Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Mendidik merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Sebab, seorang pendidik yang mengajarkan muridnya dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan, mempunyai kemuliaan sama halnya nabi dan filsuf pada zaman dahulu. Jika murid-murid mampu mengimplementasikan ilmunya dalam kehidupan nyata, maka pendidik itu bisa dikatakan berhasil. Namun, tidak mudah memang menjadi pendidik, karena ia adalah panutan bagi murid-muridnya. Dalam rangka membangun peradaban yang berkarakter, maka pendidikan adalah sebuah “kewajiban”. Sebab, dari pendidikan itu, akan diperoleh ilmu, sehingga manusia bisa mengetahui mana yang baik dan yang tidak baik. Plato mengatakan bahwa pendidikan menghasilkan orang baik, dan tentu orang baik yang berperilaku mulia. Oleh sebab itu, seorang pendidik akan menyandang status terhormat, yaitu sebagai pewaris para nabi, jika ia berhasil menjalankan aktivitas profetik dengan baik dan benar. Aktivitas profetik yang dilakukan sebagaimana oleh nabi-nabi terdahulu. Tentunya dalam mentransformasikan ilmu, nabi-nabi tidak mengaharapkan imbalan apapun. Mereka ikhlas dan tulus dalam mengajarkan ilmunya atau dengan kata lain gratis. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “mengajarlah dengan gratis sebagaimana kalian diajari dengan gratis”.
Oleh karena itu, seorang pendidik harus bisa menjadi “nabi” yang selalu berjuang untuk kemaslahatan umat. Jika tugas itu bisa dijalankan dengan baik, maka besar kemungkinan bangsa ini akan membaik keadaannya. Maju atau tidaknya suatu bangsa salah satunya disebabkan oleh kualitas pendidikannya. Pendidikan yang baik maka akan menghasilkan generasi yang baik pula, sehingga generasi itu akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Seseorang pendidik tidak hanya dituntut memenuhi kapasitas keilmuawannya, tetapi juga bagaimana mengaplikasikan dalam bentuk tindakan nyata. Sebab, jika ilmu banyak tetapi tidak diimplementasikan, maka sama saja tidak memiliki fungsi. Pepatah arab mengatakan, “Ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah”. Tentunya, dalam mengamalkan ilmu itu harus ke arah yang baik. Jangan sampai ilmu pengetahuan itu menjadi perusak dunia. Misalnya, seseorang punya ilmu banyak, tetapi digunakan untuk korupsi. Itu jelas tidak seseua harapan pendidikan yang sesungguhnya. Jadi, itu semua tergantung ”pemiliknya”. Oleh karena itu, guru harus mendorong murid-muridnya untuk melakukan tindakan nyata yang didasarkan kepada akhlak mulia, agar tidak digunakan dalam hal negatif. Hal ini sesuai dengan UU RI No. 14 Tahun 2005 (Tentang Guru dan Dosen), bahwa guru mempunyai tugas mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dengan begitu, pendidikan Indonesia akan membaik. Virus Para Sofis Namun, pendidik yang awalnya menyandang status mulia, yaitu pewaris para nabi, atau dalam tradisi Yunani kuno disebut filsuf, kini kemulian itu mulai hilang. Hilangnya kemuliaan pendidik tersebut, disebabkan orientasi mereka yang keliru. Kebanykan pendidik, baik guru maupun dosen, lebih berorientasi pada material saja. Sehingga, orientasi keliru ini lah yang kemudian menyebabkan para pendidik tidak total dalam menjalanka aktivitas profetiknya. Bahkan, kini banyak guru yang tidak mengetahui fungsinya sebagai pendidik dan pewaris para nabi. Mereka hanya menjadikan guru sebagai sebuah profesi. Yang lebih parah lagi, mereka mengajar murid-muridnya hanya sekedar formalitas saja. Maka wajar saja, jika saat ini banyak murid-murid yang berperilaku menyimpang jauh dari nilai dan norma. Penddik yag seperti ini, dalam tradisi Yunani Kuno, dikenal dengan istilah sofis. Plato mengatakan bahwa pendidik macam ini sama halnya para pemilik warung yang menjual barang-barang ruhani. Itu artinya, mereka menggunakan ilmunya hanya untuk mencari uang saja. Para sofis ini adalah orang-orang yang dianggap pintar atau memiliki pengetahuan, tetapi menggunakannya untuk mencari uang. Sebenarnya, sofis mempunyai makna yang baik, yaitu para pengajar kebijaksanaan. Pada awalnya, mereka keliling untuk memberikan pengaaran. Namun, lambat laun makna sofis mengalami perubahan disebabkan orientasi pada uang. Bahkan, yang paling menghawatirkan adalah mereka tidak jarang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang tersebut. Termasuk diantaranya adalah memutarbalikkan logika kebenaran. Akibatnya, sesuatu yang awalnya benar menjadi dipahami sebagi yang salah, dan sebaliknya yang sesuatu yang salah dipahami sebagai yang benar. Memang tidak mudah menjalankan peran profetik dan filsuf itu. Butuh paradigma dan niat yang tulus dari individual pendidik. Penyebab kemuliaan pendidik ini hilang adalah terbelahnya konsentrasi dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini wajar, pendidik juga menginginkan hidup wajar sesuai standar manusia kebanyakan, yaitu menginginkan pemenuhan materi duniawi. Namun, hal inilah yang menyebabkan pendidik saat ini “menomorduakan” tugasnya. Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah sudah mengantisipasi dengan adanya stratifikasi, baik guru maupun dosen. Dengan sertifikasi ini, pendidik diharapkan bisa memenuhikebutuhan mereka dan bisa fokus untuk mengajar anak didiknya.Selain itu, sertifikasi juga difungsikan untuk meningkatkan kualitas guru, agar mereka bisa mengajar lebih profesional. Namun, usaha pemerintah ini tampaknya tidak memenuhi hasilmaksimal. Paradigma hedonistis dan matetialistis yang telah menjangkiti kebanyakan pendidikmenjadi penyebabnya. Sebab, merekaselalu merasa kurang dan tidak puas dengan apa yang didapatkan. Imbalan besar yang dimaksudkan agar meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, dibalas dengan ketidakpastian orientasi. Selain itu, banyak pendidik yang menjalankan tugasnya tidak sebagai panggilan. Mereka hanya terpaksa menjadi pendidik karena tidak adanya pekerjaan lain yang menjanjikan. Oleh karena itu, perlu penataan kembali mekanismeperekrutanguruatau dosen, agar mendapatkan sosok guru yang benar-benar memiliki panggilan hati.Jika guru sudah memiliki panggilan hatidalammengajarkan ilmu, ditambah kapasitas intelaktual yang memadai, makamereka akan lebih profesional dalam mengajar. Dengan demikian,bisa dipastikan pendidikan di Indonesia akan mengalamiperubahan ke arah yang lebih baik. Peran semua elemen untuk menciptakan pendidikan berkualitas sangat diperlukan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakatkitasendiri. Semua itu akan bisa dilakukan jika didasari dengan niat yang tulusdan ikhlas. Wallahu a’lam bi al-shwab. ______________________________ *Penulis adalah Peneliti di Monash Institute, Mahasiswa Komunikasi IAIN Walisongo Semarang Dimuat di Rimanews, 25 Juli 2012
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
December 2013
Categories |