"Dalam konteks perpolitikan Indonesia, umumnya calon yang menang akan larut dalam kemenangan dan cenderung menyepelekan yang kalah.Sebaliknya,calon yang kalah tidak mau menerima kekalahan dan enggan menyalami kepada sang pemenang. Tapi Jokowi-Foke berbeda. Keduanya akrab bagaikan sahabat lama yang sudah mengenal betul pribadi masing-masing. Keakraban Jokowi-Foke yang ditunjukkan secara terbuka kepada seluruh jajaran pemerintahan provinsi dan disaksikan warga Jakarta ini adalah poin penting bagi kesuksesan pembenahan Jakarta yang akan dilakukan Jokowi-Ahok". Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Pesta demokrasi rakyat jakarta telah diusai. Hasilnya pun telah diketahui. Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berhasil memenangkan duel politik pada Pilkada putaran kedua tersebut. Kemengangan Jokowi-Ahok ini sasngat fenomenal, mengingat mereka hanya didukung oleh dua Parpol, yakni PDIP dan Partai Gerinda. Padahal, rivalnya dalam putaran kedua, yaitu Foke-Nachrowi didukung oleh beberapa partai besar, seperti Partai Demokrat, Golkar, PKS, PKB, PPP, PAN, dan lainnya. Itulah sebab, banyak pengamat politik yang menganggap bahwa masyarakat Jakarta sekarang lebih cerdas dalam berdemokrasi. Tentu saja ini menjadi pelajaran berharga untuk daerah-daerah lainnya, agar dalam Pilkada nanti, pemilih lebih cerdas dan cermat dalam menggunakan suaranya. Artinya, jangan sampai hanya patuh dan manut pada partai saja, tanpa mengetahui kapasitas dari si calon. Dalam konteks Jawa Tengah, pemilihan gubernur (Pilgub) 2013 yang akan datang dipastikan akan sangat seru dan menarik. Sebab, penyaringan bakal calon (Balon) oleh masing-masing Parpol saat ini saja sudah begitu menghebohkan. Apalagi dalam pelaksaannya nanti. Namun, yang perlu diperhatikan adalah pemilih harus lebih dewasa dalam pesta demokrasi nanti. Memilih harus sesuai dengan hati nurani. Partai hanya sebagai fasilitator. Oleh karena itu, pada Pilkada DKI kemarin, Dr. Mohammad Nasih, seorang pakar ilmu politik UI berpendapat bahwa terdapat banyak “Pemilih Pembangkang” dalam Pilgub DKI. Sebab, antara partai yang mengusung berbanding terbalik dengan dukungan yang ada dalam masyarakat. Namun, bisa dikatakan itulah yang terbaik. Karena bagaimanapun, demokrasi saat ini harus lebih dinamis. Pemilih harus menunjukkan idealitasnya. Pelajaran Kedewasaan Demokrasi Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan gubernur terpilih Joko Widodo (Jokowi) memberi pelajaran berharga kepada seluruh warga Jakarta. Di akhir masa tugasnya, Fauzi Bowo yang akrab disapa Foke ini mengundang Jokowi dan wakil gubernur terpilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke Balai Kota. Foke mengenalkan penggantinya ini kepada seluruh pejabat dan staf pemerintah provinsi DKI dengan suasana yang hangat dan ramah. Sama sekali tidak terlihat sisa-sisa rivalitas yang tajam antara Jokowi-Foke seperti waktu kampanye menjelang pilkada putaran kedua. Jokowi-Foke menunjukkan sikap sebagai tokoh dan pemimpin yang patut menjadi contoh dalam kehidupan berdemokrasi. Dalam konteks perpolitikan Indonesia, umumnya calon yang menang akan larut dalam kemenangan dan cenderung menyepelekan yang kalah.Sebaliknya,calon yang kalah tidak mau menerima kekalahan dan enggan menyalami kepada sang pemenang. Tapi Jokowi-Foke berbeda.Keduanya akrab bagaikan sahabat lama yang sudah mengenal betul pribadi masing-masing. Keakraban Jokowi-Foke yang ditunjukkan secara terbuka kepada seluruh jajaran pemerintahan provinsi dan disaksikan warga Jakarta ini adalah poin penting bagi kesuksesan pembenahan Jakarta yang akan dilakukan Jokowi-Ahok. Karena bagaimanapun, Fauzi Bowo adalah birokrat tulen yang paham betul akan karakter masyarakat Jakarta. Dan bagaimanapun juga Jokowi sebagai gubernur terpilih adalah orang baru yang harus belajar dari orang yang sudah berpengalaman. Mantan Wali Kota Solo itu pun dengan tanpa canggung sudah menggandeng Foke sebagai mitra dalam membenahi Jakarta. Bagi Jokowi, dukungan dan restu Foke akan memperlancar dirinya memimpin Jakarta. Selain itu, akan menjadi semangat tersendiri bagi Jokowi-Ahok untuk memimpin Jakarta, karena restu dan dukungan dari gubenur sebelunya. Kultur baru yang dibangun Jokowi dan Foke ini bisa menjadi awal yang baik dalam kedewasaan berpolitik. Artinya, setajam apa pun persaingan dalam masa kontestasi pilkada, harus juga selesai ketika hasil resmi telah diumumkan. Saling memberi selamat, saling kunjung-mengunjungi, saling bersalaman dalam suasana penuh kebersamaan yang dipertontonkan Jokowi-Foke akan menebarkan energi positif warga Jakarta untuk bersama-sama memulai Jakarta baru. Jakarta yang harmonis, tertib, tertata, dan berwibawa sebagai wajah Indonesia bukanlah hal mustahil akan terwujud. Kebesaran hati menerima kekalahan dan kerendahan hati sang pemenang mengandung makna yang dalam bagi demokrasi. Kita berharap kebersamaan Jokowi-Foke tidak berhenti hanya sampai di situ. Keduanya harus intens berdialog untuk menuntaskan masalah-masalah Jakarta yang dikenal rumit dan kompleks. Kebersamaan sesama pemimpin akan menjadi contoh kepada anak buah dan warga yang mereka dipimpin. Sebab, perpecahan antarpemimpin nantinya juga akan ditiru anak buah dan menular kepada masyarakat yang mereka pimpin. Itu artinya, baik dan buruknya Jakarta ke depan terletak pada para pemimpinnya. Apa yang terjadi, jika budaya saling telikung, saling serang, serta saling sikut masih terus dipelihara di luar arena pertandingan politik. Jokowi-Foke sudah memberi teladan baik kepada kita bahwa pemimpin dan politikus itu hendaknya berhati negarawan. Negarawan tidak lagi memikirkan kepentingan pribadi. Ia hanya berpikir bagaimana yang terbaik untuk negaranya, dan apapun caranya akan dilakukan, meski harus mengorbankan kepentingan ia sendiri. Ketika kepentingan rakyat dan negara memanggil, tanggalkan kepentingan pribadi dan kelompok. Alangkah indahnya jika pada pilkada-pilkada berikutnya suasana kebersamaan yang ditunjukkan Jokowi-Foke ini bisa terbangun pula. Selain itu, sekali lagi daerah-daerah lain harus mencontoh Pilkada DKI, jika menginginkan demokrasi yang baik. Politik tidak harus selalu transaksional. Praktik politik uang tidak lagi menjadi cara untuk memenangkan Pemilu. Sebab, jika itu terjadi, maka sulit rasanya akan berkerja maksimal. Politik adalah pengabdian kepada rakyat tanpa pamrih. Kedengarannya klise,tapi Jokowi-Foke sudah memulai bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak sekadar basabasi. Itulah sosok pemimpin yang sesunggunhya. Sosok asketis yang ditunjukkan oleh Jokowi selama ini menambah indah sosok kepemimpinannya. Wallahu a’lam bi al-shawab. _________________________________ *Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, Aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) IAIN Walisongo Semarang. (Dimuat di Solopos, 16 Oktober 2012)
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |