_Suara Merdeka, 26 Oktober 2011 _"Jelas sekali tidak ada hubungannya antara jenis kelamin dengan politik, sehingga tidak ada masalah jika perempuan harus ikut terlibat dalam kegiatan politik. Karena bagaimanapun, perempuan juga perlu diatur kebutuhannya". Oleh Misbahul Ulum Politik, selama ini hanya dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan (power). Maka, perilaku politik yang tampak adalah merebut, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan. Hans J Morgenthau, dalam Political Among Nations mengungkapkan bahwa politik merupakan perjuangan menuju kekuasaan. Pemaknaan politik seperti itu jelas menyesatkan. Karena, segala sesuatu hanya diarahkan kepada kekuasaan saja, dan sangat identik dengan kekerasan, sehingga muncul anggapan bahwa politik itu sangat kejam. Politik hanya boleh dilakukan oleh orang yang siap dengan kekerasan, dan laki-laki lah yang sejauh ini dirasa mampu untuk itu. Akhirnya timbul kesan bahwa politik menjadi ’’dunia terlarang’’ bagi kaum perempuan.
Dalam Islam, terminologi politik dikenal dengan nama siyasah, yang bermakna mengurusi. Orang yang melakukan pengurusan itu disebut siyasiy (politikus). Dari uraian tersebut terlihat bahwa politik berkaitan erat dengan kegiatan pengaturan, pengurusan, dan pemeliharan berbagai urusan kemasyarakatan. Bila mengacu pada pengertian ini, jelas sekali tidak ada hubungannya antara jenis kelamin dengan politik, sehingga tidak ada masalah jika perempuan harus ikut terlibat dalam kegiatan politik. Karena bagaimanapun, perempuan juga perlu diatur kebutuhannya. Kurang Hasrat Di Indonesia, mayoritas perempuan kurang memiliki hasrat untuk terjun dalam dunia politik. Hal itu disebabkan oleh empat faktor. Pertama; perempuan masih terbelenggu oleh kultur patriarki, yaitu suatu kebudayaan yang mengistimewakan peran laki-laki. Misalnya perbedaan upah yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Biasanya upah untuk laki-laki lebih tinggi dibanding upah perempuan. Hal semacam itu terjadi karena masyarakat masih beranggapan bahwa pekerjaan laki-laki lebih berat daripada perempuan. Contoh lain, ungkapan Jawa ’’sepikul se-gendongan’’, yang berarti, laki-laki mendapat sepikul atau dua kali lipat dari bagian perempuan yang hanya segendongan. Kedua, pemahaman keagamaan yang parsial. Seringkali teks-teks keagamaan dimakanai secara tekstual saja tanpa mencari spirit apa yang dikandung dalam teks tersebut, sehingga perempuan seolah makin termarginalkan oleh dogma agama. Padahal dalam Alquran, Allah telah berfirman bahwa ’’laki-laki adalah pakaian bagi perempuan, dan perempuan adalah pakaian bagi laki-laki’’. Jadi, interaksi yang terjadi antara perempuan dan laki-laki bukanlah bottom-up tapi kemitraan. Dalam sebuah hadis juga telah disebutkan bahwa ’’sesungguhnya Allah tidak melihat seseorang dari fisiknya, akan tetapi Allah melihat dari hati dan perilakunya’’. Ketiga, sistem politik yang tak memihak perempuan. Meskipun sudah ada peraturan tentang kuota 30 persen katerwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, ternyata perempuan harus bersaing terlebih dahulu dengan calon-calon legislatif lain yang didominasi oleh kali-laki. Harusnya, keterwakilan perempuan menjadi hal yang mutlak, bukan karena hasil kompetisi dengan laki-laki. Karena jika perempuan harus berkompetisi terlebih dahulu dengan laki-laki, kekalahan menjadi hal yang sangat mungkin. Kalaupun ada perempuan yang menang, itu hanya beberapa saja. Keempat, kendala ekonomi. Selama ini, di Indonesia khususnya, tanggungjawab mencari nafkah dibebankan kepada laki-laki, sehingga muncul perasaan bahwa laki-laki lah yang mempunyai hak penuh dalam pengusaan harta kekayaan, sedangkan perempuan yang bekerja di wilayah domestik, dianggap tidak memiliki wewenang apa-apa dalam pengurusan kekayaan. Tentunya hal ini sangat menghambat perjalanan perempuan dalam memasuki dunia politik. Karena, politik itu sangat mahal, dan hanya orang yang kuat secara finansial lah yang mampu berjalan pada rel itu. Mebangkitkan gairah politik perempuan pada era sekarang ini adalah sebuah keharusan. Dengan adanya wacana kesetaraan gender, tentunya itu menjadi peluang tersendiri bagi perempuan untuk berkompetisi dengan laki-laki dalam wilayah publik. Paling tidak, perempuan harus memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya sendiri sebagai perempuan. Gerakan politik perempuan hanya akan menjadi wacana kosong jika perempuan sebagai aktor penggeraknya tidak berani tampil menyuarakan diri sebagai mitra dan kompetitor laki-laki. (24) —Misbahul Ulum, pengajar di PMPI Center, Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul aziz Archives
March 2013
Categories |