Oleh Misbahul Ulum Baru-baru ini, Fraksi PAN DPR RI mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cuti Hamil, Melahirkan dan Menyusui selama sembilan bulan. RUU ini memberikan waktu yang relatif lebih lama dibanding dengan UU tentang cuti melahirkan yang sudah ada, yakni hanya selama tiga bulan. RUU ini disebut-sebut sebagai perwujudan dari nilai-nilai ajaran Islam, yang memberikan waktu bagi perempuan melahirkan selama dua tahun. Hanya untuk konteks masyarakat Indonesia waktunya dipersingkat menjadi hanya sembilan bulan karena kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang masih lemah. Analisa sederhanya, jika ajaran Islam tentang cuti selama dua tahun benar-benar diterapkan, besar kemungkinan akan memicu penolakan dari para pelaku usaha di Indonesia.
Sebelumnya, gagasan serupa juga pernah dilontarkan oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Bahkan Dahlan mewacanakan gagasan waktu yang jauh lebih lama, yakni dua tahun untuk cuti melahirkan. Hanya gagasan ini masih sebatas wacana dan diperuntukkan khusus bagi lingkungan birokrasi BUMN saja. Belum ada upaya nyata untuk mewujudkan wacana itu menjadi sebuah kebijakan strategis. Terlepas dari tendensi politis ataupun kepentingan pemilu 2014, yang jelas RUU ini adalah kabar baik bagi perempuan di Indonesia. RUU ini bisa manjadi jawaban atas kegelisahan kaum perempuan, khususnya yang bekerja di sektor formal. Sebab jika RUU itu disahkan menjadi UU, kaum perempuan bisa lebih intensif merawat buah hati dan haknya sebagai karyawan dan pekerja di sektor formal masih tetap terjaga. Terobosan Diakui atau tidak, Rancangan Undang-Undang Cuti Melahirkan dalam waktu yang cukup lama ini adalah terobosan baru yang sangat bagus. Meskipun sebenarnya Islam telah lebih dahulu mengaturnya, namun selama ini masih dalam tataran ide dan belum menjadi kebijakan yang riil. Selain tergolong baru, RUU Cuti Melahirkan ini juga sangat futuristik serta memperhatikan sisi-sisi perempuan seutuhnya. RUU ini menyadari bahwa perempuan memiliki peran-peran spesifik yang tidak mungkin bisa dijalankan oleh laki-laki. Dan karena peran spesifik itulah, perempuan perlu mendapatkan perlakukan spesifik pula. Jika RUU ini bisa disahkan menjadi UU serta mampu dikelola dengan baik, tentu akan memberikan manfaat yang sangat luas. Manfaat itu tidak hanya bagi kaum perempuan yang mendapatkan cuti semata, tetapi lebih jauh juga bagi anak-anak yang dilahirkan. Sebab, dengan waktu cuti yang relatif lama itulah, sang Ibu, selain bisa mengembalikan kesehatan dirinya sendiri juga bisa memberikan perhatian dan perawatan khusus bagi buah hatinya. Setidaknya ia bisa memberikan ASI eksklusif untuk membantu proses petumbuhan buah hatinya, sehingga sang buah hati mampu tumbuh dengan optimal. Jika buah hati tumbuh dengan optimal serta mendapat perhatian yang optimal pula dari kaum Ibu, tentu besar harapan untuk tumbuh menjadi generasi yang unggul. Ajaran Islam Jika dibanding dengan negara-negara lain, dalam kasus ini Indonesia memang terhitung tertinggal. Sebab, gagasan ini sudah diterapkan di negara-negara maju, seperti Inggris, Australia serta negara-negara di Eropa yang mayoritas beragama non-Islam. Justru gagasan ini seolah masih terkesan baru dan aneh di Indonesia. Padahal Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim, sedangkan aturan ini sesungguhnya adalah ajaran Islam. Dalam kasus ini, Islam sebenarnya telah mengisyaratkan untuk memberikan waktu yang relatif lama (dua tahun) bagi perempuan yang melahirkan. Lebih jelasnya hal itu terdapat dalam Aquran Surat Luqman ayat 14, yang artinya: ”Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun...” Ayat di atas secara jelas memberikan gambaran bahwa masa ideal bagi seorang ibu untuk memberikan perawatan kepada buah hati secara eksklusif adalah dalam kurun waktu dua tahun. Baru setelah itu sang ibu boleh menyapihnya. Untuk itulah, ada baiknya, RUU tentang Cuti Hamil, Melahirkan dan Menyusui selama sembilan bulan ini perlu mendapatkan dukungan bersama. Lebih-lebih didorong untuk bisa disahkan menjadi UU. Oleh karena itulah, pemerintah, LSM, perusahaan, dan aktivis perempuan perlu bersinergi untuk mendukung RUU tersebut dalam sebuah peraturan perundang-udangan yang sah. Dengan begitu, hak-hak kaum perempuan dalam bekerja dan hak anak untuk memperoleh perawatan bisa terwujud dengan baik. (24) – Misbahul Ulum, dosen Stebank Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara, Jakarta. Suara Merdeka 06 Februari 2013 Read more: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/02/06/214374/Menanti-UU-Cuti-Melahirkan
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul aziz Archives
March 2013
Categories |