Dimuat di Rimanews, Mon, 07 Januari 2013 - 11:07 WIB Apapun alasannya, korupsi tetaplah korupsi. Perbuatan yang sangat merugikan negara dan mencekik leher rakyat. Diakui atau tidak, penyebab utama mengapa korupsi di negeri ini semakin menggurita dan juga dilakukan secara berjamaah adalah gaya hidup yang materialistis dan hedonistis. Gaya hidup materialistis dan hedonistis sudah menjadi penyakit yang menjakiti para pejabat negeri ini. Hidup serba mewah dan megah menjadi hal wajib yang harus dipenuhi oleh mereka.
2 Comments
Dimuat di Harian Pelita, 21 Mei 2012 Hiburan memang satu tawaran tepat untuk menanggapi kondisi yang ada saat ini. Keadaan yang semprawut, berbagai masalah yang tiada henti menimpa negeri ini memang perlu hiburan. Untuk melepas kepenatan, mengembalikan optimisme hidup di atas sebuah keputusasaan dan kehilangan rasa percaya pada tatanan pemerintahan. Namun, yang harus diperhatikan adalah apakah hiburan harus menyimpang dengan budaya Indonesia. Tentu tidak, jika itu tetap dilakukan, maka hal terburuk akan menambah kesemprawutan negeri ini. Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Rencana datangnya artis ngetop dunia, Stefani Joanne Angelina Germanotta atau Lady Gaga ke Indonesia mendapat tolakan keras dari berbagai kalangan. Hal ini wajar saja, mengingat penampilan Ladi Gaga dalam video clip yang selalu menampilkan hal-hal yang bersifat porno dan bahkan terkesan aneh menurut pandangan adat ketimuran. Penolakan yang dilakukan oleh berbagai ormas, di antaranya FPI (Front Pembela Islam), MUI (Majelis Ulama Indonesia), FUI (Forum Umat Islam) dan pihak-pihak lain, memang sangat beralasan. Sebelumnya, Ketua Umum FPI, Habib Rizieq, mengancam akan membuat rusuh Jakarta, jika konser itu tetap akan digelar. Permintaan mereka ditanggapi secara bijak oleh Polda Metro Jaya dengan berbagai pertimbangan, sehingga konser Lady Gaga tidak mendapatkan izin. Alasannya sederhana, pertama Lady Gaga sering berpenampilan “porno” saat konser digelar. Di sisi lain, Indonesia mempunyai UU tentang pornografi dan pornoaksi. Tidak hanya itu, para ormas islam juga menentang keras penampilan Lady Gaga, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Memang patut dipertanyakan, sebenarnya apa manfaatnya jika konser itu digelar. Apakah mereka yang mendukung konser itu akan tetap bersuka ria, berhura-hura, sementara masih banyak rakyat Indonesia yang menderita, yang butuh kepedulian mereka. Inilah yang sebenarnya harus dipikirkan oleh seluruh warga negara. Kedua, Lady Gaga sering disebut-sebut sebagai pemuja setan, hal ini tampak pada simbol-simbol aneh yang digunakan dalam setiap penampilannya, baik dalam pentas maupun video clip. Bahkan, Lady gaga pernah diberitakan mandi darah sebelum tampil dalam konsernya. Dengan demikian, dikhawatirkan remaja Indonesia –mayoritas penggemar Lady Gaga- akan terpengaruh oleh penampilan artis Amerika itu. Ketiga, masuknya Lady Gaga ke Indonesia dikhawatirkan akan meracuni budaya Indonesia, khususnya Islam. Saat ini, banyak sekali generasi bangsa yang berperilaku jauh dari nilai-nilai agama. Banyak yang khawatir, jika Lady gaga jadi konser, maka tidak menutup kemungkinan perilaku amoral itu akan bertambah parah, mengingat track record penampilan sang artis. Intinya mereka khawatir dengan moral generasi muda, dan laknat dari Tuhan. Memang banyak juga yang mendukung konser Lady Gaga tetap dilaksankan pada 3 juni mendatang sesuai rencana. Sebab, mereka telah membeli tiket yang sudah dijual sejak jauh-jauh hari. Selain itu, mereka yang mendukung konser itu berpendapat bahwa tidak ada alasan sedikitpun untuk tidak memberikan izin manggung konser. Dengan dalih negara Indonesia adalah negara demokrasi dan membebaskan setiap orang untuk berekspresi. Demokrasi Pancasila Hiburan memang satu tawaran tepat untuk menanggapi kondisi yang ada saat ini. Keadaan yang semprawut, berbagai masalah yang tiada henti menimpa negeri ini memang perlu hiburan. Untuk melepas kepenatan, mengembalikan optimisme hidup di atas sebuah keputusasaan dan kehilangan rasa percaya pada tatanan pemerintahan. Namun, yang harus diperhatikan adalah apakah hiburan harus menyimpang dengan budaya Indonesia. Tentu tidak, jika itu tetap dilakukan, maka hal terburuk akan menambah kesemprawutan negeri ini. Harus diingat kembali bahwa negara Indonesia berprinsip erat dengan demokrasi pancasila. Memang saat ini, banyak yang salah kaprah memaknai demokrasi yang dijalankan di Indonesia. Tentu demokrasi Indonesia berbeda dengan demokrasi Amerika Serikat. Dalam konteks ini, demokrasi pancasila lebih mempunyai nilai-nilai luhur jika dibanding dengan demokrasi yang diterapkan di negara lain. Sampai saat ini, Pancasila masih diakui sebagai dasar negara oleh penyelenggara negara ini. Konsep yang sangat genius itu dirumuskan oleh founding fathers untuk kemudian menjadi cita-cita dan tujuan bangsa. Bahkan, menjadi jati diri bangsa Indonesia. Dalam Pancasila terdapat sila-sila yang saling erat berkaitan antara sila satu dengan lainnya. Mulai dari ketuhanan yang maha Esa, kemanusiaan, persatuan, sampai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu artinya, semua tujuan hidup bangsa Indonesia kedepannya sudah tercakup dalam Pancasila. Inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh seluruh warga negara, baik dari pemerintah maupun rakyatnya. Dengan memgang erat Pancasila, maka demokrasi tidak asal bebas, tetapi mempunyai nilai-nilai yang sejak dulu menjadi ciri khas negara ini. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang mempunyai jati diri dan kredibilitas, maka sudah selayaknya untuk tidak begitu saja memerima kebudayaan luar, baik itu berupa hiburan maupun yang lainnya. Karena dengan begitu, Indonesia akan diakui di mata Intenasional sebagai negara yang berkarakter kuat. Tidak seperti saat-saat ini, yang selalu “mengiyakan” semua kebudayaan luar untuk masuk di Indonesia. Sebenarnya bangsa kita sudah terserang mental inlander, mental budak, mental inferior, atau apapun lah namanya. Yang pasti, sampai sekarang ini, masih banyak masyarakat yang wah apabila melihat “bule” datang, meski tidak mempunyai kemampuan sekalipun. Inilah yang sebenarnya membuat Indonesia menjadi bangsa yang “terbelakang”. Perlu dicatat, bahwa Indonesia mempunyai Pancasila yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, sudah waktunya rakyat Indonesia lepas dari gumunan terhadap pihak luar. Mentalitas warga negara yang baik dan terutama pemimpinnya, Indonesia akan bisa menempatkan duduk sama pendek, berdiri sama tinggi dengan negara lain dalam pergaulan Internasional. Dalam konteks ini, Indonesia harus menyaring budaya yang masuk. Jangan sampai budaya luar meracuni jati diri bangsa Ini. Sudah cukup banyak budaya luar mempengaruhi kehidupan bangsa kita. Maka dari pada itu, katakan “STOP” untuk budaya yag tidak sesuai dengan Identitas negara ini. Dengan demikian, dalam konteks Lady Gaga yang sudah jelas tidak sesuai dengan kultur budaya Indonesia. Maka sudah sepantasnya untuk mengatakan “Tidak, maaf kami tidak butuh hiburan yang bersebrangan dengan nilai-nilai yang sudah tertanam pada bangsa ini. Kami akan memberikan hiburan yang bisa membuat negara ini lebih bermoral di mata Internasional dan para pendiri bangsa kami sendiri”. Jadi keputusan tidak memberi izin konser Lady Gaga merupakan keputusan yang sudah sesuai dengan konstitusi negara ini. Wallahu a’lam bi al-shawab. Member of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Pegiat di SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang. Rimanews, 15 Agustus 2012 Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Agustus merupakan bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tepatnya pada 17 Agustus 1945 lah, Bapak Proklamator kemerdekaan NRI, Soekarno-Hatta berhasil memproklamasikan kemerdekaan republik Indonesia. Setiap datang bulan bersejarah ini, pasti ada kegiatan khas yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Serangkaian perayaan dan upacara dalam rangka memperingati hari ulang tahun kelahiran negara Indonesia pun dilakukan di seluruh penjuru tanah air. Bahkan, sebelum masuk bulan Agustus, banyak masyarakat yang telah memeriahkan HUT itu dengan mengadakan perlombaan-perlombaan. Ya, ketika bulan Agustus datang, masyarakat Indonesia selalu “dibuat” sibuk, dengan perayaan-perayaan khas kemerdekaan. Sebut saja, lomba panjat pinang yang selalu menjadi agenda tahunan di daerah-daerah di Indonesia. Selain itu, banyak perlombaan-perlombaan khas kemerdekaan lainnya. Antara lain, lomba makan krupuk, lomba memasukkan belut ke dalam wadah, dan lomba-lomba lainnya yang sifatnya menghibur. Yang paling menonjol dalam peringatan 17 Agustus adalah kemeriahan dan kegembiraan. Mereka bersorak sorai melepas kepenatan dan beban hidup yang selama ini dirasakannya. Namun, kemerdekaan sepertinya hanya bisa dirasakan pada bulan Agustus saja. Pasalnya, rakyat Indonesia masih merasakan beban hidup yang berat dan tekanan dari “penjajah-penjajah” semu. Mengingat Sejarah Tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlepas dari perjuangan dan pengorbanan para pendahulu bangsa. Mereka mengorbankan harta, pikiran, tenaga, bahkan nyawa. Sebab, mereka harus melepaskan diri dari cengkeraman penjajah, seperti Inggris, Portugis, Belanda, dan Jepang. Namun, itu tidak menjadi alasan untuk kemudian menyerah dan merelakan bangsa ini “dimakan” oleh para penjajah itu. Pengorbanan yang dilakukan oleh para pahlawan terdahulu bertujuan agar Indonesia bersih dari intervensi pihak lain, sehingga bebas mengatur negaranya sendiri sesuai dengan yang diinginkan. Mereka merasakan ketidaknyamanan dikendalikan oleh para penjajah. Dengan alasan itu, mencapai kemerdekaan adalah harga mati. Meskipun bisa dikatakan tidak mempunyai kekuatan yang cukup (secara peralatan perang, jika disbanding dengan penjajah) untuk melawan penjajah, tapi kekuatan tekad dan niat para pahlawan bisa mengalahkan kekurangan itu. Seperti kata pepatah, “semut kalau diinjak mati saja, berusaha melawan, apalagi manusia?”. Semua rekam jejak para pejuang-pejuang kemerdekaan itu tertulis dalam buku-buku, meskipun banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan pada masa itu. Di antara para pejuang itu adalah tokoh-tokoh Islam pada masa lalu. Mereka berperang dengan niat berjihad di jalan Allah. Sebab, salah satu tujuan penjajah adalah untuk menyebarkan agama mereka. Seperti yang telah dikaji di ilmu-ilmu sosiologi, Barat melakukan penjajahan di negara-negara di dunia mempunyai tiga tujuan, atau yang sering dikenal dengan sebuatan 3G. 3G merupakan singkatan dari gold (kekayaan), glory (kemenangan atau kejayaan), dan gospel (menyebarkan agama). Dengan dasar itu, orang-orang Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia berjuang dengan tanpa takut mati, karena mereka mempercayai jika mati di medan perang maka akan masuk surga tanpa hisab. Keberhasilan merebut kemerdekaan memang tidak lepas dari tekad kuat para pejuang. Mereka berpikir bahwa perang untuk mati, bukan untuk hidup. Dengan mati, mereka akan masuk surga, sehingga dalam medan perang mereka bisa total berjuang tanpa harus takut mati. Karena itulah, kemenangan didapatkan. Namun, semua itu jarang dipahami oleh masyarakat Indonesia saat ini. Rakyat Indonesia kebanyakan berpikir bahwa mereka rela berjuang karena menginginkan kehidupan yang bebas dan lebih baik. Alasan itu memang benar adanya. Namun, alasan yang pertama lah yang menjadikan spirit para pejuang tumbuh, hingga akhirnya tercapailah kemerdekaan. Masih Terjajah Secara legal-formal negara ini memang telah diakui PBB sebagai negara “merdeka”. Namun, subtansi dari kemerdekaan itu sendiri sampai sat ini belum bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu. Padahal, mereka yang belum merasakan kemerdekaan sangat berharap kepada pemerintah saat ini agar mengupayakan segala usaha, sehingga semuanya bisa merasakan merdeka yang sesungguhnya. Merdeka adalah terbebasnya seseorang atau negara untuk berbuat, tanpa harus mendapat gangguan dari pihak lain. Dalam konteks ini, bangsa Indonesia merdeka karena telah terbebas dari penjajahan bangsa lain. Sampai saat ini usia kemerdekaan Indonesia telah berumur 67 tahun. Sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, banyak hal yang bisa diperoleh dari berbagai masalah yang mewarnai bangsa ini. Namun, semua itu bisa dikatakan “sia-sia”, ketika sampai usia yang ke 67, rakyat masih ada yang belum merasakan merdeka. Banyak dari rakyat yang belum bisa mendapatkan pendidikan, karena alasan biaya atau wilayah yang terpencil. Masih banyak rakyat yang takut menjalankan ritual keagamaan, karena takut ancaman dari pihak lain. Ada daerah yang mempunyai SDA yang melimpah, tetapi justru kehidupannya memprihatinkan. Negara merdeka adalah negara yang mandiri. Sampai saat ini, Indonesia masih tergantung dengan negara lain; Amerika Serikat. Memang secara fisik tidak ada tentara mereka yang berkeliaran di Indonesia. Namun, secara politik, social, hukum, atau ekonomi telah dikuasai dan disetir oleh mereka. Masalah yang paling berat adalah rakyat Indonesia maupun pemerintah masih dijajah oleh mental budak. Bagaimana tidak, Indonesia yang sebenarnya mempunyai kekayaan alam yang luar biasa melimpah, justru tidak bisa membuat rakyatnya kaya. Itu artinya rakyat Indonesia masih diperbudak oleh bangsa lain yang memanfaatkan segala yang ada di Indonesia di sisi manapun. Oleh sebab itu, perlu penyadaran kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama sekali pemerintah, agar mempunyai perspektif yang optimistis akan kekayaan dan kemampuan bangsa ini. Dengan begitu, kekayaan alam bisa dimanfaatkan dengan baik, sehingga seluruh masyarakat Indonesia akan tercukupi kebutuhannya. Kemerdekaan yang masih utopis ini, seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi rakyat Indonesia, terutama pemerintah. Sebab, pemerintah lah yang mengatur segala regulasi yang ada di negara ini, sehingga mampu membuat Indonesia benar-benar merdeka; merdeka yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bi al-shawab. *Penerima Beasiswa Unggulan di Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang, Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies Semarang. Dimuat di Harian Sinar Harapan, 6 November 2012 I 01.00 "Namun yang memprihatinkan dan sangat menyedihkan adalah para pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga utama moral bangsa, justrus bertindak semaunya sendiri, tanpa berjalan pada rel spiritual. Para politisi malah mengotak-atik bagaimana mendapatkan kekayaan yang sebesar-besarnya dari negara untuk dinikmati dengan kelompokknya. Mereka hanya mementingkan nafsu saja. Nilai-nilai spiritual yang seharusnya dijunjung tinggi, sekarang ini tidak lagi ada". Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Dewasa ini langkah-langkah para pemimpin bangsa seperti jauh dari spiritualitas bangsa, bahkan tidak berhubungan dengan spiritualitas secara langsung. Padahal, bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang taat beragama, baik agama apapun itu. Namun, banyak hal yang diakukan para pemimpin bangsa yang menyimpang jauh dari nilai-nilai spiritual. Sebut saja, penegakan hukum yang selama ini mengusik rasa keadilan publik. Seperti adanya tebang pilih dalam menangani kasus-kasus korupsi. Bahkan yang lebih ironis lagi adalah hukum bagaikan pisau dapur, yaitu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum hanya dijadikan alat untuk menindas rakyat kecil saja. Dalam berpolitik, spiritual memang tak dianggap penting untuk dipegang erat. Dalam logika politik kekuasaan, spiritualitas justru dianggap sebagai penghambat, karena akan membatasi ruang gerak untuk bertindak sesuai kehendak sendiri. Logika pemerintahan yang seperti inilah, yang menyebabkan bangsa kita kian terpuruk. Berbagai kasus korupsi yang melibatkan para petinggi negara yang bergulir selama ini memperjelas bahwa yang mengendalikan ranah publik saat ini adalah politik kekuasaan yang memarginalkan nilai-nilai spiritual. Untung saja hati nurani atau spiritual publik tidak ikut-ikutan mati. Jika spiritual publik ikut mati, maka bisa dipastikan keadaan bangsa ini kian amburadul. Masyarakat melakukan perlawanan terhadap pemerintah, baik melalui tulisan-tulisan di media masa maupun melakukan demonstrasi. Itu artinya, masyarakatmasih bisa merasakan berbagai keganjilan dalam penganan-penanganan kasus yang menimpa bangsa ini. Selain itu, masyarakat menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan yang hanya berpihak pada golongan tertentu saja, melalu situs-situs jejaring sosial. Dengan facebook dan twitter misalnya, masyarakat melakukan perlawanan moral terhadap pemerintah. Mereka menyuarakan kebenaran yang merupakan dasar dari nilai-nilai spiritual. Tentunya realitas yang seperti ini yang seharusnya dipegang erat oleh rakyat kita. Namun yang memprihatinkan dan sangat menyedihkan adalah para pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga utama moral bangsa, justrus bertindak semaunya sendiri, tanpa berjalan pada rel spiritual. Para politisi malah mengotak-atik bagaimana mendapatkan kekayaan yang sebesar-besarnya dari negara untuk dinikmati dengan kelompokknya. Mereka hanya mementingkan nafsu saja. Nilai-nilai spiritual yang seharusnya dijunjung tinggi, sekarang ini tidak lagi ada. Padahal seharusnya tidak demikian. Sering sekali kita dengar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menempatkan nilai-nilai spiritual pada posisi terhormat. Jika kita telisik lagi dasar negara kita, maka sudah jelas bahwa spiritual adalah hal yang paling penting. Kita semua tahu, dalam Pancasila sila pertama dituliskan “Ketuhanan yang maha Esa”. Itu artinya spiritual adalah hal yang harus diutamakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terlebih untuk mengurusi negara, maka sudah selayaknya menempatkan spiritual dalam politik merupakan “harga mati”. Namun, apa sebenarnya yang menyebabkan dunia pepolitikan kita ini cenderung keruh dan sering dikatakan kotor? Tentu pertanyaan itu sudah diketahui jawabannya, bahwa selama ini yang menjadi penyebab adalah para pemegang kekuasaan tidak lagi menempatkan spiritual dalam menjalankan kekuasaannya. Kita bandingkan saja negara kita dengan negara-negara lain, seperti halnya Jepang. Negeri Sakura ini mempunyai kepemimpinan yang secara umum belandaskan pada etika dan spirit Bushido. Bushido terdiri dari kata, yaitu bushi yang berarti kesatria atau prajurit dan do yang arinya jalan. Bushido atau “jalan kesatria atau prajurit” merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral keksatriaan yang berlaku di kalangan samurai khususnya di zaman feodal Jepang (Abad 12-19). Makna bushido secara umum bisa di artikan sikap rela mati untuk negara atau kerajaan. Yamamoto Tsunetomo dalam Hagakure mengungkapkan bahwa para samurai setiap pagi harus selalu menanamkan diri mereka tentang bagaimana cara untuk mati. Setiap malam mereka menyegarkan kepala mereka tentang menghadapi kematian, sehingga menjadi tidak takut mati. Tugas dan amanat yang diberikan harus diperjuangkan dan dilakukan dengan baik, meski nyawa menjadi taruhannya. Mereka menjadi orang-orang yang mencintai tugas dan kewajibannya melebihi kecintaaan mereka pada diri mereka sendiri. Bahkan, jika mereka gagal menunaikan tugas, maka mereka rela melakukan bunuh diri atau lebih dikenal dengan seppuku (pengeluaran isi perut) atau harakiri (penyobekan perut). Namun, saat ini tradisi bunuh diri berubah menjadi sikap mengundurkan diri dari jabatan secara terhormat daripada menanggung malu karena tak mampu menunaikan tugas. Selalu mengingat mati dan berjuang mati-matian dalam menjalankan tugas inilah yang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin kita. Dengan begitu mereka tidak akan teledor dalam menjalankan amanat rakyat. Oleh karena itu, spiritualitas harus benar-benar ditanamkan dalam jiwa pemimpin dan semua rakyat Indonesia. Pada dasarnya spiritualitas adalah nilai yang ada dalam diri manusia yang meyakini bahwa terdapat kekuatan besar di atas kekuatannya sendiri sebagai manusia. Yang dimaksud kekuatan besar itu adalah Tuhan yang menguasai alam semesta. Dengan demikian, manusia tidak akan menjadikan kehendaknya sendiri sebagai dasar dalam menjalani hidup. Nabi Muhammad SAW. bersabda, ”Orang yang cerdas adalah orang yang pandai menghisab dirinya di dunia dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya suka berharap kepada Allah tanpa melakukan apa-apa.” (HR Tirmidzi). Bagi Indonesia yang selama ini masih harus berbenah, menempatkan spiritualitas dalam berpolitik merupakan hal yang sangat diperlukan. Diharapkan begitu, para pemimpin bangsa akan melakukan tugasnya dengan baik. Tidak lagi mengikuti hawa nafsu belaka. Jika itu dilakukan, maka bangsa Indonesia akan segera keluar dari keterpurukan dan akan menjadi bangsa dan negara yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya. Wallahu a’lam bi al-shawab. *Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Semarang. Kendari Pos,10 November 2012 Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Baru saja, pemerintah kita menganugerahkan gelar pahlawan nasional untuk tokoh proklamator Soekarno-Hatta. Tentunya gelas pahlawan nasional ini tidak begitu saja disematkan, melainkan melalu proses verifikasi terlebih dahulu bagaimana kiprah seorang pahlawan itu sendiri sesuai dengan konteks zaman dan situasinya. Ya, di bulan November ini, ada agenda rutin yang mengingatkan kita pada peristiwa besar pada zaman dulu, yaitu melalui upacara bendera, tepatnya pada 10 November. Di setiap penjuru Indonesia, pemerintah dan masyarakat selalu menjadikan peringatan Hari Pahlawan sebagai pelecut semangat, yaitu dengan cara menyelenggarakan upacara dan mengheningkan cipta sejenak untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur dalam berperang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks ini, semangat kebangsaan dan spirit kepahlawanan harus mulai tumbuh. Definisi Pahlawan Berbicara tentang pahlawan, banyak sekali defenisi untuk menggambarkan apa dan siapa sosok pahlawan itu sesungguhnya. Banyak orang mengatakan bahwasanya pahlawan adalah orang yang berjuang untuk kepentingan orang lain. "Pahlawan" adalah sebuah kata benda. Secara etimologi kata "pahlawan" berasal dari bahasa Sanskerta "pahala", yang bermakna hasil atau buah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Tidak salah memang, namun sejatinya banyak hal lagi yang bisa kita lihat dari sosok seorang pahlawan. Pahlawan merupakan seseorang yang berpahala yang perbuatannya berhasil bagi kepentingan orang banyak. Perbuatannya memiliki pengaruh terhadap tingkah laku orang lain, karena dinilai mulia dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat bangsa atau umat manusia.Dalam bahasa Inggris pahlawan disebut "hero" yang diberi arti satu sosok legendaris dalam mitologi yang dikaruniai kekuatan yang luar biasa, keberanian dan kemampuan, serta diakui sebagai keturunan dewa. Pahlawan adalah sosok yang selalu membela kebenaran dan membela yang lemah. Ralph Waldo Emerson seorang guru besar dan pemimpin kelompok gagasan sastra dan filsafat, mengatakan bahwa: “A hero is no braver than an ordinary man. But he is braver five minute longer.” Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maksudnya adalah seorang pahlawan tidak berbeda dengan orang biasa. Namun, yang membedakannya dengan orang biasa adalah terletak pada keberanian seoarang pahlawan yang lebih tinggi daripada orang lainnya. Lahir Sesuai Konteks Seperti yang telah disinggung di atas, pahlawan lahir dalam konteks zaman maupunh situasi yang menunjukkan peran bagaimana pahlawan itu. Sebut saja, misalnya ketika perang sebelum kemerdekaan, muncul beberapa sosok pemberani yang memimpin peperangan, seperti Jenderal Soedirman, Ahmad Yani, Bung Tomo, dan Marsekal Adisucipto, dan lainnya. Selanjutnya dalam konteks zaman yang hampir sama, tetapi berbeda dalam konteks ruang, muncul sosok yang memperjuangkan kepentingan perempuan, bukan dengan berperang, yaitu Raden Adjeng Kartini. Yang kemudian dikenal sebagai pahlawan revolusi bagi kaum perempuan, karena memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki, dan lebih dikenal sebagai pejuang emansipasi. Setelah itu, ada lagi yang berbeda cara bagaiamana disematkan gelar pahlawan. Misalnya, W.R. Soepratman mendapat gelar pahlawan nasional karena lagu yang berjudul “Indonesia Raya” yang diperkenalkannya dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 menjadi lagu kebangsaan. Dari dua sosok tersebut, kita melihat bahwa kepahlawanan tak harus harus ditunjukkan melalui pengorbanan darah dan nyawa. Kemunculan pahlawan bisa karena perjuangan melalu ide, gagasan, cipta, sikap, karya yang sangat besar, dan lain sebagainya. Dalam konteks perkembangan bangsa ini, tentu banyak sekali sejarah yang memperlihatkan bagaimana seorang berjuang demi kepentingan orang banyak. Terus bagaimana jika kita mengidentifikasi dan mencari sosok pahlawan yang relevan dengan konteks zaman dan dinamika bangsa pada era tahun 2000 an ini? Mungkin banyak sekali yang berharap akan lahirnya pahlawan-pahlawan baru mengingat masalah yang begitu kompleks pada negeri ini. Namun, yang ingin diusulkan penulis adalah bagaimana pahlawan yang berjuang di ranah intelektual-pluralis? Slogan negara ini Bhineka Tunggal Ika, yang artinya meski berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Mengapa sampai muncul slogan seperti itu? Kondisi penduduk Indonesia yang beragam, mulai dari ras, agama, suku, budaya, atau adat, dan lain sebagainya, menjadikan slogan itu menjadi sangat penting.Namun, apakah slogan di atas sudah tidak dipakai lagi, atau tidak adanya pemimpin yang mampu menyatukan rakyatnya? Bangsa Ramah Menjadi Marah Berbagai kasus kekerasan yang terjadi dewasa ini membuat kita miris. Mengapa bangsa yang dikenal ramah, rukun, dan bertoleransi tinggi bisa berubah menjadi bangsa yang mudah sekali marah? Apakah nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh para pahlawan kita sudah mulai meluntur. Segunung pertanyaan muncul tiap kita menyaksikan kekerasan di negeri ini. Semua argumen di atas adalah bagaimana pentingnya kita memiliki sosok pahlawan pluralis. Dalam arti, sosok yang mampu mengayomi atau setidaknya membuat seluruh rakyat merasa menjadi satu ikatan. Dalam konteks bangsa yang rentan akan terjadinya tindak kekerasan, kita mengharapkan kehadiran sosok pahlawan yang mampu memperjuangkan nilai-nilai hidup bersama dalam keanekaragaman perbedaan. Salah satu yang menyebabkan terjadinya kekerasan demi kekerasan sesama rakyat Indonesia adalah banyaknya individu atau kelompok yang fanatik. Padahal, kebenaran hanya milik Tuhan yang maha Esa. Dan manusia hanya memiliki kebenaran yang relatif. Jikalau menyikapi keberagaman sebagai kelemahan, maka yang terjadi hanyalah masalah. Oleh karena itu, kita perlu berkontemplasi terlebih dahulu, baru bisa menyimpulkan bahwa keberagaman sesungguhnya adalah karunia sangat indah dari Tuhan. Pola pikir semacam ini bisa melihat perbedaan sebagai sebuah kekayaan. Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya dalam berbagai keberagaman. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. Pernah bersabda bahwa perbedaan pada umatku adalah rahmat. Jadi perbedaan sudah merupakan fitrah manusia sebagai mahkluk sosial. Namun, bepikir yang seperti itu tidak semua orang bisa memahaminya. Tentu butuh sosok yang kuat untuk membangun mind set bahwa keberagaman adalah rahmat dan membangun keyakinan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang luar biasa. Untuk saat ini, rasanya sulit menemukan sosok itu. Masih ingatkah dengan sosok yang sangat elegan, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Cak Nur (Nurcholis Madjid). Hampir semua orang mengenal kedua sosok itu. Mereka berdualah yang dipandang mempunyai pribadi yang sangat pluralis, baik dalam berhubungan dengan agama, suku, maupun dengan siapapun. Lewat karya-karyanya, meraka berani memberikan pernyataan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang indah. Dalam kontkes ini, harapan akan munculnya sosok yang intelektual-pluralis, yaitu sosok yang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas yang mampu dan berani bahwa perbedaan adalah sesuatu yang indah. Tentu dalam hal ini, keberanian dan kesiapan akan munculnya kelompok yang menentangnya sangat diperlukan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Gus Dur dan Cak Nur, ketika menyampaikan ideologi pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang selalu mendapat tantangan dari orang-orang yang menganggap dirinya paling benar. Yang terpenting adalah tekad kuat dari seorang tokoh itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab. *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Peraih Beasiswa Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang "Memang dalam Munas kemarin belum muncul nama yang akan diperjuangkan KAHMI untuk maju dalam Pilpres nanti, karena KAHMI akan fokus ke pengembangan konsep politik. Namun, pada akhirnya nanti harapan masyarakat indonesia (HMI) mendambakan Capres yang akan maju dalam Pilpres 2014 nanti adalah dari KAHMI". Dimuat di Radar Bangka pada Senin, 10 Desember 2012 I 11:55 WIB
Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) berkomitmen melahirkan tokoh nasional untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Keinginan ini menjadi wacana dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX yang telah dilaksanakan di Labersa Grand Hotel and Convention, Kampar, Riau, Jumat (30/11)-Sabtu (1/12) kemarin. HMI yang merupakan cikal bakal wadah ini berhasil melahirkan tokoh-tokoh nasional yang hadir pada acara malam tadi, termasuk beberapa bakal calon presiden yang akhir-akhir ini populer melalui beberapa survei. Sebut saja deretan kader berpotensi KAHMI mulai dari Ketua MK Mahfud MD, mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, Ketua KPU Pusat Husni Kamil Manik, penasihat KPK Abdullah Hehamahua, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan sederet nama tokoh nasional lainnya. (Riau Pos, 1 Desember 2012). Hal ini membuat KAHMI percaya diri bahwa pada Pilpres mendatang, korps alumni ini menjadi bagian penting dari percaturan politik nasional. Dan ini sangat sesuai dengan semangat tema yang diusung “Mewujudkan Kepemimpinan yang Berkarakter Menuju Indonesia Berkeadilan Sosial”, KAHMI menginginkan pemimpin nasional yang memiliki karakter yang kuat dan mampu memimpin Indonesia yang berkeadilan sosial. Memang dalam Munas kemarin belum muncul nama yang akan diperjuangkan KAHMI untuk maju dalam Pilpres nanti, karena KAHMI akan fokus ke pengembangan konsep politik. Namun, pada akhirnya nanti harapan masyarakat indonesia (HMI) mendambakan Capres yang akan maju dalam Pilpres 2014 nanti adalah dari KAHMI. Mahfud-JK Hal ini memang tidak berlebihan jika melihat survei terakhir yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI). Ya, berdasarkan opinion leader, Mahfud MD unggul dari calon lainnya dan diposisi dua Jusuf Kalla yang juga KAHMI. Bahkan, LSI mencatat dari total lima indikator yang disurvei, Mahfud unggul di empat kategori. Satu kategori lagi diambil oleh Jusuf Kalla. Kelima indikator yang disurvei; pertama, dari segi tidak melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) atau suap, Mahfud MD meraih 80 poin di atas Dahlan Iskan yang meraih 76 poin. Kedua, dari segi tidak melakukan tindak kriminal atau pelanggaran HAM, Mahfud MD meraih 83 poin unggul atas Dahlan Iskan dengan 79 poin. Ketiga, dari dua jenis kualitas yaitu jujur, amanah atau bisa dipercaya ia unggul 81 poin di atas Jusuf Kalla yang mendapatkan 77 poin. Keempat, dari segi mampu berdiri di atas semua kelompok atau golongan, Mahfud MD (78 poit) juga unggul atas Jusuf Kalla (77 poin). Dan hanya dari segi mampu memimpin negara dan pemerintahan, Jusuf Kalla memimpin dengan meraih 79 poin dan Mahfud MD setelahnya dengan 74 poin. Dari lima penilaian kualitas personal tersebut, totalnya Mahfud MD memimpin dengan meraih 79 poin, sedangkan Jusuf Kalla meraih 77 poin dan di susul Dahlan Iskan di posisi ketiga dengan 77 poin. (Republika, 28 November 2012). Memang, akhir-akhir ini wacana Mahfud MD untuk menjadi Capres pada Pemilu 2014 nanti semakin gencar saja. Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu disebut-sebut sebagai tokoh paling ideal memimpin bangsa ini pascakepemimpinan SBY. Opini ini memang tidak berlebihan, melihat track record-nya sebagai sosok yang memang bisa diandalkan. Apalagi di tengah krisis kepemimpinan yang melanda bangsa ini. Peluang Besar Hal ini membuat Mahfud mempunyai peluang besar untuk menjadi Capres pada Pemilu 2014. Namun, yang masih menjadi pertanyaan adalah Parpol manakah yang akan mengusung Mahfud? Dan akan berpasangan dengan siapakah ia nantinya? Inilah yang menjadi persoalan. Dari Parpol yang ada, peluang untuk jadi Capres tampaknya tertutup. Sebab, sebut saja Partai Golkar sudah jauh-jauh hari menetapkan Ical sebagai Capres. Kemudian, Partai Gerindra yang sudah membulatkan tekad untuk menjadikan Ketua Umumnya, Prabowo Subiyanto sebagai Capres. Ditambah lagi Hidayat Nur Wahid dari PKS dan PAN yang mengusung Hatta Rajasa sebagai Capres saat ini sedang mencari Cawapres. Itu artinya, peluang hanya terbuka pada posisi Cawapres saja. Padahal, dari tokoh-tokoh yang sudah positif dicalonkan oleh Partainya hanya Hidayat Nurwahid yang berada di posisi lima besar survei LSI. Padahal, menurut Siti Zuhro, pengamat politik LIPI, Calon-calon yang muncul tersebut akan membantu kebuntuan terjadinya regenerasi kepemimpinan di Indonesia. Sebab, survei yang dilakukan oleh LSI itu lebih mengedepankan kualitas tokoh, independensi, dan netralitas yang akan berdampak positif kepada kualitas Pemilu 2014. PKB Beri Peluang? Praktis, masih tersisa Partai Demokrat, PDIP, Partai Nasdem, PKB, PPP, dan PBB yang belum memutuskan siapa yang akan menjadi Capres pada Pilpres 2014 nanti. Mereka masih memilih-milih kandidat yang paling layak memimpin negeri ini. Berita terakhir yang menangkap peluang Mahfud MD sebagai Capres adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski, Ketua Umum PKB, Muhamin Iskandar telah berbicara dengan Rhoma Irama terkait dengan pencapresannya dan meyakini Rhoma adalah Capres PKB. (Wawasan, 3 Desember 2012). Namun, hal itu belum dibicarakan lebih lanjut di internal partai. Sebelumnya, PKB juga mengaku telah melakukan pembahasan terkait peluang partai berbasis Nahdatul Ulama (NU) itu untuk mengusung Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sebagai capres dalam Pemilu 2014 mendatang. (Okezone.com, 2 Desember 2012). Salah satu faktor utama yang menjadi pertimbangan PKB untuk mengusung Mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Gus Dur itu sebagai capres adalah karena selama ini Mahfud dikenal sebagai seorang figur yang bersih dan jauh dari isu kasus-kasus tertentu. Meskipun semenjak menjabat sebagai Ketua MK Mahfud telah melepaskan posisinya di PKB, tetapi kedekatan emosional dengan partai warga Nahdliyin itu, tidak bisa serta merta menghilang. Mahfud juga mengaku tidak terpisahkan dengan partai yang didirikan oleh Gus Dur tersebut. Sebab, jabatan publik yang dimiliki Mahfud adalah berkat PKB. Oleh karena itu, Parpol yang belum menetapkan Capres sekarang ini harus benar-benar menentukan Capres yang akan diusung bukan untuk kepentingan tertentu. Sebab, saat ini rakyat sudah tahu dan lebih cerdas dalam memilih figur yang akan memimpin mereka, tanpa memandang dari Parpol mana Calon itu diusung. Wallahu a’lam bi al-shawab.(**) *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang) Oleh: Mokhamad Abdul Aziz Dewasa ini Pemilu identik memang dengan politik uang. Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa money politic di Indonesia sekarang ini semakin membudaya. Setiap datang pemilihan umum (Pemilu) atau pemilukada, praktik yang termasuk dalam kategori pelanggaran pemilu dan pelakunya diancam sanksi ini kian jelas saja. Hampir menjadi rahasia umum, bahwa kebanyakan rakyat Indonesia telah “menyukai” praktik ini. Baik dari calon peserta pemilu, maupun masyarakat sudah mengenal money politic. Setelah pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan secara langsung, praktik politik uang menjadi semakin tak terhindarkan. Itu artinya, politik uang akan menjadi ancaman serius dalam Pemilu 2014 yang akan datang. Terlebih, pada Pemilu Gubernur (Pilgub) 2013 mendatang, praktik politik uang akan menjadi “senjata” ampuh bagi calon gubernur. Apalagi, persaingan antarpasangan di kubu partai saja terlihat semakin ketat saja. Sebut saja, persaingan di PDIP saat ini saja sudah menampilkan beberapa figur besar, di antaranya Rustiningsing, Don Murdono, Bibit Waluyo, dan tokoh-tokoh PDIP lain di lingkungan Jawa Tengah. Melihat persaingan di kubu satu partai saja sangat ketat, apalagi di Pilgub yang sesungguhnya nanti. Pasti akan sangat seru dan menegangkan untuk menunggunya. Rawan Politik Uang Dulu, money politic dilakukan pada dini hari sebelum pelaksanaan pemilu, yaitu ketika suasana masih fajar, sehingga sering dinamakan dengan istilah “serangan fajar”. Karena dulu masih ada rasa malu jika ketahuan lawan politik. Akan tetapi, sekarang praktik kotor ini sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, bahkan sudah membudaya. Hingga akhirnya, acara membagi-bagikan uang sebelum pemilu, dilakukan ketika matahari sudah menampakkan diri. Oleh Karena itu, Dr Mohammad Nasih, seorang pakar Ilmu Politik UI menyebutnya dengan istilah “serangan dhuha”. Karena praktik itu dijalankan pada waktu shalat dhuha, yaitu antara pukul 07.00 sampai sebelum waktu salat zuhur. Saat ini politik uang memang tidak bisa dikendalikan lagi. Biasanya, setiap calon atau kandidat agar bisa memenangkan pemilihan, maka mereka membentuk tim sukses yang terstuktur, mulai dari level pusat sampai level paling bawah. Tim sukses itu mempunyai tugas untuk mencari pemilih yang pragmatis, sehingga mereka bisa memberikan uang yang sudah disediakan para calon. Tidak hanya para calon saja yang berniat mempraktikkan money politic, tetapi masyarakat juga menganggap politik uang adalah hal yang sudah biasa terjadi. Bahkan, banyak dari masyarakat yang tidak mau menggunakan hak milihnya, karena belum mendapatkan uang dari calon. Seingga, mereka tidak mau datang ke TPS dan menunggu uang datang ke rumahnya. Kesempatan inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh tim sukses untuk bergerak mendatangi mereka. Dengan tawaran uang yang cukup menggiurkan, masyarakat tidak sadar jika mereka telah terlibat praktik yang melanggar aturan pemilu tersebut. Praktik money politic dilakukan dalam berbagai bentuk, bisa berupa uang, bahan makanan, pakaian, atau barang-barang yang lainnya. Uang dan bahan-bahan itu menjadi senjata ampuh untuk meruntuhkan mental budak masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak sadar jika mereka telah diperbudak oleh uang yang sifatnya hanya jangka pendek. Padahal, sesungguhnya masyarakat memiliki kemerdekaan untuk memilih pemimpin yang akan memimpin mereka sesuai hati nuraninya. Inilah yang seharusnya mulai disadari oleh rakyat Indonesia. Salah satu yang menyebabkan praktik politik uang semakin marak adalah terlibatnya pihak lain. Dalam kontoks ini, tak hanya kandidat yang maju dalam pemilu saja yang terlibat, tetapi ada para pengusaha yang membantu mendanai kandidat untuk memnangkan Pemilu. Para pengusaha mempunyai orientasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan itu bisa didapat jika kandidat yang dibantu itu menang. Para pengusaga akan mudah mendapatkan akses untuk meraih proyek-proyek pemerintah nantinya. Kedua belah pihak akan berkerja sama untuk mengambil uang negara untuk dibagi dua, yaitu lewat proyek-proyek. Selain membantu membiayai kandidat yang didukungnya saja. Mereka juga membantu memobilisasi para pemilih agar ikut mendukung calonnya. Dengan begitu peluang untuk memenangkan Pemilu sangat besar kemungkinannya. Tentu kerja sama ini tidak berhenti begitu saja, kerja sama ini akan berlanjut sampai kedua belah pihak mendapatkan keuntungan yang besar dari negara. Caranya, mereka akan memanfaatkan proyek-proyek yang sudah didesain sedemikian rupa, agar menguntungkan kedua pihak, dengan kata lain adalah “korupsi”. Semakin banyak proyek yang diajukan, maka semakin banyak juga korupsi yang dipraktikkan. Ini berlanjut terus-menerus sehingga membuat lingkaran setan. Perlu Fatwa Haram Politik uang Untuk itu, perlu dilakukan langkah konkrit untuk mengentikan praktik politik uang ini. Dalam kontek kekinian, perlu fatwa haram dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengenai praktik money politic ini. MUI yang selama ini selalu menjadi perhatian masyarakat dengan fatwa-fatwanya, pantas mengharamkan praktik politik kotor ini. Sebab, perbuatan ini bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga melibatkan masa depan bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, suatu bangsa jika menginginkan negaranya maju, maka diperlukan pemimpin yang bermental baik, sehingga bisa membuat kebijakan yang pas bagi bangsa kita. Sepeti telah dijelaskan di atas, mental para pemilih kita sebagian besar adalah mental budak, yaitu mental masyarakat inferior (terbelakang). Masyarakat diperbudak oleh calon yang menawarkan selembar uang saja, tentunya ini sangat memprihatinkan. Suara rakyat yang tadinya sangat berharga, akhirnya hanya dihargai dengan harga yang murah oleh para kandidat. Inilah yang mengubah istilah yang selama ini dieluh-eluhkan, yaitu “suara rakyat adalah suara Tuhan” (fox populi fox dei) menjadi “suara rakyat adalah suara setan” (fox populi fox terena). Oleh sebab itu, mendukung fatwa haram yang dikeluarkan oleh PBNU sangatlah tepat. Dengan demikian, kemungkinan politik uang akan sedikit terkurang. Hanya perlu keseriusan untuk mewujudkannya. Selain itu, dibutuhkan kerjasama dan sinergi antara pihak satu dengan lain, supaya menghasilkan suatu yang besar. Untuk melakukan semua itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, semua itu bisa terjadi jika diusahakan. Wallahu a’lam bi al-shawab. * Peraih Beasiswa Sekolah Politik Kebangsaan di Monash Institute Mantan Aktivis IPNU Kota Rembang (Dimuat di NU Online, 15 September 2012) "Dalam konteks perpolitikan Indonesia, umumnya calon yang menang akan larut dalam kemenangan dan cenderung menyepelekan yang kalah.Sebaliknya,calon yang kalah tidak mau menerima kekalahan dan enggan menyalami kepada sang pemenang. Tapi Jokowi-Foke berbeda. Keduanya akrab bagaikan sahabat lama yang sudah mengenal betul pribadi masing-masing. Keakraban Jokowi-Foke yang ditunjukkan secara terbuka kepada seluruh jajaran pemerintahan provinsi dan disaksikan warga Jakarta ini adalah poin penting bagi kesuksesan pembenahan Jakarta yang akan dilakukan Jokowi-Ahok". Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Pesta demokrasi rakyat jakarta telah diusai. Hasilnya pun telah diketahui. Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berhasil memenangkan duel politik pada Pilkada putaran kedua tersebut. Kemengangan Jokowi-Ahok ini sasngat fenomenal, mengingat mereka hanya didukung oleh dua Parpol, yakni PDIP dan Partai Gerinda. Padahal, rivalnya dalam putaran kedua, yaitu Foke-Nachrowi didukung oleh beberapa partai besar, seperti Partai Demokrat, Golkar, PKS, PKB, PPP, PAN, dan lainnya. Itulah sebab, banyak pengamat politik yang menganggap bahwa masyarakat Jakarta sekarang lebih cerdas dalam berdemokrasi. Tentu saja ini menjadi pelajaran berharga untuk daerah-daerah lainnya, agar dalam Pilkada nanti, pemilih lebih cerdas dan cermat dalam menggunakan suaranya. Artinya, jangan sampai hanya patuh dan manut pada partai saja, tanpa mengetahui kapasitas dari si calon. Dalam konteks Jawa Tengah, pemilihan gubernur (Pilgub) 2013 yang akan datang dipastikan akan sangat seru dan menarik. Sebab, penyaringan bakal calon (Balon) oleh masing-masing Parpol saat ini saja sudah begitu menghebohkan. Apalagi dalam pelaksaannya nanti. Namun, yang perlu diperhatikan adalah pemilih harus lebih dewasa dalam pesta demokrasi nanti. Memilih harus sesuai dengan hati nurani. Partai hanya sebagai fasilitator. Oleh karena itu, pada Pilkada DKI kemarin, Dr. Mohammad Nasih, seorang pakar ilmu politik UI berpendapat bahwa terdapat banyak “Pemilih Pembangkang” dalam Pilgub DKI. Sebab, antara partai yang mengusung berbanding terbalik dengan dukungan yang ada dalam masyarakat. Namun, bisa dikatakan itulah yang terbaik. Karena bagaimanapun, demokrasi saat ini harus lebih dinamis. Pemilih harus menunjukkan idealitasnya. Pelajaran Kedewasaan Demokrasi Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan gubernur terpilih Joko Widodo (Jokowi) memberi pelajaran berharga kepada seluruh warga Jakarta. Di akhir masa tugasnya, Fauzi Bowo yang akrab disapa Foke ini mengundang Jokowi dan wakil gubernur terpilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke Balai Kota. Foke mengenalkan penggantinya ini kepada seluruh pejabat dan staf pemerintah provinsi DKI dengan suasana yang hangat dan ramah. Sama sekali tidak terlihat sisa-sisa rivalitas yang tajam antara Jokowi-Foke seperti waktu kampanye menjelang pilkada putaran kedua. Jokowi-Foke menunjukkan sikap sebagai tokoh dan pemimpin yang patut menjadi contoh dalam kehidupan berdemokrasi. Dalam konteks perpolitikan Indonesia, umumnya calon yang menang akan larut dalam kemenangan dan cenderung menyepelekan yang kalah.Sebaliknya,calon yang kalah tidak mau menerima kekalahan dan enggan menyalami kepada sang pemenang. Tapi Jokowi-Foke berbeda.Keduanya akrab bagaikan sahabat lama yang sudah mengenal betul pribadi masing-masing. Keakraban Jokowi-Foke yang ditunjukkan secara terbuka kepada seluruh jajaran pemerintahan provinsi dan disaksikan warga Jakarta ini adalah poin penting bagi kesuksesan pembenahan Jakarta yang akan dilakukan Jokowi-Ahok. Karena bagaimanapun, Fauzi Bowo adalah birokrat tulen yang paham betul akan karakter masyarakat Jakarta. Dan bagaimanapun juga Jokowi sebagai gubernur terpilih adalah orang baru yang harus belajar dari orang yang sudah berpengalaman. Mantan Wali Kota Solo itu pun dengan tanpa canggung sudah menggandeng Foke sebagai mitra dalam membenahi Jakarta. Bagi Jokowi, dukungan dan restu Foke akan memperlancar dirinya memimpin Jakarta. Selain itu, akan menjadi semangat tersendiri bagi Jokowi-Ahok untuk memimpin Jakarta, karena restu dan dukungan dari gubenur sebelunya. Kultur baru yang dibangun Jokowi dan Foke ini bisa menjadi awal yang baik dalam kedewasaan berpolitik. Artinya, setajam apa pun persaingan dalam masa kontestasi pilkada, harus juga selesai ketika hasil resmi telah diumumkan. Saling memberi selamat, saling kunjung-mengunjungi, saling bersalaman dalam suasana penuh kebersamaan yang dipertontonkan Jokowi-Foke akan menebarkan energi positif warga Jakarta untuk bersama-sama memulai Jakarta baru. Jakarta yang harmonis, tertib, tertata, dan berwibawa sebagai wajah Indonesia bukanlah hal mustahil akan terwujud. Kebesaran hati menerima kekalahan dan kerendahan hati sang pemenang mengandung makna yang dalam bagi demokrasi. Kita berharap kebersamaan Jokowi-Foke tidak berhenti hanya sampai di situ. Keduanya harus intens berdialog untuk menuntaskan masalah-masalah Jakarta yang dikenal rumit dan kompleks. Kebersamaan sesama pemimpin akan menjadi contoh kepada anak buah dan warga yang mereka dipimpin. Sebab, perpecahan antarpemimpin nantinya juga akan ditiru anak buah dan menular kepada masyarakat yang mereka pimpin. Itu artinya, baik dan buruknya Jakarta ke depan terletak pada para pemimpinnya. Apa yang terjadi, jika budaya saling telikung, saling serang, serta saling sikut masih terus dipelihara di luar arena pertandingan politik. Jokowi-Foke sudah memberi teladan baik kepada kita bahwa pemimpin dan politikus itu hendaknya berhati negarawan. Negarawan tidak lagi memikirkan kepentingan pribadi. Ia hanya berpikir bagaimana yang terbaik untuk negaranya, dan apapun caranya akan dilakukan, meski harus mengorbankan kepentingan ia sendiri. Ketika kepentingan rakyat dan negara memanggil, tanggalkan kepentingan pribadi dan kelompok. Alangkah indahnya jika pada pilkada-pilkada berikutnya suasana kebersamaan yang ditunjukkan Jokowi-Foke ini bisa terbangun pula. Selain itu, sekali lagi daerah-daerah lain harus mencontoh Pilkada DKI, jika menginginkan demokrasi yang baik. Politik tidak harus selalu transaksional. Praktik politik uang tidak lagi menjadi cara untuk memenangkan Pemilu. Sebab, jika itu terjadi, maka sulit rasanya akan berkerja maksimal. Politik adalah pengabdian kepada rakyat tanpa pamrih. Kedengarannya klise,tapi Jokowi-Foke sudah memulai bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak sekadar basabasi. Itulah sosok pemimpin yang sesunggunhya. Sosok asketis yang ditunjukkan oleh Jokowi selama ini menambah indah sosok kepemimpinannya. Wallahu a’lam bi al-shawab. _________________________________ *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) IAIN Walisongo Semarang. (Dimuat di Solopos, 16 Oktober 2012) Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Menurut Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2011, Tentang Partai Politik, Partai Politik (Parpol) adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fungsi sejati partai politik adalah sebagai penyalur aspirasi masyarakat, pemberi pencerdasan, serta pengontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sigmund Neumann, memberikan definisi yang berbeda, yaitu Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham. Dari pengertian yang semacam inilah yang mengakibatkan Parpol bergeser fungsi dan tugasnya. Akibatnya, Partai politik hanya berorientasi kepada kekuasaan dan kedudukan, serta cenderung melupakan kepentingan rakyat. Partai politik yang semula berorientasi untuk mengurusi kepentingan rakyat, kemudian berubah hanya mengurusi kepentingan partai dan para pemegangnya. Inilah realitas Parpol yang ada saat ini. Orientasi kepada kekuasaan itu yang selanjutnya mengakibatkan Parpol “menghalalkan” segala cara untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Akibatnya, money politic menjadi cara yang paling ampuh untuk mempengaruhi masyarakat. Terlebih lagi, jika masyarakat itu adalah pemilih yang pragmatis, tentu kemungkinan berhasil dalam politik uang itu sangat besar. Beda lagi jika para pemilih itu mempunyai idealisme yang tinggi, tentunya mereka tidak akan pernah terpengaruh dengan politik uang. Sebagaimana yang ditulis Dr Mohammad Nasih (Seputar Indonesia, 20 April 2012), saat ini politik uang tidak hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi (“serangan fajar”), tetapi sudah dilakukan secara terang-terangan, Nasih menyebutnya “serangan dhuha”. Sebab, praktik itu dilakukan dalam waktu kira-kira antara pukul 07.00 sampai sebelum waktu salat zuhur yang merupakan waktu salat dhuha. Jika ini dibiarkan, maka kepentingan rakyat tidak lagi teradvokasi. Oleh karena itu, Partai politik seharusnya segera menyadari cara-cara itu sudah tidak relevan lagi dilakukan. Parpol harus benar-benar mengoptimalkan kembali fungsi dan peranannya sesuai dengan kepetingan rakyat dan Undang-undang yang berlaku. Sebab, jika cara-cara itu masih dilakukan, maka usaha untuk memperbaiki bangsa akan mustahil dilakukan. Selain itu, masyarakat sekarang ini sudah semakin cerdas, mereka bisa membedakan mana partai politik yang benar-benar membela kepentingan rakyat dan mana yang tidak. Jadi, Parpol harus mengembalikan fungsinya lagi. _______________________________________ *Mahasiswa KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) IAIN Walisongo Semarang, Perdana Menteri Monash Institute 2012. (Dimuat di Koran Online RIMA NEWS, 08 September 2012) |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |