Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Keputusan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengambil alih semua tugas Anas selaku ketua umum tampaknya belum mengakhiri prahara di tubuh partai berlambang bintang mercy itu. Tak hanya itu, implikasi dari “pemecatan” Anas juga menambah kian terpuruknya para politisi muda di pentas perpolitikan Indonesia. Para politisi muda yang seharusnya mempunyai peran besar untuk menghasilkan kebijakan publik yang revolusioner, kini terlihat tak berdaya di kursi kekuasaan. Gagasan-gagasan progresif yang dimiliki politisi muda pun harus dikubur hidup-hidup. Dalam konteks Anas, meski ia didukung banyak kader Partai Demokrat, tetapi ketika SBY turun tangan, Anas cenderung tak bisa berbuat banyak dan harus menerima keputusan itu. Itu artinya, peran politisi “tua” masih sangat mendominasi dalam menentukan kemana partai harus berjalan. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia, justru melibatkan politisi muda. Sebut saja, Andi Mallarangeng (Demokrat) yang menjadi tersangka kasus Hambalang, Wa Ode Nur Hayati (PAN) dan Anggelina Sondakh (Demokrat) yang telah divonis bersalah dalam kasus korupsi dan masih banyak lagi. Jika ditelisik lebih dalam, tampaknya politisi muda maupun tua terjebak ke dalam dua blok, yaitu blok koalisi pemerintah dan oposisi. Bisa dikatakan, politisi muda dan tua mempunyai pandangan politik yang “seragam”, yaitu berdasarkan partai dimana mereka bertempat. Keseragaman itu selalu berjalan mulus, tanpa ada perlawanan dari politisi muda, meski mereka dalam hati tidak sesuai dengan keseragaman itu. Ketakutan akan “dimusuhi” kawan di partai, bisa jadi alasan mereka kehilangan idealitasnya. Mati Suri Kini politisi muda bisa dikatakan mati suri. Di DPR pun, politisi muda belum menunjukkan peran yang signifikan. Ada beberapa hal yang menyebabkan mereka tidak berdaya dalam konteks politik Indonesia. Pertama, politisi muda “dikuasai” oleh politisi tua. Mereka berada dalam bayang-bayang semu politisi tua. Keinginan untuk terus berkuasa, tampaknya menjadi faktor politisi tua untuk selalu mendesak politisi muda agar selalu menjadi pengekor. Menurut Dr. Mohammad Nasih, seorang pakar ilmu politik Universitas Indonesia (UI), bahwa politik Indonesia sangat kental dengan budaya “patron-klien”. Dengan kata lain, kaum tua ingin mempertahankan kekuasaan dengan cara merekrut anak-anak muda yang mau menopang kepentingan mereka, sehingga mereka bisa terus berkuasa. Keinginan kaum tua ini sangat compatible dengan politisi muda yang ingin cepat memperoleh kekuasaan secara instan, dengan memposisikan diri sebagai “kader jenggot”. Politisi-politisi yang memposisikan sebagai “kader jenggot” ini biasanya dalam Pemilu legislatif mendapatkan nomor urut awal, sebagai Caleg dari Parpol yang mengusungnya. Sebab, Caleg yang mendapatkan nomor awal biasanya lebih dekat hubungannya dengan senior-seniornya di Parpol. Sehingga, hampir bisa dipastikan kader yang terpilih nanti adalah kader-kader yang mau tidak mau harus “seragam” pandangan politiknya dengan senior-seniornya. Hal ini sangat berpengaruh sekali dalam pembuatan kebijakan publik. Sebab, rakyat Indonesia selama ini masih sangat tertarik dengan nomor urut Caleg awal, karena dinilai lebih mempunyai kemampuan yang lebih baik setelah partai politik menentukan nomor urut. Padahal, bisa jadi Caleg yang mempunyai nomor urut buncit merupakan kader yang idealis dan berani. Kader idealis ini memang agak susah bila diajak “patron-Klien” oleh politisi tua. Memang ada kader dengan nomor buncit yang menang dalam Pemilu, tak jumlahnya tak banyak, sehingga dalam menjalankan tugas politik mereka biasanya kalah dalam menentukan produk kebijakan. Meski tidak ikut korup, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan politisi, mereka cenderung pasif. Kedua, kebanyakan politisi muda terjebak dalam gaya hidup hedonistis. Gaya hidup yang cenderung bermewah-mewahan ini didukung oleh paradigma materialistik yang memang telah meracuni negeri ini. Mereka umumnya menganggap dirinya sebagai pejabat, sehingga jabatan yang dimilikinya harus digunakan sebaik-baiknya untuk memperkaya diri. Sebab, kesuksesan mereka tidak lagi diukur dengan produk kebijakan yang progresif, tetapi seberapa banyak materi yang didapat dari kekuasaan yang dimilikinya. Karena paradigma mereka menganggap bahwa dengan kekuasaan lah yang akan membuat kaya, maka bagaimanpun dan apapun cara itu akan mereka lakukan. Oleh sebab itu, biasanya politik uang menjadi solusi terbaik. Inilah yang menjadi akar pembuatan kebijakan tidak lagi berpihak pada rakyat. Sebab, uang-uang yang digunakan dalam praktik money politic kebanyakan berasal pengusaha-pengusaha, dengan cara menerapkan praktik perjudian. Artinya, pengusaha itu akan memodali para Caleg agar bisa memenangkan Pemilu. Dengan begitu, ketika Caleg itu berhasil duduk di kursi kekuasaan, maka kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan didesain agar menguntungkan pihak-pihak pengusaha yang telah memberikan modal pada Pemilu. Sehingga, ini akan menjadi lingkaran setan penghambat perbaikan. Keberadaan politisi muda dalam usaha memperbaiki keadaan bangsa sangat diperlukan. Sebab, generasi muda lah yang lebih paham akan kebutuhan bangsa di zaman yang jelas berbeda dengan zaman yang dipahami oleh politisi tua. Agar menghasilkan politisi muda yang mempunyai pemikiran dan pandangan yang progresif, maka harus dilakukan proses perkaderan yang akseleratif. Sehingga, akan terlahir kader-kader yang idealis, berpikir progresif, bahkan mempunyai jiwa entrepreneurship. Dengan demikian, politisi-politisi muda akan menjadi pejuang yang mandiri dan tidak bergantung pada pengusaha-pengusaha jahat yang menginginkan uangnya lebih banyak. Selain itu, politisi muda yang idealis tidak hanya akan membebek pada politisi tua yang pandangan politiknya mungkin masih “kuno”. Artinya, mereka mungkin menganggap keadaan bangsa Indonesia masih seperti pada tahun 1800 an. Harapan yang tertanggal pada politisi muda merupakan peran yang harus mereka jalankan dengan sungguh-sungguh, sehingga terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT akan segera tercapai. Dengan “disisihkannya” Anas, semoga menjadi pemacu kader muda lain untuk lebih serius berjuang bagi bangsa dan negara. Wallahu a’lam bi al-shawab. Dimuat di Radar Bangka, 23 Februari 2013 Read more: http://www.radarbangka.co.id/rubrik/detail/persepktif/8296/politisi-muda-tak-berdaya.html *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Penerima Beasiswa Unggulan Monash Institute untuk IAIN Walisongo.
2 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |