Dalam buku yang berjudul Tema Pokok al-Qur’an ini, Fazlur Rahman menjabarkan pokok bahasannya menjadi 8 tema utama. Kedelapan tema utama tersebut adalah sebagai berikut:: Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia Anggota Masyarakat, Alam Semesta, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, Lahirnya Masyarakat Islam. Di bawah ini, akan diuraikan secara ringkas isi dari masing-masing tema tersebut.
A. Tuhan Fazlur Rahman ingin memfokuskan bab pertama ini pada permasalahan tentang perlunya pemahaman akan adanya Tuhan, keesaan Tuhan, dan akibat-akibat langsung dari masalah-masalah tersebut menurut al-Qur’an. Misalnya, mengapa kita harus mempercayai adanya Tuhan? Mengapa kita perlu meyakini tentang adanya yang lebih tinggi daripada alam ini? Al-Qur’an menunjukkan keyakinan yang lebih tinggi dari alam itu sebagai “keyakinan dan kesadaran terhadap yang gaib”. Dalam batas-batas tertentu dan melalui wahyu Allah, maka yang “gaib” ini dapat dilihat oleh manusia-manusia tertentu seperti nabi Muhammad. Terkait dengan permasalahan tersebut, al-Qur’an bertujuan untuk menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan itu dapat dipahami bukan sebagai sesuatu yang irrasional melainkan sebagai Kebenaran Tertinggi. Dalam mencapai tujuan ini, manusia perlu untuk berupaya. Bahkan, manusia harus mendengarkan seruan-seruan dari al-Qur’an. Ia dikatakan beriman apabila ia mengalihkan perhatiannya pada berbagai fakta yang jelas dan kemudian mengubah fakta-fakta itu menjadi hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain. Tuhan memberikan arti dan kehidupan pada setiap sesuatu. Tuhan itu serba meliputi. Tuhan itu juga adalah yang esa. Apabila tuhan lebih dari satu maka hanya satu saja yang tampil sebagai Yang pertama. Dalam al-Qur’an dikatakan ”Allah berkata: Janganlah mengambil dua Tuhan karena Dia adalah Esa.” Terkait dengan keesaan Tuhan dan sisi transenden-Nya, Fazlur Rahman menyatakan bahwa Tuhan itu bukanlah sebuah bagian di antara bagian-bagian lainnya di dalam alam semesta. Tuhan bukan pula sebuah eksistensi di antara eksistensi-eksistensi lainnya. Tuhan itu lebih unggul dari segala yang ia ciptakan. Tuhanlah yang menyebabkan integritas dari segala sesuatu. Karenanya, al-Qur’an amat menekankan kekuasaan dan keagungan Allah. Selain digambarkan sebagai yang Maha Kuasa, Allah juga digambarkan sebagai Tuhan yang Maha Pengasih. Kemurahan Allah itu tampak pada karya penciptaan alam dan manusia, dan bahwa alam diperuntukkan manusia. Baik kekuasaan, penciptaan, maupun kepengasihan-Nya itu selain sama-sama luas tetapi juga saling meliputi dan identik. : “Dia telah mengenakan Hukum Belas Kasih kepada Diri-Nya sendiri” (6:12). Kekuasaan dan kebesaran Tuhan itu begitu ditonjolkan dalam al-Qur’an dimaksudkan untuk menunjukkan betapa berbahayanya kebodohan manusia yang mempersamakan dan mengidentikkan hal-hal yang terhingga dengan Dia yang Tak Terhingga. Meskipun demikian patut disadari bahwa kebesaran, kekuasaan dan keserbamencukupan-Nya itu, Ia nyatakan terutama sebagai manifestasi kepengasihan-Nya Allah tidak menciptakan sesuatu sebagai keisengan, pelipur lara, atau main-mainan tanpa tujuan yang serius karena hal ini tidak sesuai dengan kemahakuasaan dan kepengasihan Allah. Dalam kelimpahan kasih-Nya, Allah menciptakan alam dan manusia Bahkan, Tuhan memberikan kepada manusia kesadaran dan kemauan yang diperlukannya untuk memperoleh pengetahuan dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk menyadari tujuan hidup yang sesungguhnya. Dengan demikian, tujuan hidup manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah, memperkembangkan potensi-potensinya sesuai dengan perintah Allah dengan kemauannya sendiri dan untuk memanfaatkan alam. Kekuasaan Allah ini dinyatakan pula dalam kreativitas-Nya yang penuh kasih. Dalam arti bahwa segala sesuatu yang diciptakan-Nya adalah “berdasarkan ukuran atau peraturan tertentu” dan tidak diciptakan sembarangan. Tuhan yang Maha Kuasa, melalui kreativitasnya yang penuh kasih, memberikan “ukuran” kepada segala sesuatu, dan memberikan kepada segala sesuatu itu potensi-potensi tertentu beserta tingkah lakunya. Tuhan memberikan sifat-sifat tertentu pada segala sesuatu. Manusia itu berada di bawah ‘ukuran”-Nya maka manusia itu berada di bawah perintah-Nya. Melalui kreativitasnya tersebut, Allah telah menciptakan manusia dan alam. Namun ada perbedaan pokok antara manusia dengan alam. Alam tidak dapat mengingkari perintah Allah, sedangkan manusia bisa saja mengingkari perintah Allah dan lebih menuruti kehendaknya sendiri. Karenanya, posisi manusia itu unik sehingga ia mempunyai tanggung jawab yang hanya dapat dilaksanakannya melalui taqwa. Manusia disuruh untuk menyembah Allah saja, dan meninggalkan tuhan-tuhan palsu lainnya, termasuk hawa nafsunya sendiri. B. Manusia sebagai Individu Al-Qur’an dengan lugas menyatakan bahwa manusia itu diciptakan secara alamiah karena Tuhan menciptakan Adam dari tanah (15:26, 28, 33; 6:2; 7:12, dan ayat-ayat lainnya). Setelah manusia terbentuk, Allah kemudian “meniupkan ruh-Ku sendiri” ke dalam diri manusia. Selain itu, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang menekankan doktrin dualisme radikal antara jiwa dan raga sebagai unsur yang ada pada manusia, Al-Qur’an tidak mendukung doktrin semacam itu. Tidak disebutkan dalam al-Qur’an, pernyataan bahwa manusia terdiri dari dua buah substansi yang berbeda dan bertentangan, yakni jiwa dan raga. Terkait dengan kelemahan manusia yang paling dasar, al-Qur’an menyebutkan bahwa “kepicikan’ (dha’f) dan “kesempitan pikiran’ (qathr) adalah penyebab dosa-dosa besar lainnya. Dari kepicikan manusia kemudian timbullah kesombongan diri manusia. Dari kesempitan berpikir timbullah sikap manusia yang mementingkan diri sendiri, ketamakan, tingkah laku yang ceroboh, kurangnya kepercayaan pada diri sendiri, dan kekuatiran yang terus menerus. Karena kepicikan inilah manusia mempunyai sifat yang suka terburu nafsu, panik, dan tidak mengetahui akibat jangka panjang dari reaksi-reaksi yang dilakukannya. Dengan sifat terburu nafsu inilah manusia menjadi sombong atau putus asa. Sifat manusia yang goyah (senantiasa beralih dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya yang disebabkan oleh kesempitan akal dan kepicikannya ini) menunjukkan berbagai tensi moral yang dasar, dimana tingkah laku manusia haus berfungsi jika ia ingin menjadi kokoh dan berhasil. Di samping kesombongan dan rasa besar diri, al-Qur’an juga mengutuk keputusasaan yang dinyatakannya sebagai sebuah tanda dari “orang-orang kafir” atau orang-orang yang menyangkal kebenaran. Baik kesombongan dan keputusasaan adalah perbuatan “kufr”. “Kufr’ adalah julukan lain untuk orang-orang yang secara total telah kehilangan enersi moral. Kondisi ini akan mengakibatkan pada pemujaan berhala karena setelah tidak punya tambatan trasendental bagi tingkah lakunya maka seorang manusia pasti akan “menyembah hasrat-hasrat (subjektif)nya sendiri. Sikap ini adalah sikap “melupakan Allah’. Dengan melupakan Allah berarti menghancurkan kepribadian individu maupun masyarakat. Karenanya, manuisa itu perlu bertaqwa. Taqwa pada tingkatan tertinggi menunjukkan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral. Taqwa berarti melindungi diri dari akibat-akibat perbuatan sendiri yang buruk dan jahat. Taqwa juga berarti kekokohan di dalam tensi-tensi moral atau di dalam “batas-batas yang ditetapkan Allah”, dan tidak menggoyahkan keseimbangan di antara tensi-tensi tersebut atau “melanggar” batas-batas tersebut. Al-Qur’an juga menunjukkan sikap yang optimis terkait dengan perjuangan manusia ini. Dalam beberapa ayat ditunjukkan bahwa Allah akan mengampuni atau mengabaikan kesesatan manusia asalkan keseluruhan amal-perbuatannya adalah baik dan bermanfaat. Pada intinya dapat dikatakan bahwa keseluruhan amal perbuatan manusia, hendaknya berdasarkan taqwa yang akan mencegahnya dari perbuatan yang melampaui batas. Apabila seandainya manusia terlanjur melampaui batas maka taqwa segera membuatnya bertaubat dan mengembalikan keseimbangan di dalam dirinya. Terkait dengan berat timbangan perbuatan-perbuatan manusia, maka yang dimaksud adalah akibat dari perbuatan-perbuatan tersebut di akhirat nanti. Beberapa pemikir muslim baik yang lampau maupun sekarang berpendapat bahwa hukuman neraka dan kebahagiaan surga itu adalah keadaan-keadaan “spiritual” yang tidak bersifat fisik. Secara tegas pula, al-Qur’an menjelaskan bahwa hukuman neraka itu tergantung pada kesadaran manusia akan kesia-siaan amal perbuatannya. Hukuman di dalam neraka pada dasarnya terdiri dari kesadaran bahwa gunung yang telah dibangun ternyata hanyalah sebutir pasir. Dinyatakan pula bahwa pada hari penghitungan nanti, manusia akan “kehilangan” tuhan-tuhan palsu mereka—tuhan-tuhan palsu tersebut ternyata tidak ada. C. Manusia Anggota Masyarakat Tegaknya sebuah tata masyarakat yang adil, berdasarkan etika, dan dapat bertahan di muka bumi ini adalah yang menjadi tujuan utama al-Qur’an. Hal ini tampak dalam celaannya terhadap disekuilibrium ekonomi dan ketidakadilan sosial di dalam masyrakat Makkah waktu itu. Selain mencela aspek politheisme yang merupakan symptom dari segmentasi masyarakat, al-Qur’an amat mencela ketimpangan sosio-ekonomi yang ditimbulkan oleh serta yang menyuburkan perpecahan yang sangat tidak diinginkan di antara sesama manusia. Hal ini terus dikecam karena hal inilah yang paling sulit untuk disembuhkan dan yang merupakan inti dari ketimpangan sosial. Meskipun demikian, Al-Qur’an tidak melarang manusia untuk mencari kekayaan. Al-Qur’an mengecam pernyalahgunaan kekayaan karena hal tersebut dapat menghalangi manusia di dalam mencari nilai-nilai yang luhur. Selain itu, sikap tidak mempedulikan orang-orang yang memerlukan bantuan ekonomi ini adalah sikap yang mencerminkan puncak kepicikan dan kesempitan akal (kelemahan dasar dalam diri manusia). Al-Qur’an juga memerintahkan kepada kaum Muslimin bahwa mereka lebih baik mengeluarkan harta kekayaan mereka di atas jalan Allah dan dengan demikian mereka “berpiutang kepada Allah yang akan dibayar Allah dengan berlipat ganda” daripada membungakan uang untuk menghirup darah orang-orang miskin (30:39; 2:245; 5:12,18; 57:11,18; 64:17; 73:20). Terkait dengan keadilan yang merata, al-Qur’an juga menetapkan prinsip bahwa “kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja” (59:7). Dalam level sosial-politik, al-Qur’an ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan kakek-nenek; dan masyarakat Muslim yang lebih besar dengan meniadakan rasa kesukuan. Masyarakat Muslimin berdiri karena ideologi Islam. Dalam melaksanakan urusan bersama (pemerintahan) al-Qur’an menyuruh kaum Muslimin untuk menegakkan syura (dewan/majelis konsultatif) di mana keinginan rakyat dapat dikemukakan melalui wakil-wakil mereka. Syura adalah sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian didukung oleh al-Qur’an (42:38). Meskipun menghendaki pluralisme institusi-institusi secara liberal dan kemerdekaan individu yang asasi, di dalam kondisi-kondisi tertentu al-Qur’an mengakui bahwa Negara sebagai wakil masyarakat adalah yang tertinggi. Pemberontakan terhadap Negara dapat diganjar dengan hukuman-hukuman yang sangat berat. Inti dari keseluruhan hak-hak asasi manusia adalah kesamaan di antara semua ras. Hal ini dibenarkan dan didukung oleh al-Qur’an dimana al-Qur’an menghapuskan setiap perbedaan di antara manusia kecuali perbedaan karena kebajikan dan taqwa. Al-Qur’an menekankan persamaan manusia yang esensial karena di antara semua mahluk hidup bangsa manusia sajalah yang memiliki keunikan. Ada 4 macam kebebasan atau hak-hak asasi yang ditekankan oleh para ahli-ahli hukum Islam, yakni: kebebasan/hak untuk hidup, beragama, mencari nafkah dan memiliki harta kekayaan, dan harga diri (‘irdh). Keeempat hak ini harus dilindungi oleh Negara. Pelangggaran terhadap hak-hak tersebut adalah “perbuatan aniaya di muka bumi’. Terkait dengan persamaan di antara laki dan perempuan, al-Qur’an mengatakan: “dan kaum perempuan mempunyai hak-hak mereka (terhadap kaum laki-laki)—tetapi kaum lelaki satu tahap lebih tinggi (daripada kaum perempuan)” (2: 228). Pada dasarnya, al-Qur’an berpandangan bahwa ikatan perkawinan dipertahankan oleh perasaan “cinta dan kasih-sayang” yang wajar (30:21) dan menyatakan “mereka (isterei-isteri kamu) adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian mereka” (2:187). Al-Qur’an mengharuskan suami untuk berlaku lemah lembut terhadap isterinya. Tema yang juga amat dinyatakan al-Qur’an adalah bahwa manusia-manusia yang kuat secara terus menerus berusaha mempengaruhi atau menekan manusia-manusia yang lemah agar mereka melakukan tingkah laku yang bertentangan dengan kehendak mereka yang sebenarnya. Al-Qur’an juga mengemukakan bahwa penyelewengan pemimpin-pemimpin agama merupakan faktor terjadinya keruntuhan masyarakat, padahal para pemimpin agama ini diharapkan dapat sebagai sumber kekuatan dan regenerasi spiritual masyarakat Penyelewengan dapat ini terjadi ketika hati nurani mereka tidak tergugah apabila mereka melakukan kesalahan. Dengan hati nurani yang macam ini mereka telah mengkompromikan kebenaran dengan “hawa nafsu”. D. Alam Semesta Al-Qur’an hanya sedikit sekali membicarakan tentang kejadian alam (kosmologi). Terkait dengan metafisika penciptaan, al-Qur’an mengatakan bahwa alam semesta dan segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah di dalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya: “Jadilah!” (2:117; 3:47, 59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Karenanya, Allah adalah pemilik yang mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal di samping pemeliharaannya yang maha pengasih. Semua isi alam semesta ini mentaati Allah ‘secara otomatis”, kecuali manusia yang dapat mentaati atau mengingkari Allah. (95). Al-Qur’an menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta itu “Muslim” karena setiap sesuatu yang berada di dalamnya (kecuali manusia yang dapat menjadi atau tidak menjadi “Muslim”) menyerah kepada kehendak Allah (3:83), dan setiap sesuatu memuji Allah (57:1; 59:1; 61:1; 17:44; 24:41). Perbedaan terpenting diantara Allah dengan ciptaan-Nya adalah : Allah itu tak terhingga dan mutlak. Karenanya, setiap sesuatu yang diciptakannya adalah terhingga. Setiap sesuatu mempunyai potensi-potensi tertentu namun betapapun banyaknya potensi-potensi itu tidaklah dapat membuat yang tehingga melampaui keterhinggaannya sehingga menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksud (qadar, qadr, taqdir) dimana segala sesuatu itu tergantung pada Allah. Ketika Allah menciptakan sesuatu, Ia memberikan kekuatan ataupun hukum tingkah laku dan dengan hukum inilah ciptaan-Nya dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam semesta. Apabila sesuatu ciptaan melanggar hukumnya dan melampaui ukurannya, maka alam semesta menjadi kacau. “ukuran” yang dimaksud sebetulnya mempunyai sebuah bias yang kuat, yakni pola-pola, watak-watak, dan kecenderungan-kecenderungan. Perkataan “ukuran” ini tidak menunjukkan teori predeterminasi (takdir). Dinyatakan pula bahwa manusia kerap meremehkan, melengahkan, dan bahkan mengingkari Allah karena manusia berpandang bahwa proses-proses alam terjadi karena sebab-sebab tersendiri. Manusia tidak menyadari bahwa alam semesta adalah sebuah petanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang berada “di atas”nya dan bahwa tanpa sesuatu berada “di atas”nya itu, alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya tidak pernah ada. Dengan demikian, yang menjadi permasalahan pertama adalah bahwa manusia tidak memandang alam semesta yang serba teratur sebagai petanda atau sebagai keajaiban yang menakjubkan. Manusia ingin menyelingi atau menekankan proses alamiah untuk menemukan keajaiban-keajaibian yang dilakukan Allah. Yang menjadi permasalahan kedua adalah bahwa alam semesta sebagai petanda itu hilang apabila “ditaruh di sisi” Allah, karena di sisi-Nya tak sesuatu pun mempunyai jaminan yang inheren untuk ada. Dengan demikian, alam semesta beserta keluasan dan keteraturannya yang tak terjangkau akal ini harus dipandang manusia sebagai petanda Allah, karena hanya Yang Tak Terhingga serta Unik sajalah yang dapat menciptakannya. Petanda ini dapat dikatakan sebagai petanda “alamiah”. Namun apabila sebagian atau hampir semua manusia tidak dapat terbujuk untuk beriman kepada Allah dengan menyaksikan proses-proses alam yang biasa, maka untuk sementara waktu Allah dapat menyimpangkan, menekan, atapun meniadakan kehebatan/efisasi sebab-sebab alamiah tersebut. Selain itu, ada dua hal yang perlu dicamkan sebelum masuk pada pembahasan mengenai petanda-petanda/keajaiban yang natural dan supranatural. Yang pertama, walaupun sebuah “petanda” atau ayat di dalam pengertian religius menunjukkan kepada Penyebab yang paling awal, sedang transisinya dengan pengertian bersifat rasional atau setidak-tidaknya dapat dipikirkan, namun petanda tersebut bukanlah sebuah bukti yang rasional. Supaya dapat mengetahui maksud dari sebuah petanda selain akal-pikiran, kita harus memiliki disposisi tertentu, yaitu kesanggupan untuk beriman. Yang kedua, walaupun banyak orang yang tidak dapat membedakan petanda-petanda yang berlainan, khususnya di antara petanda-petanda supranatural atau bersifat wahyu (ayat-ayat al-Qur’an) dengan perbuatan-perbuatan magis atau sihir, namun kedua macam petanda-petanda ini tidaklah sama. Petanda yang supranatural atau bersifat wahyu bersifat riil sedang perbuatan-perbuatan sihir tersebut bersifat khayal. Petanda yang supranatural atau bersifat wahyu mempunyai kepermanenan setelah menunjukkan kemanjurannya. Sedangkan perbuatan sihir tidak memiliki kepermanenan kecuali di dalam dimensi psikologinya. Perbuatan magis ini merupakan kejahatan, karena perbuatan ini mnyembunyikan dan memberikan gambaran yang salah tentang realitas. Sedangkan sebuah petanda mampu menunjukkan realitas di dalam kesempurnaannya. Ayat-ayat al-Qur’an adalah “petanda-petanda” karena bersumber dari Tuhan yang menciptakan alam semesta. Namun al-Qur’an menamakan ayat-ayatnya sebagai tabyin al-ayat, “penjelasan terhadap petanda-petanda (Allah)” atau “pembawa ke dalam akal seperti halnya “membawa ayat” (nusharrif al-ayat). Ayat bayyinat sering disebut sebagai “tanda-tanda yang terang, jelas, dan tak dapat diragukan lagi”. Dalam ayat-ayat 98:1-4, Nabi Muhammad sendiri bersama-sama dengan al-Qur’an disebut sebagai sebuah bayyinat. Perkataan yang lebih kuat daripada bayyinat adalah burhan. Perkataan ini berarti ‘sebuah bukti yang demonstratif” dan mengandung sebuah faktor yang memaksakan rasionalitas. Perkataan burhan ini dekat dengan bayyinat dan seperti bayyinat, burhan itu terbatas pada peringatan-peringatan, keajaiban-keajaiban supranatural dan wahyu serta akal (akal di dalam wahyu). Bayyinat itu jelas, tegas, dan dalam hal ini secara pasif dapat ditolak, maka burhan secara rasional dan psikologis bersifat memaksa. Burhan adalah semacam bukti rasional (tidak hanya sekedar ‘logis”), yang dapat mengendalikan dan mengarahkan instink-instinsk yang sangat kuat. Jenis ayat atau petanda yang paling kuat dan yang di dalam penggunaannya hampir mirip dengan burhan adalah sulthan. Perkataan ini secara harfiah berarti “otoritas” atau “kekuasaan” tetapi di dalam al-Qur’an dipergunakan sebagai semacam petanda atau bukti yang ‘membungkam lawan”. Bayyinat jelas dan tak dapat ditolak oleh akal yang terbuka serta tidak berprasangka, dan kekuatan burhan yang demonstratif dapat mengalahkan prasangka-prasangka tertentu, maka sulthan mempunyai kekuatan yang secara psikologis sifatnya hampir memaksa sehingga orang-orang yang semula bertekad untuk menolak kebenaran terpaksa menerimanya. Perbedaaan di antara ketiga perkataan in adalah berdasarkan kuantitas atau tingkat kekuatan persuasifnya. Sulthan juga dapat diartikan sebagai keajaiban supranatural (23:45) atau wahyu yang dapat dibacakan (37:156 dan seterusnya). Perkataan ini dapat berarti sebuah dalih untuk membenarkan aksi penghukuman, misalnya dalam ayat-ayat: “Barangsiapa dibunuh tanpa alasan maka kepada keluarganya Kami berikan wewenang (atau pembenaran) (untuk melakukan pembalasan) Ada pula bukti untuk menyatakan mengenai pernyataan-pernyataan al-Qur’an bahwa petanda-petanda “historis” atau yang merupakan peringatan tertentu mendukung kebenaran dari ajaran Muhammad. Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa penciptaan alam semesta ini dilakukan Allah dengan sungguh-sungguh, dan bukan dengan sia-sia atau untuk main-main. Alam semesta in adalah karya besar yang Maha Kuasa, namun alam semesta ini bukan diciptakan untuk memperlihatkan kebesaran dan kekuasan-Nya tetapi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital manusia. E. Kenabian dan Wahyu Fazlur Rahman menyatakan bahwa Kenabian dan wahyu Allah itu berdasarkan kepengasihan Allah dan ketidakdewasaan manusia di dalam persepsi dan motivasi ethisnya. Para nabi adalah manusia-manusia luar biasa yang karena kepekaan mereka, ketabahan dan wahyu Allah yang mereka terima serta yang kemudian mereka sampaikan pada manusia dengan ulet tanpa mengenal takut, dapat mengalihkan hati nurani ummat manusia dari ketenangan tradisional dan tensi hipomoral ke dalam suatu kawasan sehingga mereka dapat menyaksikan Tuhan sebagai Tuhan dan syeitan sebagai syeitan. Al-Qur’an memandang kenabian sebagai sebuah fenomena yang bersifat universal, dimana di setiap pelosok dunia ini pernah tampil seorang Rasul Allah, baik yang disebutkan maupun yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an (40: 78;4 : 164). Ajaran rasul/nabi ini bersifat universal dan harus diyakini dan diikuti oleh semua manusia (inilah maksudnya bahwa kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah). Selain itu, seorang nabi harus berhasil memperoleh dukungan dari kaumnya. Para nabi juga harus bertanggung jawab terhadap penyebarluasan ajaran-ajaran mereka. Sejak awal sejarah Islam, kaum Msilim berpandangan bahwa runtunan Rasul-rasul Allah berakhir dengan Muhammad: “Muhammad bukan bapak dari salah seorang di antara kalian; dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir” (33:40). Ada beberapa penafsiran argumentatif untuk menerangkannya. Yang pertama, adanya evolusi di dalam agama di mana Islam adalah bentuk yang terakhir. Yang kedua, penelaahan terhadap kandungan agama-agama yang ada akan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang paling memadai dan sempurna. Proposisi ini juga didukung oleh kenyataan bahwa sebelum Islam tidak ada gerakan religius yang bersifat global. Menurut al-Qur’an, nabi adalah utusan-utusan Allah kepada ummat manusia. Berbeda dengan Bibel, dalam al-Qur’an, Nabi yang “menyampaikan khabar” tidak berarti ‘yang menerangkan keadaan di masa mendatang”, tetapi “ yang menyampaikan kabar dari Allah”. Nabi diutus Allah untuk mencegah kejahatan dan menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang saleh. Secara tradsional penulis-penulis Muslim tentang al-Qur’an membuat perbedaan antara Nabi dan Rasul. Nabi adalah utusan Allah yang tidak membawakan hukum (syari’ah) dan mungkin pula kitab Allah kepada manusia. Sedangkan rasul adalah utusan Allah yang membawakan hukum dan kitab Allah. Meskipun demikian, perbedaan yang tegas ini masih dapat diragukan kebenarannya karena al-Qur’an menyebut tokoh-tokoh religius tertentu sebagai nabi dan rasul (lih. ayat-ayat 7:158; 19:51,54). Namun perbedaan ini telah ada dalam kenyataan bahwa perkataan “nabi” semakin sering dipergunakan dalam al-Qur’an sejak periode Mekkah yang terakhir dan periode Madinah. Rasul itu menyebut peranan yang lebih penting daripada nabi. Sedangkan seorang nabi berperan sekedar sebagai pembantu rasul, misalnya: Harun yang beperanan sebagai pembantu Musa. Pada dasarnya semua Rasul menyampaikan ajaran yang sama, yakni: hanya ada satu, Tuhan yang Esa yang patut disembah, dicintai, dan ditakuti. Sebagaimana nabi-nabi lainnya, Muhammad adalah “penyampai peringatan dan kabar gembira”, dan misinya adalah untuk menyampaikan wahyu Allah secara terus menerus dan pantang mundur. Ajaran yang disampaikan begitu penting untuk dilaksanakan manusia supaya selamat sehingga Nabi harus berupaya keras keras untuk meyakinkan manusia pada ajaran penting ini. Tidak jarang terjadi penolakan dan hal ini bisa menimbulkan frustrasi. Cara penting untuk menghadapi frustrasi macam ini adalah dengan berpaling kepada ayat-ayat al-Qur’an “Kami tidak menurunkan al-Qur’an kepada engkau agar engkau menderita (20:2). Kepada Muhammad, al-Qur’an mengatakan bahwa ia hanyalah “seorang yang menyampaikan peringatan”, “seorang yang mengingatkan”, “tugasmu hanyalah untuk memberikan pengajaran”, “Engkau bukan penjaga mereka”, “engkau tidak dapat memaksa mereka”, “Allah adalah Dia yang dapat membuat mereka mau mendengarkan siapa-siapa yang dikehendaki-Nya. (11:12; 88:21; 3:20; 5:92, 99; 88:50). Selain itu, di dalam al-Qur’an banyak sekali bukti-bukti bahwa ketika Nabi pada waktu-waktu tertentu menginginkan perkembangan ke arah tertentu, ternyata wahyu Allah menunjukkan arah yang lain. Terkait dengan penurunan Wahyu, dinyatakan bahwa pada dasarnya istilah “malaekat” itu tidak tepat dikenakan kepada yang menyampaikan wahyu kepada Muhammad. Kepada Muhammad, al-Qur’an tidak menyatakan bahwa penyampai wahyu itu sebagai malaekat melainkan sebagai Ruh atau Utusan Sipritual. Meskipun demikian jangan lantas dianggap bahwa Ruh Suci itu sangat berbeda dari malaekat-malaekat. Mungkin sekali bahwa Ruh Suci adalah malaekat yang paling mulia dan paling dekat dengan Allah (bdk dengan ayat 81:19-21). Bahkan dalam berbagai kesempatan, al-Qur’an menyebutkan malekat-malaekat dan Ruh Suci tersebut secara bersamaaan. Dinyatakan pula bahwa Wahyu dan Yang Menyampaikanya itu bersifat spiritual dan terjadi di dalam batin Muhammad. (ayat 42:24 Jika Allah menghendaki maka Dia akan mengunci hatimu (wahai Muhammad) sehingga tidak ada lagi Wahyu yang sampai kepadamu). F. Eskatologi Dalam al-Qur’an, gambaran umum tentang eskatologi adalah kenikmatan sorga dan azab neraka. Sorga dan neraka ini kerap dinyatakan sebagai imbalan dan hukuman secara garis besarnya, termasuk “keridhaan dan kemurkaan Allah”. Ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran al-Qur’an tentang akhirat adalah bahwa akan tiba saat (al-sa’ah) ketika setiap manusia akan memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialaminya di masa sebelumnya mengenai amal-perbuatannya. Al-Qur’an juga terus menerus menyerukan agar manusia “mengirimkan sesuatu untuk masa mendatang” (59:18), karena apapun juga yang menimpa seorang manusia adalah hasil perbuatannya terdahulu. Terkait dengan hal tersebut, al-akhirah sebagai nilai-nilai terakhir (saat kebenaran) menjadi “pertimbangan” terhadap amal perbuatan manusia yang sangat penting artinya. Al-Qur’an juga tidak membenarkan sorga dan neraka yang sama sekali bersifat “spiritual”. Karenanya, apa yang menjadi subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagai pribadi. Apabila al-Qur’an berbicara tentang kebahagiaan dan penderitaan fisik di akhirat nanti, maka yang dimaksudkannya bukanlah kiasan semata-mata, meskipun Kitab Suci memang mencoba menerangkan kebahagiaan dan penderitaan akhirat itu sebagai efek-efek dari perasaan kebahagiaan dan penderitaan yang bersifat fisik dan spiritual. Gambaran yang amat jelas mengenai api neraka yang bernyala-nyala dan taman sorga yang indah ini dimaksudkan untuk menerangkan efek-efek sebagai perasaan-perasaan fisik-spiritual yang riil dan yang berbeda dari efek-efek psikologis yang ditimbulkan oleh keterangan-keterangan tersebut. Sementara hukuman dan kebahagiaan fisik bersifat literal dan tidak merupakan kiasan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa aspek spiritual dari hukuman dan kebahagiaan itulah yang terpenting. Menurut al-Qur’an, akhirat itu sangat penting. Ada beberapa alasan untuk menjelaskannya. Yang pertama, moral dan keadilan sebagai konstitusi realis adalah kualitas untuk menilai amal-perbuatan manusia karena keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang terjadi di atas dunia. Yang kedua, “tujuan-tujuan” hidup harus dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga manusia dapat melihat apa yang telah diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Misalnya dalam doktrin tentang kebangkitan kembali karena soal “penimbangan amal-perbuatan” mensyaratkan dan tergantung kepadanya. Yang ketiga, terkait erat dengan alasan kedua bahwa perbantahan, perbedaan pendapat, dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia pada akhirnya harus diselesaikan. Hampir semua perbedaan pendapat disebabkan oleh karena motivasi-motivasi ekstrinsik untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atapun bentuk kefanatikan yang berbeda-beda. Penyakit moral manusia yang terburuk adalah melakukan hal-hal yang baik dengan motivasi-motivasi yang salah dan ekstrinsik. Karenaya, pemecahan terhadap perbedaan keyakinan ini secara praksisnya adalah sama dengan manifestasi dari motivasi dari keyakinan-keyakinan tersebut. Di hari akhirat, batin semua manusia akan nampak jelas termasuk motivasi-motivasi mereka. Terkait dengan pandangan akan kebangkitan kembali dan hari perhitungan, al-Qur’an mengajukan argumentasi mengenai kekuasaan Allah secara umum: “Sesungguhnya Allah yang telah menciptkan langit, bumi, manusia, dan bentuk-bentuk kehidupan yang tak terhitung banyaknya di dalam alam semesta ini dapat pula menciptakan manusia yang baru dan bentuk kehidupan lain yang tidak kita kenal.” Terkait dengan hari penghitungan, dinyatakan bahwa pada hari itu setiap manusia tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perubahan apa pun juga, untuk melakukan amal-perbuatan yang baru, atau untuk bertaubat karena satu-satunya kesempatan untuk mengubahnya hanya ada di dunia ini yang hanya terjadi sekali. Karenanya, manusia harus menghadapi hidup ini dengan serius dan benar-benar menyadari bahwa Allah pasti mengetahuinya seberapapun manusia menyembunyikan niat-niat dan kesesatan yang negatif. G. Setan dan Kejahatan Yang dibahas dalam bab ini adalah prinsip kejahatan yang kerap dipersonifikasikan al-Qur’an sebagai Iblis atau syeitan, meskipun personifikasi yang kedua ini (syeitan) lebih lemah daripada yang pertama. Al-Qur’an menggambarkan syeitan sebagai pembangkang perintah Allah dan sebagai tandingan manusia, bukan sebagai tandingan Allah karena Allah berada di luar jangkauannya. Manusialah yang merupakan tujuan syeitan dan manusialah yang dapat menaklukan atau ditaklukannya. Karenanya, al-Qur’an memperingatkan manusia untuk terus berjuang melawan syeitan. Apabila manusia mengendorkan kewaspadaannya maka ia akan mudah terbujuk oleh “godaan” syeitan. Aktivitas syeitan ini pada dasarnya terdiri dari aktivitas membingungkan seseorang manusia dan untuk sementara waktu membendungi kesadaran-keasaran batinnya. Al-Qur’an menegaskan bahwa walaupun secara prinsip tidak ada manusia yang kebal terhadap godaan syeitan, namun syeitan itu sesungguhnya tidak dapat memperdayakan orang-orang yang senantiasa menjaga integritas moral mereka dari serangannya. Sebenarnya pula, cengkeraman syeitan itu tidak kuat; melainkan hanya kelemahan, tidak adanya keberanian moral dan tidak adanya kewaspadaan di dalam diri manusialah yang membuat syetan itu terlihat sedemikian kuat. Meskipun syeitan itu tidak kuat, tetapi ia itu licik dan licin. Ia lebih banyak mempergunakan tipu daya dan siasat daripada menantang dengan terang-terangan. Aktivitasnya tidak menggempur melainkan membujuk, berkianat, dan menghadang. Tipu daya yang dibuat syeitan adalah soal keputusasaan manusia sebagai kelemahan yang utama. Manusia juga pada kenyataannya mempunyai kencenderungan-kecenderungan baik dan jahat. Di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara kedua kecenderungan tersebut. Namun kecenderungan jahat kerap menjadi sedimikian kuat karena adanya tipu muslihat syeitan. Karenanya, kunci pertahanan manusia terhadap godaan syeitan adalah taqwa. Terhadap godaan untuk mengikuti kecenderungan jahat, manusia perlu mengikuti jalan Allah dan memohon pertolongan-Nya. “Siapa-siapa yang berpihak pada Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman – sesungguhnya partai Allah akan memperoleh kemenangan (5:56). Selain itu, ada juga pandangan tentang kejahatan objektif yang dalam al-Qur’an disebut sebagai thagut. Thagut berarti prinsip kejahatan atau kekafiran. H. Lahirnya Masyarakat Muslim Dalam bab ini Fazlur Rahman mencoba mengkritisi pandangan landasan teori klasik tentang lahirnya masyarakat Muslim di Medinah menurut Snouck Hurgronye. Fazlur Rahman mengatakan bahwa memang benar bahwa risalat al-Qur’an itu sama dengan risalat yang diserukan oleh nabi-nabi di zaman dahulu, tetapi tidak benar apabila dikatakan bahwa risalat al-Qur’an hanya tertuju pada orang-orang Arab dan risalat-risalat para nabi itu di zaman dahulu itu hanya tertuju pada kaum mereka masing-masing. Tidak benarlah pula bahwa ketika di kemudian hari Ibrahim dihubungkan dengan Islam (hal ini terjadi di Makkah, bukan di Madinah), al-Qur’an menyerahkan Musa kepada orang-orang Yahudi dan Isa kepada orang-orang Kristen sebagai milik mereka karena tentangan mereka. Tidak benar pula bahwa perubahan arah kiblat menunjukkan putusnya atau nasionalisasi terhadap orientasi religius Nabi Muhammad. Kesulitan untuk memahami hal ini adalah karena pandangan bahwa kehidupan Nabi dan al-Qur’an itu terbagi ke dalam dua buah “periode” yang terpisah dan berdiri sendiri—periode Makkah dan periode Madinah—dan pandangan yang seperti ini diyakini oleh hampir semua para ahli Islam di zaman modern ini. Dari keterangan al-Qur’an, dapat diperoleh informasi bahwa sebelum kedatangan al-Qur’an, sebagian penduduk Makkah sangat menginginkan adanya agama baru seperti Yahudi dan Kristen. Keadaan yang seperti ini sebagiannya adalah disebabkan karena masuknya ide-ide Yahudi-Kristen ke mileu Arab. Mereka menginginkan sebuah agama baru dan sebuah Kitab Suci baru, sehingga mereka berbeda dari kaum-kaum yang terdahulu dan bahwa mereka tidak suka menerima Kitab-Kitab Suci yang terdahulu. Bahkan ketika al-Qur’an dibawakan oleh Nabi Muhammad, terjadi perbantahan-perbantahan pula dari antara penduduk Makkah supaya ajaran-ajaran al-Qur’an diubah. Mereka menghendaki beliau untuk memberikan tempat pada tuhan-tuhan mereka di antara Allah dengan manusia. Kenyataan ini dapat menerangkan mengapa mereka tidak mau memandang Yesus lebih tinggi daripada tuhan-tuhan mereka sendiri. Karenanya ketika ajaran-ajaran Nabi (bahwa Allah itu Esa, bahwa orang-orang yang miskin harus diberi kesempatan untuk maju, dan di saat terakhir nanti ada hari pengengadilan) mulai mendapat tantangan, banyak kisah-kisah mendetail mengenai para Nabi di zaman dahulu yang diulangi di dalam al-Qur’an. Hampir merupakan kenyataan yang tak dapat diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad pernah mendengar kisah-kisah tersebut dari orang-orang tertentu dengan identifikasi yang tak dapat ditemukan lagi dan orang-orang Makkah sendiri tidak enggan-enggan untuk menunjukkan kenyataan ini. Meskipun demikian Nabi Muhammad berkeras mengatakan bahwa kisah-kisah tersebut telah diwahyukan oleh Allah. Karena kesamaan spiritual dengan nabi-nabi zaman dahulu melalui penerimaaan Wahyu itu, Muhammad benar-benar yakin mengenai keidentikan setiap risalat yang disampaikan oleh nabi-nabi. Jika Allah itu Esa dan Risalatnya juga esa serta pada dasarnya tidak dapat dipecah-pecah, maka ummat manusia harus menjadi satu kaum. Karena di antara para penganut agama-agama yang terdahulu itu ada yang membenarkan misinya maka Muhammad ingin mempersatukan agama-agama tersebut ke dalam sebuah masyarakat, menurut ajaran-ajaran dan persyaratan-persyaratannya, tetapi begitu bertambah luas pengetahuannya mengenai perbedaan di antara agama-agama dan sekte-sekte tersebut, lambat laut ia pun segera menyadari bahwa persatuan itu tidak mungkin digalang. Hal yang penting di sini adalah efek dari persepsi Muhammad mengenai keanekaragaman tersebut terhadap perkembangan masyarakat Muslim. Ide Nabi Muhammad untuk menegakkan masyarakat seagama tidak tercetus di Madinah (sebagaimana yang dinyatakan Hurgronye), tetapi sebenarnya sudah ada ketika ia di Makkah. Selain itu, jika Muhammad mengikuti serta menerima warisan nabi-nabi di zaman dahulu dan al-Qur’an menerima warisan dari Wahyu-wahyu Allah yang terdahulu, maka kaum Muslimin pada zaman sekarang ini menerima warisan dari kaum-kaum yang terdahulu. Ketika Muhammad benar-benar yakin bahwa ia memiliki kedudukan yang sama seperti nabi-nabi di zaman dahulu, bahwa orang-orang Arab jahiliah yang menyembah berhala itu berada di dalam kesesatan, dan bahwa kaum-kaum lain yang terpecah belah itu pun berada di dalam kesesatan, maka oleh al-Qur’an ia dijuluki sebagai seorang yang hanif (monotheis sejati), dan agamanya dinyatakan sebagai “agama yang lurus” (al-din al-qayyim). Bahwa agama ini adalah monotheisme murni yang sangat dipujikan kepada Ibrahim dan secara khusus diperkembangkan untuk menentang pemujaan terhadap dewa-dewa jahiliah, terlihat dengan jelas dari ayat-ayat 12:37-40. (207) Sehubungan dengan orang-orang jahiliah itulah, al-Qur’an menonjolkan Ibrahim sebagai nabi teladan dan monotheis sejati. Penonjolan Ibrahim ini tidak terjadi di Madinah karena pertentangan-pertentangan dengan orang-orang Yahudi seperti yang dinyatakan oleh Hurgronye dan Schwally. Namun garis turunan monotheistik yang bersumber pada Ibrahim, melalui nabi-nabi yang lain, sehingga Muhammad harus dipertahankan kelurusannya tanpa deviasi. Perkembangan-perkembangan penting memang terjadi di Madinah, namun al-Qur’an tidak memandang Musa dan Isa sebagai milik orang-orang Yahudi dan Kristen semata-mata dan tidak menyatakan bahwa Ibrahim secara langsung dan eksklusif adalah milik kaum Muslimin. Seperti yang terjadi di Makkah, di Madinah pun Musa dan Isa mendapat tempat yang penting. Wahyu-wahyu Alllah yang terdahulu tetap dipentingkan dan al-Qur’an menyatakan bahwa ia membenarkan dan mempertahankan Wahyu-Wahyu tersebut. Jadi sebuah perkembangan penting yang terjadi di Madinah adalah bahwa Wahyu-Wahyu Allah yang terdahulu – Taurat dan Injil – disebutkan nama-namanya. Hal ini berbeda dengan di Makkah dimana Kitab Injil hampir tidak pernah disinggung (walaupun sudah tentu ada disebutkan Isa beserta tokoh-tokoh Perjanjian Baru lainnya), sedang wahyu Allah kepada Musa selalu disebutkan sebagai “Kitab Musa” dan berulangkali dinyatakan sebagai pendahulu al-Qur’an. Pertimbangan penting kedua yang terjadi di Madinah adalah pengakuan terhadap adanya tiga kaum yang masing-masing berdiri sendiri: Yahudi, Kristen, dan Muslim. Al-Qur’an sama sekali tidak berpaling kepada Ibrahim untuk memberikan validitas kepada kaum Muslimin. Setelah hijrah ke Madinah, Yerusalem tetap merupakan kiblat di dalam shalat kaum Muslimin. Jadi perubahan kiblat dari Yerusalem ke Ka’bah berarti sudah dipraktekkan lebih dahulu –tidak seperti ziarah ke Ka’bah—dan harus menunggu hingga Ka’bah sebagai pusat tempat suci Islam yang resmi ini dimantapkan di dalam sistem Islam. Setelah pemantapan resmi ini barulah jelas di mana letaknya titik gravitas Islam, dan hal inilah yang menyebabkan perubahan kiblat. Terakhir sekali kita harus mempertanyakan validitas dari konsep ‘putusnya hubungan dengan orang-orang Yahudi”tersebut. Tidak ada peristiwa, pernyataan, maupun tindakan yang khusus dari Nabi atau orang-orang Yahudi yang dapat dijadikan pedoman untuk konsep tersebut. ***** Daftar Pustaka: Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1983. Sumber: Bernadus Dirgaprimawan, http://dirga.wordpress.com/2007/05/14/tema-pokok-al-qur%E2%80%99an/
2 Comments
|
AuthorMokhamad Abdul Aziz ArchivesCategories |