Oleh: Mokhamad Abdul Aziz* Setelah melalui perdebatan panjang dalam sidang Itsbat untuk menetapkan awal puasa 1433 H, akhirnya menteri Agama, Suryadharma Ali menetapkan bahwa Sabtu, 21 Juli 2012 menjadi permulaan bulan Ramadlan. Keputusanini diambil setelah hasil dari laporan beberapa Kanwil Agama di seluruh Indonesia tidak melihat hilal.Dihadiri para tokoh agama Islam dan Ormas-Ormas Islam dan beberapa Duta Besar negara sahabat yang tergabung OKI, suasana sidang malam itu sungguh riuh sekali.Masing-masing peserta sidang saling berargumentasi kalau pendapatnya yang paling benar. Seperti biasanya, Lagi-lagi mereka memperdebatkan metode hisab atau rukyat yang paling pas untuk menentukan awal puasa Ramadlan. Masyarakat pun dibuat ikut terlarut dalam suasana tegang sidang itu. Namun, ditengah perdebatan yang tidak bisa dihindarkan itu, ada salah satu jamaah yang telah melaksanakan ibadah puasa mulai kamis lalu. Sedangkan, salah satu Ormas Islam, Muhammadiyah tidak sepakat dengan putusan bahwa awal puasa jatuh pada hari Sabtu. Sebab, berdasarkan metode hisab yang telah dilakukan, mereka mempercayai bahwa Ramadlan jatuh pada Jum’at, 20 Juli 2012. Dalam konteks ini, Muhammadiyah telah menemukan metode yang dianggap bisa dipertanggung jawabkan. Metode ini berkembang setelah kemajuan pesat Ilmu Astronomi. Karena dengan Ilmu Astronomi itu, posisi bulan dan bumi bisa dihitung dengan pasti. Dalam konteks ini, Islam kalah satu langkah dengan agama Kristen. Berbeda dengan Islam yang selalu berdebat menentukan awal bulan Ramadlan atau bulan Syawal, Kristen sudah menemukan metode yang menetapkan hari raya Natal setiap tanggal 25 Desember dengan pasti. Tentu tidak pernah kita jumpai umat Kristen merayakan Natal di hari yang berbeda. Terlepas dari itu, Seharusnya Islam bisa juga menetapkan hari-hari besarnya dengan metode yang pasti. Melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, tampaknya hal itu tidak sulit untuk dilakukan. Tinggal bagaimana memanfaatkan sumber daya manusia yang ada. Seperti yang telah dilakukan diberbagai peguruan tinggi Islam di Indonesia, sebut saja IAIN Walisongo Semarang yang mempunyai program beasiswa Ilmu Falaq dari Departemen Agama (Depag). Dalam hal ini, sebenarnya Depag telah mempunyai inisiatif untuk mempunyai metode yang valid dalam menentukan hari-hari besar Islam, seperti penentuan awal puasa. Menerima Perbedaan Namun, terlepas dari belum ditemukannya metode yang tepat untuk menentukan awal puasa atau pun hari raya Idul Fitri, memang sudah saatnya umat Islam bersatu. Perbedaan pendapat yang mengarah pada perpecahan umat Islam harus bisa diterima dengan hati. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Perbedaan dikalangan umatku adalah rahmat”. Itu artinya, perbedaan memang sudah menjadi sebauh keniscayaan yang hakiki. Apalagi hidup di zaman yang sudah maju ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini. Di zaman Rasulullah Muhammad Saw. saja pernah terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah pernah menyuruh kaumnya (para sahabat) pada saat perjalanan menuju Bani Quraidah (salah satu kabilah di Madinah) untuk melakukan shalat Ashar setelah sampai di tempat tujuan (Bani Quraidhah). Pada saat itu terjadi perdebatan antara dua kelompok. Perjalanan pun terhenti di tengah jalan guna memperdebatkan instruksi Nabi. Kelompok pertama berpendapat bahwa bagaimana mungkin shalat di sana (Bani Quraidhah), sedangkan waktu Ashar tinggal beberapa menit lagi. Namun, akhirnya mereka memahami instuksi Nabi secara literal, sehingga mereka harus menjalankan perintah nabi, yaitu shalat di Bani Quraidhah, meski waktu Ashar telah habis. Kelompok kedua, berpendapat bahwa yang dimaksud Nabi bukan seperti yang telah dijelaskan kelompok pertama. Mereka beranggapan bahwa sebenarnya Nabi menyuruh kita (sahabat) untuk mempercepat laju kendaraan kita untuk kemudian bisa sampai di Bani Quraidhah sebelum waktu Ashar habis, sehingga bisa melaksanakan Shalat Ashar di sana. Setelah keduanya selesai berdebat, mereka pun melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah. Sampai di rumah, Rasulullah mengapresiasi keduanya. Bukan membenarkan atau menyalahkan salah satu kelompok. Itu artinya, Nabi sudah mengajarkan kepada kaumnya agar tidak menjadikan perbedaan pendapat sebagai pemecah agama. Sebab, dengan perbedaan itu, berarti kita telah menunjukkan bahwa kita berpikir, tidak hanya taqlid pada salah satu orang saja. Yang terpenting adalah perbedaan harus dipandang sebagai rahmat dan sebuah keniscayaan. Dalam konteks ini, perbedaan antara Muhammadiyah dengan ormas-ormas Islam yang lain tidak boleh dijadikan ajang untuk menyalahkan atau menganggap kelompoknya lah yang paling benar, karena kebenaran (Al-Haq) yang mutlak hanya terletak pada Allah SWT. Dr. Mohammad Nasih, seorang cendekiawan muslim ICMI mengatakan bahwa Islam bukan hanya milik Muhammadiyyah, NU, atau Ormas Islam yang lain. Namun, Islam adalah milik orang di seluruh dunia yang percaya dan mau berpikir. Oleh karena itu, tidak layak sebagai manusia biasa merasa dirinya atau kelompoknya paling benar. Akan tetapi, setidaknya kita harus mencari kebenaran itu, hingga mencapai limit mendekati benar. Semoga umat Islam bisa selalu menerima perbedaan yang setiap saat bisa terjadi, sehingga tidak ada saling mengkafirkan satu sama lain. Seluruh umat Islam adalah saudara. Jadi, jangan sampai perbedaan itu membuat persaudaraan terputus atau terkotori. Selamat menjalankan Ibadah Puasa untuk umat Islam Indonesia. Semoga menjadi awal yang baik untuk merubah bangsa Indonesia yang telah dilanda krisis di segala bidang. Wallahu a’lam bi al-Shawab. __________________________________ *Penulis adalah Peneliti Muda di Monash Institute Semarang, Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang (Dimuat di Rimanews, Agustus 2012)
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorMokhamad Abdul Aziz Archives
November 2013
Categories |