MOKHAMAD ABDUL AZIZ Politik dinasti kembali booming meramaikan kamus perpolitikan Indonesia. Lahirnya terminologi politik dinasti di negeri demokrasi tentu menjadi sebuah paradoks tersendiri. Sebab, di tengah demokratisasi yang dijunjung tinggi, justru muncul dinasti yang ada di alam kerajaan. Padahal, demokrasi membuka pintu bagi banyak orang untuk tidak hanya memiliki hak pilih, tetapi juga merasa punya hak untuk dipilih menjadi pemimpin. Politik dinasti adalah salah satu bentuk anomali demokrasi.
Diakui atau tidak, terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada Konggres Luar Biasa (KLB) Bali, akhir pekan lalu sangat mencederai demokrasi. Bagaimana tidak, SBY yang juga merupakan Presiden Indonesia itu tidak hanya menjadi ketua umum di Partai Demokrat. Namun, ada empat jabatan sekaligus yang diemban secara individu oleh SBY. Pendiri Partai Demokrat itu memegang kendali di DPP (ketua umum), serta masih menjadi ketua Majelis Tinggi Partai (MTP), Ketua Dewan Pembina (Wanbin), dan Ketua Dewan Kehormatan. Tidak berhenti pada sosok SBY, putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab dipanggil Ibas juga masih dipertahankan menduduki jabatan sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) partai berlambang bintang mercy itu. Sebelum SBY dipilih pada KLB akhir pekan kemarin, nama Ibu Ani Yudhoyono juga sempat muncul menjadi calon ketua umum PD. Berkenaan dengan itu, SBY menegaskan ketua umum tidak akan dipegang oleh keluarganya, baik dirinya sendiri, Ani, dan Ibas. Namun, SBY akhirnya justru menjilat ludahnya sendiri. Upaya dinastisasi itu telah tampak jelas di hadapan publik. Bahkan, ada upaya menghalang-halangi kader partai yang bukan dari Cikeas ketika ingin mencalonkan diri sebagai ketua umum. Tridianto, mantan Ketua DPC Cilacap tidak diperkenankan masuk arena kongres. Itu artinya, SBY sukses melakukan dinastisasi dalam partai yang mengantarkannya menjadi presiden itu. Oleh karena itu, politik sebagaimana yang dilakukan SBY akan sangat merusak demokrasi, karena berpotensi menutup ruang bagi semua warga untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks ini, dinasti Cikeas menjadi ancaman tersendiri bagi demokrasi dalam Partai Demokrat. SBY dan keluarganya mempunyai semangat ingin melanggengkan kekuasaan di bawah sanak famili atau kerabatnya. Meski senantiasa mengatasnamakan demokrasi karena lahir di era yang relatif lebih demokratis, para pelaku politik dinasti sesungguhnya merupakan penumpang gelap yang kemudian membajak demokrasi. Tak ada orientasi untuk memperbaiki keadaan yang ada di daerah ataupu dalam konteks bangsa, tetapi hanya kekuasaan, kekuasaan, dan kekuasaan. Sebab, dengan kekuasaan itu, mereka akan mengumpulkan kekayaan yang sebesar-besarnya untuk memakmurkan keluarga dan kelompok mereka, bukan untuk negara dan rakyatnya. Secara positif, “conflic interest” terhadap sesama aparatur partai atau pemerintah dapat ditekan, karena sama-sama berasal dari satu keluarga atau kerabat. Maka, permasalahan yang ada akan dapat lebih mudah ditekan dan dapat diselesaikan lebih cepat. Namun, negatif adalah praktik politik dinasti ini, disadari atau tidak, menutup kesempatan bagi kader-kader muda non-kerabat ikut berpartisipasi aktif dalam dunia perpolitikan; memberikan kesempatan yang sangat minim bagi anggota masyarakat umum untuk menjadi partisipan yang aktif, sehingga aktor politik menjadi statis; hanya dari kalangan tertentu saja. Negeri Demokrasi Politik dinasti di negeri demokrasi memang menjadi hal yang sangat dilematis. Dengan pengaruh keluarga yang sedang berkuasa, kompetisi dalam pemilu pun menjadi tidak sehat. Itu artinya politik dinasti hanya membuat demokrasi sakit, lama-kelamaan sekarat, dan akhirnya mati karena kembali ke zaman kerajaan. Itulah sebabnya pelakon politik dinasti disebut penumpang gelap yang membajak demokrasi. Di satu sisi mereka yang menerapkan politik dinasti, merasa punya hak untuk dipilih, karena kebebasan sebagai rakyat. Tetapi di sisi lain, mereka sesungguhnya mengurangi, bahkan mengebiri hak politik dan kesempatan orang lain untuk dipilih. Demokrasi hanya sebagai nama yang menutupi sistem kerajaan yang dianggap sudah kuno. Padahal, sebenarnya itu lebih gila jika dibandingkan dengan sistem yang benar-benar kerajaan. Sebab, ketika kekuasaan dan kekayaan terpusat pada satu keluarga, pada saat itulah demokrasi menemui ajalnya. Bukankah demokrasi semestinya menghasilkan distribusi kekuasaan politik, sosial, dan ekonomi secara adil bagi masyarakat? Inilah yang menyebabkan munculnya kecurangan dan pelanggaran politik dalam Pemilu atau Pemilukada. Tak hanya itu, menurut Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Saleh P. Daulay, politik dinasti yang ditunjukkan sejumlah partai politik adalah salah satu penghambat tampilnya figur muda sebagai pemimpin nasional. Parpol saat ini masih menerapkan politik dinasti. Figur-figur muda yang bisa tampil baru anggota keluarga dari pemimpin-pemimpin parpol. Karena politik dinasti, figur-figur muda di luar keluarga pemimpin partai hanya menduduki posisi kurang strategis sehingga kemampuan figur muda menjadi kurang teruji. Ia juga mencontohkan Eddie Baskoro dari Partai Demokrat dan Puan Maharani dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang anak dari pemimpin partai sebagai contoh politik dinasti di tubuh partai yang mengancam kader lain yang tidak kalah secara kualiatas. Melihat fakta yang seperti itu, Kementerian Dalam Negeri kini melakukan terobosan dengan menyusun draf Rancangan Undang-Undang Pemilukada yang tak berpihak pada politik dinasti. Namun, sebagai warga negara yang menginginkan demokrasi yang adil dan beradab, maka tak ada salahnya semua diatur, seperti pemerintahan pusat, partai politik dan lain sebagainya, bukan hanya Pemilukada saja yang diatur. Kita menginginkan UU yang sangat menjujung tinggi demokrasi dan keadilan. Dengan kata lain, UU yang dikehendaki adalah memberi hak politik yang lebih luas dan adil kepada lebih banyak warga negara untuk dipilih dalam demokrasi. Wallahu a’lam bi al-shawab. Dimuat di Haluan Padang, Jumat, 05 April 2013 01:25 Read More: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=22418:ironi-dinasti-di-negeri-demokrasi&catid=11:opini&Itemid=187
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
October 2013
Categories |