_Suara Merdeka, 26 Desember 2012 Oleh: Tiyas Nur Haryani Ketika kita berbicara mengenai sosok emansipasi, asosiasi publik tentu langsung mengarah pada RA Kartini. Selama ini, Kartini kita simbolkan sebagai figur emansipasi perempuan, pendobrak budaya patriarkat. Kartini telah mencontohkan salah satu bentuk emansipasi yang membawa perubahan besar bagi perempuan Indonesia, yaitu perjuangan menuntut hak pendidikan bagi perempuan. Di masa Kartini, perempuan terkurung dalam kuatnya budaya patriarkat yang melarang perempuan bersekolah meraih pendidikan tinggi. Perempuan diposisikan sebagai kelas dua dan ada stereotip bahwa kelak perempuan hanya beraktivitas dalam ranah domestik. Masyarakat Jawa membangun stereotip bahwa ruang lingkup perempuan ada di 3 R (kasur, dapur, dan sumur). Begitulah kondisi gender di era Kartini. Berkat perjuangan Kartini, perempuan Indonesia di masa kolonial dan dewasa ini mampu mengecap bangku pendidikan formal dan informal. Pendidikan memang menjadi kunci dari keberhasilan pembangunan individu sekaligus pembangunan bangsa. Akan tetapi, kata emansipasi mulai berbelok pengertian dalam pola pikir masyarakat kita saat ini.
Telah banyak di antara kita yang memunculkan distorsi dari kata emansipasi sebagai kemampuan perempuan dalam mencapai hak yang setara dengan lawan jenisnya, yaitu kaum laki-laki. Setara yang berbelok arti ini dimaksudkan perempuan dan laki-laki mendapatkan porsi 50 banding 50. Inilah letak kesalahan pemaknaan emansipasi, dan membuat sebagaian kalangan memaknainya dalam arti sempit yang berarti kebebasan bagi perempuan untuk memilih dan bertindak. Sebetulnya, secara bahasa, emansipasi berarti proses pelepasan diri sekelompok orang dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Adil berarti sesuai kebutuhannya, setara berarti sesuai dengan hak dan kewajibannya. Belajar dari Ainun Ada sosok inspiratif baru dalam perjuangan emansipasi perempuan setelah Kartini. Tentu kita mengenal sosok Ainun Habibie, istri mantan orang nomor satu di Indonesia yang lakonnya dapat kita saksikan dalam panggung layar lebar saat ini. Euforia film layar lebar Habibie & Ainun tengah memikat animo penikmat film Indonesia. Film Habibie & Ainun merupakan cerita nyata perjuangan mantan presiden Habibie dalam menata kariernya dan pemerintahan Indonesia di awal reformasi. Lewat film tersebut dapat kita saksikan bahwa di belakang layar ketokohan Habibie ada seorang perempuan kuat yang mendampingi beliau. Perempuan sebetulnya berada pada posisi sentral bagi kekuatan pembangunan nasional. Kacamata terminologi Jawa boleh saja memandang apa yang dilakukan Ainun Habibie saat itu sebagai konco wingking. Budaya patriarkat memandang perempuan adalah konco wingking bagi suami mereka. Dua di antaraa tugas perempuan adalah sebagai istri pendamping suami dan pengurus rumah tangga. Menurut Darwin (2001), konco wingking didefinisikan bahwa perempuan tidak berhak atas kedudukan di atas, juga tidak mempunyai hak pengambilan keputusan untuk urusan publik. Masih meminjam sudut pandang Darwin, dulu para perempuan bangsawan disebut konco wingking dalam arti bahwa mereka melayani kebutuhan suami, termasuk kebutuhan seksual dan reproduksi. Nyatanya tidak demikian bagi lakon Ainun Habibie. Ainun seorang perempuan cerdas dan berhasil mengeyam pendidikan tinggi. Usai menikah, Ainun memilih untuk mengabdikan jiwanya sebagai konco wingking Habibie, tapi bukan sebagai kelas dua dalam perspektif gender. Ainun yang selama ini berperan berdiri di belakang Habibie, dengan tujuan mengadang mara bahaya yang muncul dari belakang suaminya. Laki-laki terkadang tidak melihat bahaya-bahaya tersebut. Tujuan perempuan berada di belakang suami adalah ikut berpartisipasi secara tidak langsung dalam kesuksesan suami di ranah publik. Perempuan menjadi pahlawan tanpa jasa yang bekerja dari belakang layar selama suami aktif berkiprah di dunia publik ataupun politik. Seperti halnya ditulis oleh Lilis Sugiharti dalam halaman Perempuan Suara Merdeka (19/12), bahwa banyak kesempatan yang luas bagi perempuan untuk berperan dan aktif di ranah publik, tetapi hal ini tidak harus menjadikan perempuan tersebut lupa akan tugas mulianya sebagai ibu rumah tangga. Ibu Ainun Habibie mampu sukses di luar rumah ketika beliau merasa harus bekerja mengabdi sesuai tanggungjawab intektualitasnya sebagai dokter, tetapi pada akhirnya Ibu Ainun kembali memilih mengabdi sepenuhnya sebagi aktor di balik layar kesuksesan keluarganya. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, mereka membutuhkan sosok guru cerdas, yaitu para ibu cerdas yang telah berbekal pengetahuan. Ainun Habibie membuktikan hal-hal tersebut. Pendidikan tingginya digunakan untuk mendidik anak-anaknya dan mendampingi suaminya. Ainun Habibie dapat menjadi inspirasi bagi perempuan masa kini. (24) –Tiyas Nur Haryani, Mahasiswi Magister Administrasi Publik UNS.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul aziz Archives
March 2013
Categories |