Dimuat di Radar Lampung - Jumat, 9 November 2012 | 15:53 WIB Dulu, kerap kali kita mendengar bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab, guru pada waktu itu kehidupannya masih sangat ’’pas-pasan’’. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja, gaji guru pada waktu itu kurang memenuhi standar kehidupan yang layak. Profesi guru memang sangat mulia. Seorang guru yang mendidik muridnya dengan baik dan benar, serta dengan dilandasi keikhlasan hati, maka ia akan mengantarkan seorang murid menjadi baik dan benar juga. Guru jugalah yang mengenalkan kita dengan huruf dan angka lewat pendidikan formal. Dengan sabar dan ikhlas, seorang guru memberikan pengajaran kepada murid-muridnya agar kelak bisa menjadi orang yang pandai dan bisa menjadi generasi yang bisa merubah bangsa menjadi lebih baik.
Seorang guru dikatakan berhasil, jika murid-muridnya mampu mengimplementasikan ilmunya dalam kehidupan nyata. Namun, menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang mudah, karena ia adalah uswatun hasanah bagi murid-muridnya. Artinya, seorang guru harus mampu menjadi panutan bagi peserta didiknya. Dalam pepatah Jawa kata ’’guru’’ merupakan gabungan dari kata digugu lan ditiru, maksudnya seorang guru harus bisa dipercaya dan dapat menjadi contoh. Seorang guru akan menyandang status terhormat, yaitu sebagai pahlawan, jika ia berhasil menjalankan aktivitas mengajar dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, aktivitas mengajar sebagaimana yang dilakukan oleh filsuf-filsuf terdahulu, sebelum datangnya era para sofis. Bahkan, Plato mengatakan, mereka adalah ’’para pemilik warung yang menjual barang-barang rohani’’. Guru yang hanya mengharapkan materi tidak ada bedanya dengan sofis-sofis pada zaman Yunani Kuno. Para sofis itu memberikan pendidikan hanya sekedar untuk mencari materi baik berupa uang maupun barang. Para filsuf dulu selalu ikhlas dan gigih dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya. Mereka tidak mengharapkan imbalan berupa apa pun. Namun, setelah para sofis muncul, mengajar tidak lagi didasari dengan ikhlas, tetapi lebih kepada orientasi uang atau bayaran. Oleh karena itu, seorang guru harus bisa menjadi ’’filsuf’’ yang selalu siap berjuang untuk kemajuan bangsanya. Jika tugas kepahlawanan itu bisa dijalankan dengan baik, maka besar kemungkinan bangsa ini akan keluar dari keterpurukan, khususnya pendidikan. Diakui atau tidak, maju atau tidaknya suatu bangsa salah satunya karena pendidikan yang maju. Sikap kepahlawanan guru ditunjukkan tidak hanya harus memenuhi kapasitas keilmuannya saja, tetapi juga mewujudkannya dalam bentuk tindakan. Sebab, seperti pepatah dalam bahasa arab mengatakan yang artinya, ’’Ilmu tanpa diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah’’. Itu artinya, jika Ilmu pengetahuan tidak diimplementasikan, maka sama saja tidak ada gunanya. Ilmu pengetahuan itu bisa menjadi perusak dunia, jika yang mempunyai orientasi negatif. Dalam konteks ini, semua itu tergantung yang memilikinya. Oleh karena itu, guru harus mendorong murid-muridnya untuk melakukan tindakan nyata. Tindakan itu harus didasarkan kepada norma-norma yang ada, agar tidak digunakan dalam hal negatif. Dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 (tentang Guru dan Dosen) dijelaskan bahwa guru mempunyai tugas mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Itu artinya, tidak mudah memang untuk menjadi seorang guru yang benar-benar guru sebagai pahlawan. Hilangnya Spirit Kepahlawanan Namun, dewasa ini spirit kepahlawanan guru terlihat sudah mulai pudar. Seorang guru hanya berorientasi pada material saja, tanpa memikirkan tugasnya yang begitu mulia. Bahkan, ironisnya banyak guru yang tidak mengetahui fungsinya sebagai pendidik dan sosok pahlawan. Saat ini banyak guru hanya menjadikan guru sebagai sebuah profesi. Yang miris lagi, para guru mengajar muridnya hanya sebagai formalitas belaka. Sehingga, guru tidak lagi memikirkan murid-muridnya yang notabene sebagai generasi penerus bangsa. Maka dari itu, tidak kaget jika banyak murid-murid yang berperilaku jauh menyimpang tradisi kita. Memang tidak mudah menjalankan peran sebagai pahlawan itu. Banyak dari mereka terbelah konsentrasinya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Wajar, jika guru juga menginginkan hidup wajar sesuai standar manusia kebanyakan, yaitu dengan materi duniawi. Tarikan pemenehuan kebutuhan inilah yang menyebabkan guru saat ini menomorduakan tugasnya. Pemerintah melalui stratifikasi sudah mengantisipasi dengan adanya penomorduaan tugas guru ini. Diharapkan guru bisa memenuhi kebutuhan mereka, sehingga bisa fokus untuk mengajar anak didiknya dengan baik. Tak hanya itu. Sertifikasi juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas guru agar profesional dalam mengajar. Kini, setelah sertifikasi status guru menjadi naik, bahkan seorang dokter bisa saja kalah secara material. Namun, usaha pemerintah ini tampaknya tidak memenuhi hasil yang diharapkan. Paradigma hedonistis dan materialistis yang telah menjangkiti hampir sebagian besar guru menjadi penyebab spirit kepahlawanan guru luntur. Orientasi utama kebanyakan guru saat ini hanya pada profesi, sehingga hanya untuk memperoleh materi saja. Padahal, peran guru jika diukur dengan materi saja tidak cukup. Guru lebih tinggi derajatnya daripada hanya sekadar diukur dengan materi. Oleh sebab itu, perlu penataan kembali mekanisme perekrutan guru yang ada. Tujuannya agar mendapatkan sosok guru yang benar-benar ingin menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, bukan karena material. Jika guru sudah memiliki niatan yang baik bisa dipastikan pendidikan di Indonesia akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Dibutuhkan peran semua lapisan untuk bersinergi menciptakan pendidikan berkualitas sangat diperlukan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat kita sendiri. Selain itu, harus diketahui bahwa perbaikan hanya akan bisa berhasil dilakukan jika didasari dengan keikhlasan hati nurani. Dalam arti, ajaran seseorang tidak akan bisa melakukan perbaikan jika tidak didasari dengan keikhlasan. Sebab, yang keluar dari mulutnya tidak dibarengi dengan hati nurani. Maka dari itu, perlu adanya reorientasi penanaman paradigma, bahwa menjadi guru itu merupakan aktivitas kepahlawanan yang sangat mulia. Apabila niat menjadi guru itu sudah benar, maka akan dengan sendirinya materi (uang) akan mengikutinya. Aktivitas mendidik seorang guru haruslah dilakukan atas dasar panggilan hati, bukan karena keterpaksaan. Dengan mendidik sebagai panggilan, maka guru akan bisa mengajarkan ilmunya dengan ikhlas dan menyenangkan. Dengan begitu, murid akan merasa lebih dekat dan hormat kepada seorang guru. Dan menyadari bahwa guru adalah pahlawan yang harus dihormati. Wallahu a’lam bi al-shwab. (*) *Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang, Peneliti di LeSAN (Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme)
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
December 2013
Categories |