. Dan masjid Quba saat ini telah mengalami perubahan dan perkembangan, seperti penambahan mihrabdan penonjolan dinding pada arah kiblat, penambahan kubah di atas lapangan, perubahan tanah yang semula menjadi alas langsung pada dasaran masjid lantai biru. Sementara itu, bangunan masjid yang lain tumbuh di berbagai wilayah Islam sejalan dengan perkembangan wilayah Islam. bangunan masjid-masjid itu pun mengalami penambahan menara, makam di sekitar masjid, maksura, hiasan kaligrafi, interior yang indah yang memperlihatkan perbedaan tampilan fisiknya. Hal tersebut seperti terlihat pada kubah masjid Jami’ di Busra dengan model setengah bola, menara spiral di Sam, Minaret masjid Sultan Kait Bey, interior masjid Ibnu Thoulun, termasuk bentuk atap besirap pada bangunan masjid di Jawa. Di berbagai tempat dimana Islam tumbuh, masjid telah menjadi bangunan yang penting dalam syiar Islam. masjid dijadikannya sebagai sarana penanaman budaya Islam sehingga dalam pengertian ini terjadilah pertemuan dua unsur dasar kebudayaan, yakni kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam yang terpateri oleh ajaran islam dan kebudayaan lama yang telah dimiliki oleh masyarakat setempat. Di sini terjadilah asimilasi yang merupakan keterpaduan antara kecerdasan kekuatan watak yang disertai oleh spirit Islam yang kemudian memunculkan kebudayaan baru yang kreatif yang menandakan kemajuan pemikiran dan peradabannya. Oleh karenanya, keragaman bentuk arsitektur masjid jika dilihat dari satu sisi merupakan pengayaan terhadap khasanah arsitektur Islam, pada sisi lain arsitektur masjid yang bernuansa lokal secara psikologis telah mendekatkan masyarakat setempat pada Islam.4 Masjid sebagai arsitektur Islam merupakan manifestasi keyakinan agama seseorang. Oleh karena itu, tampilan arsitektur Islam tidak lagi hanya pada masjid, tetapi telah tampil dalam bentuk karya fisik yang lebih luas. B. Pola Masjid Sebagai Internalisasi Arsitektur Islam Jawa Internalisasi Islam dalam arsitektur di Jawa sebenarnya sudah dapat dilihat sejak awal Islam masuk di jawa. Mengingat bahwa salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa dilakukan melalui karya seni arsitektur, di antaranya adalah bngunan masjid. Sebelum Islam masuk di Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli Jawa maupun yang telah dipengaruhi oleh Hindu-Budha di Jawa yang telah berdiri berbagai jenis bangunan, seperti candi, keraton, benteng, kuburan, meru, rumah joglo, relief pada bangunan gapura, tata ruang desa atau kota yang memiliki konsep mencapat, hiasan tokoh wayang pada rumah, kuburan, dan padepokan. Oleh karena itu, ketika Islam masuk di Jawa keberadaan arsitektur Jawa yang telah berkembang dalam konsep dan filosofijawa tidak dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol-simbol Islamhadir dalam bingkat budaya dan konsep Jawa. Keadaan ini dapat kita temukan pada bangunan menara masjid Kudus (masjid al-Aqsha) yang dibangun oleh Sunan Kudus dengan ciri yang khusus dan tidak didapatkan pada bentuk bangunan masjid dimana pun, yakni bentuk bangunan menara yang mirip dengan meru pada bangunan Hindu, lawang kembar pada bangunan utama masjid dan pintu gapura serta yang mengelilingi halaman masjid yang kesemuanya bercorak Hindu dalam bentuk susunan bata merah tanpa perekat yang mengingatkan pada bentuk banguna kori pada kedhathon di kompleks kerajaan Hindu. Bentuk bangunan menara masjid Kudus yang demikian dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat Hindu waktu itu untuk memeluk Islam. Bentuk bangunan masjid yang bercorak khas Jawa yang lain adalah bangunan masjid yang memakai bentuk atap bertingkat atau tumpang (dua, tiga, lima, atau lebih), dan pondas persegi. Pondasi yang persegi ini sisinya tepat berada pada arah mata angin. Selain soko gurunya juga membentuk sebuah persegi, terdapat pula ciri khas mimbar dengan pola ukiran teratai, mastaka atau memolo, di sebelah timur terdapat pintu masuk dan diperluas dengan adanya serambi, ditengah-tengah tembok sebelah barat ada bangunan menonjol untuk mihrab yang terbentuk lengkung pola kalamakara, dan di bagian selatan ada bangunan tambahan yang dihubungkan dengan jendela dan pintu ke bagian dalam yang sering disebut dengan pawestren (krama)/ pangwadon (ngoko), yaitu tempat khusus untuk sholat perempuan dan maksura yang merupakan tempat khusus untuk raja atau sultan pada waktu salat jum’at.5 Bentuk bangunan masjid dengan model atap tingkat tiga diterjrmahkan sebagai lambang keislaman seseorang yang ditopang oleh tiga aspek, yaitu Iman, Islam, Ihsan. Adapun Norcholis Majid menafsirkannya dengan lambang tiga jenjang perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau tingkat permulaan (purwa), tingkat menengah (madya), dan tingkat akhir yang maju dan tinggi(wusana), yang sejajar dengan vertikal Islam, Iman, Ihsan. Selain itu, dianggap pula sejajar dengan syariat, thoriqot, makrifat.6 Uraian di atas merupakan gambaran arsitektur masjid di Jawa yang terjadi pada awal masa pertumbuhan sampai perkrmbangannya pertengahan abad ke-20. Sementara itu, jika menilik corak arsitektur masjid di Jawa masa pertengahan abad ke-20, maka tidak lagi ciri ciri tersebut secara keseluruhan kita dapati sebagaimana pola arsitektur masjid sebelum pertengahan abad ke-20. Hal ini tampak pada masjid Amal Bhakti Muslim Pancasila yang tidak lagi memiliki kolam, tetapi ciri-ciri lain sebagai arsitektur Islam Jawa masih tampak pada bentuk atapnya dan pondasi segi empatnya. DAFTAR PUSTAKA Farida Jauharotul et.al., Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta. 2000. Rochym Abdul Drs., Sejarah Arsitektur Islam. Angkasa, Bandung. 1983. Sejarah Islam di jawa.com.perpustakaan Indonesia online Catatan: 1 Jauharotul farida et.al, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta. 2000. h. 186 2 Drs. Abdul rochym, Sejarah Arsitektur Islam. Angkasa, Bandung. 1983. H. 26 3 Drs. Abdul rochym, Ibid. H. 32 4 Jauharotul farida et.al, Op.Cit. h.187 5 Jauharotul farida et.al, Op.Cit. h. 190 6 Jauharotul farida et.al, Op.Cit. h. 191
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |