Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* BELUM lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan bahwa ia lebih senang presiden di 2014 dari kalangan sipil. Alasannya sederhana: latar belakang militer mungkin mempunyai implikasi positif. Sebab, soal kepemimpinan, dari pangkat pertama sampai menempati posisi strategis, pasti sangat berpengaruh atas kepemimpinannya. Namun, harus diingat bahwa untuk menjadi presiden tidak hanya dibutuhkan kepemimpinan, tetapi juga kompetensi, integritas, komitmen, dan jaringan yang harus diolah untuk kualitas calon pemimpin yang ideal. Satu lagi hal yang sangat penting adalah spiritualitas seorang calon pemimpin. Menurut mantan Kepala Staf Umum TNI, Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy, yang juga pengurus Partai Demokrat, capres setidaknya harus memenuhi lima syarat: konsepsi, kompetensi, komitmen, kepemimpinan, dan kekuatan jaringan jika ingin menjadi pemimpin di era modern.
Pernyataan SBY ini bertentangan dengan pendapat Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj beberapa waktu lalu. Menurutnya, capres ideal untuk periode 2014-2019 adalah dari kalangan TNI. Pernyataan itu seolah-olah menutup peluang kalangan sipil yang ingin memimpin negeri ini. Namun, ia juga berpendapat, jika dari kalangan sipil, capres harus memiliki ketegasan atau prinsip. Atau disebut dengan sipil yang berjiwa TNI. Sebenarnya, apa pun backround-nya, yang terpenting adalah kapasistasnya dalam mengatur negara. Dalam konteks ini, kecakapan dan kredibilitas seorang figurlah yang dipertaruhkan. Maka, pendikotomian antara capres militer-sipil tidak penting dan harus ditiadakan. Perdebatan tentang presiden dari militer atau sipil memang telah sejak lama ada. Sejarah mencatat, presiden pertama dan wakilnya, Soekarno-Hatta, dari kalangan sipil. Barulah pada era Soeharto, semua tataran kepemimpinan diubah: mulai dari kepala desa hingga pegawai di pemerintahan pusat harus berasal dari TNI. Selanjutnya, BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati adalah presiden sipil yang begantian memimpin negeri ini. Sampai akhirnya, SBY pada Pemilu 2004 terpilih menjadi presiden yang berlatarbelakang militer. Potensial Menang? Melihat realitas saat ini, sebenarnya capres sipil mempunyai peluang lebih besar untuk menjadi presiden pada Pilpres 2014 mendatang. Agaknya, publik telah merasa cukup dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang notabene berlatar militer. Publik sudah merasakan bagaimana kinerja pemerintahan SBY yang menjabat presiden selama dua periode (2004-2009 dan 2009-2014). Memang pada periode pertama, SBY disukai oleh publik dengan terpilihnya kembali ia sebagai presiden. Namun, karena berbagai persoalan yang muncul akhir-akhir ini dan tak kunjung selesai-sebut saja korupsi yang kian menggurita, kemiskinan yang belum terentaskan, pendidikan yang semakin kalang kabut, hukum yang tidak berkeadilan, dan sebagainya--, kini keraguan publik pada “kepemimpinan‘ militer tak bisa disembunyikan. Kembali pada masa awal kemerdekaan, para pejabat negara, mulai dari presiden, wakil presiden, sampai anggota parlemen, adalah tokoh-tokoh sipil. Soekarno-Hatta, Sjahrir, M Natsir dan Moh Roem adalah bukti sejarah ketangguhan kalangan sipil dalam memimpin negara. Masa itu, sipil dipandang lebih cakap dan kredibel. Begitu juga pada era globalisasi kini, negeri ini sangat membutuhkan karakter kepemimpinan yang egaliter, mementingkan dialog, berpihak pada kepentingan rakyat, dan tegas menegakkan hukum. Jajak Pendapat Kompas beberapa waktu lalu di sejumlah kota mengungkapkan preferensi 703 responden atas sosok kepemimpinan nasional pada masa mendatang. Lebih dari separuh bagian responden menyatakan: lebih memilih kalangan sipil daripada sosok berlatar belakang militer untuk menjadi presiden. Hanya sepertiga bagian responden yang memilih tokoh militer sebagai presiden. (Kompas, 8/10/2012). Hasil jajak pendapat tersebut bertolak belakang dengan hasil pengumpulan pendapat yang dilakukan Litbang Kompas setahun lalu. Dalam jajak pendapat saat itu, publik berpendapat kalangan sipil belum mampu menggantikan kepemimpinan militer dalam berbagai jabatan publik yang strategis, termasuk Presiden. (Kompas, 3/10/2011). Itu berarti, selera dan harapan rakyat pada pilpres mendatang telah berubah, dari kalangan militer ke arah pemimpin sipil. Pergeseran ini berkaitan dengan sejumlah contoh dari pemimpin sipil yang berhasil memikat hati masyarakat. Meski hanya segelintir tokoh sipil yang menyeruak di tengah catatan negatif banyaknya pejabat di berbagai lembaga negara yang terjerat kasus korupsi, setidaknya ada harapan besar yang dapat dipikulkan ke pundak mereka. Terbebih, setelah Jokowi-Basuki terpilih sebagai pasangan gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, kepemimpinan sipil dapat dijadikan contoh. Karakter kepemimpinan pasangan sipil ini bisa dijadikan kriteria karakter kepemimpinan nasional di masa depan. Hal ini tentu saja memberikan peluang sangat besar bagi tokoh-tokoh sipil seperti Mahfudh MD (jika Demokrat meminangnya), Aburizal Bakrie (capres Partai Golkar), Hatta Rajasa (PAN), dan figur-figur lain semisal Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Megawati, dan lain sebagainya untuk menjadi presiden. Bahkan, mungkin ada tokoh sipil lain yang lebih pantas, namun kini belum menyembul ke permukaan. Tak tertutup kemungkinan, para politisi muda juga berpeluang dipilih rakyat dalam Pesta Demokrasi 2014 nanti. Sosok Anas Urbaningrum pun bukan tidak mungkin berpotensi untuk maju, karena para loyalis Anas di Demokrat sampai saat ini masih tetap mendukung, meski posisinya kini terbelit kasus hukum. Namun, capres dari kalangan militer juga tidak boleh “dikucilkan‘. Sosok Prabowo Subiyanto dan Wiranto mungkin juga memiliki peluang sama. Sebab, yang diperlukan Indonesia kini adalah sosok pemimpin yang tegas dan punya prinsip. Logika sederhananya: jika seorang pemimpin tidak tegas, bangsa ini dikhawatirkan akan mudah tergerus arus globalisasi yang kian kejam dan keras. Efeknya tentu akan meliputi seluruh sektor kehidupan: agama, ekonomi, budaya dan lainnya. Dan jika tidak punya prinsip, maka bangsa ini bisa kehilangan arah dan jati diri. Pemimpin lemah dapat memunculkan kebijakan ngawur. Itu artinya, tokoh yang akan maju sebagai capres 2014, baik dari kalangan militer maupun sipil, harus punya prinsip untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia. Jadi, tak perlu lagi ada dikotomi sipil-militer. *Peneliti di Monash Institute, Semarang Dimuat di Jurnal Nasional | Kamis, 16 May 2013 Read More: http://www.jurnas.com/halaman/6/2013-05-16/246503
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |